Destinasi Wisata Jember yang Membuat Saya Bangga Jadi Orang Jember



 "Jember.... Pandhalungan... Jember.... Pandhalungan..."

Mendengar lirik yang menjadi latar musik Tari Pandhalungan dari Jember membuat saya geli, terhibur, bangga, takjub, dan entah apalagi kata yang tepat untuk mewakili perasaan yang membuncah. Apalagi tubuh saya yang sedang berbadan dua ini juga reflek saja ikut meliuk-liuk mengikuti irama musiknya. Rancak bana! Sedang berada dimanakah saya sebenarnya? Hm, ini adalah bagian dari suguhan salah satu destinasi wisata Jember kekinian yang baru setahunan ini hadir di Jember. 

Kalau mendengar kata Jember, apa yang kita pikirkan? Kota tembakau, kota karnaval, kota dengan wisata alam yang masih natural, atau kekhasan logat Bahasa Madura dipadu Bahasa Jawa? Tak salah, semuanya memang melekat di kota yang makin kuat mengokohkan diri sebagai "ibu kota" daerah Tapal Kuda ini. Tapal Kuda itu mewakili bentuk wilayah-wilayah yang menjadi "saudara" kota Jember sendiri, yaitu Probolinggo, Lumajang, Bondowoso, Situbondo, dan Banyuwangi. 


Tari Lahbako yang cantik

Kalau julukan kota tembakau, rasanya memang sudah lebih dulu melekat dibanding branding yang lainnya. Ini terbukti dengan logo "daun emas" yang juga disematkan di logo pemerintah daerahnya, bahkan di logo Universitas Jember yang turut memberikan warna bagi kehidupan urbanisasi di Jember. 

Maka, saat saya mendengar ada sebuah Museum tembakau di Jember yang kini menjadi destinasi wisata tersendiri, jujur saya juga ikut senang dan terhibur. Bagus lah buat orang awam seperti saya buat menambah informasi pertembakauan, gumam saya dalam hati.

Dan Rabu lalu, 15 November, saya berkesempatan menginjakkan kaki di Jalan Kalimantan No. 1 itu. Surprise nya lagi, saya tak sendirian. Selain pastinya dengan suami tercinta yang truly travelmates, saya juga bersama rombongan Fam Trip Komunitas Media Sosial yang diinisiasi Dinas Pariwisata Jember. 


Selamat datang di Tobacco Information Center

Rombongan yang terdiri dari Gus Ning dan Duta Batik Jember, videografer, fotografer, pilot drone, admin media Instagram publik yang mengangkat nama Jember dan tergabung di local creative online (Location), serta blogger melebur jadi satu sebagai bagian dari warga lokal yang siap menyuarakan sisi positif kota tercinta. 

Sebelum disuguhkan Tari Pandhalungan yang mengajak seluruh rombongan bergoyang, Museum Tembakau yang berada di bawah naungan UPT Pengujian Sertifikat Mutu Barang (PSMB) Lembaga Tembakau, juga menyuguhkan Tari Lahbako dan can macanan kadduk yang merupakan seni budaya dari Jember. 

Menyaksikan penari-penari perempuan nan cantik dengan kostum dominan merah, kuning, dan hijau rasanya membuat saya tak henti berdecak, seperti ini toh tari lahbako yang mencerminkan kehidupan para petani bako (tembakau) itu. Ada proses menuju ladang, memetik tembakau, mengeringkannya, ah lengkap. Dipilihnya penari perempuan ternyata juga karena ingin menggambarkan dedikasi kaum perempuan dalam proses olah tembakau ini. 

Yang ini nih yang namanya Tari Pandhalungan

Semua diajak untuk ber-pandhalungan, hehe

Sedang can macanan kadduk semacam atraksi mirip barongsai atau reog dengan bentuk dan filosofi yang berbeda. Persamaannya, sama-sama dimainkan orang yang menyelinap di dalam kostum pastinya :)  

Penampakan can macanan kadduk yang waktu itu sepasang hitam dan putih

Dan, ternyata sama-sama ada nilai mistisnya! Saya baru tahu dan cukup bergidik juga. Orang yang akan menjadi macan (harimau) harus berpuasa 41 hari sebelum tampil, kalau tidak, bisa terjadi hal yang (katanya) tidak diinginkan. Padahal, awalnya harimau-harimauan dari tali rafia ini dibuat oleh seorang petani di daerah Tegalboto untuk menakut-nakuti hama ataupun orang lain yang sirik dengan keberhasilan petani tersebut. Sampai suatu saat, ia menginginkan can macanan kadduk nya dikembangkan menjadi sebuah kesenian. Tapi, tenang saja, keep calm dan nikmati sebagai sebuah seni pertunjukan saja :)

Ada Apalagi di Museum Tembakau?


Atraksi dan suguhan tari yang apik tadi rencananya akan menjadi standar penerimaan tamu disana. Entah untuk rombongan atau personal, nanti kita bisa langsung menghubungi kontaknya ya. 

Saat saya melangkahkan kaki menuju ruangan yang kelihatannya kecil dan didominasi bahan interior bambu dengan sentuhan pernik vintage, saya merasa sedang dipersilahkan masuk ke negeri antah berantah. Daun-daun emas menggantung dengan aroma yang khas, berbagai informasi sejarah pertembakauan, publikasi media, termasuk olahan lain tembakau selain untuk produksi rokok atau cerutu. 

Museum Tembakau tampak depan

Bagian dalam Museum Tembakau,aromanya hmm..

Tak perlu heran, tujuan awal didirikannya Museum tembakau oleh mantan Kepala UPT PSMB Lembaga Tembakau, Ibu Desak, memang untuk memperkenalkan sisi lain dari tembakau, seperti pupuk organik, pestisida, bio diesel, minyak atsiri, kosmetik, sabun, dan parfum. Begitu parfum dicobakan ke pergelangan tangan, hmmm, wanginya seperti parfum berkelas. Mungkin karena tembakau Jember juga terkenal berkelas dunia :) Saya sangat berharap bisa membawa pulang olahan tembakau berupa sabun, kosmetik, atau parfum kelak kalau kembali kesini, semoga segera diproduksi massal.

Perpustakaan di lantai 2

Pernak pernik dan hasil olahan tembakau selain untuk rokok dan cerutu

Menuju ke lantai dua, nikmati aura perpustakaan modern yang apik ditata sedemikian rupa. Berbagai referensi pertembakauan bisa didapatkan secara lengkap. Kalau kurang, simak dan bertanya saja pada guide nya.

Berkunjung ke >> Museum tembakau dan Perpustakaan Jember
Jalan Kalimantan No. 1 Jember
Telp. 0331 - 338396
Jam buka : Senin-Jumat (09.00-17.00, kecuali Jumat : jam kantor Jumat)
Tiket : gratis  
 

BIN Cigar Jember, Melihat Lebih Dekat Produksi Cerutu


Berkunjung ke Boss Image Nusantara (BIN) Cigar kata guide rombongan, salah satunya adalah untuk melihat bukti otentik eksistensi tembakau langsung di daerah penghasilnya. Cuaca yang panas pun membawa saya dan yang lain mengunjungi tempat yang terletak di Jalan Brawijaya No. 3, Jubung, Sukorambi. 

Saya (sok) serius memperhatikan film yang diputar saat itu, company profile dan proses pengolahan tembakau dari awal hingga akhir. Apa-apa yang berasal dari bumi yang ditumbuhkan atas kuasa Sang Maha Pencipta memang luar biasa. Tembakau yang terkesan "hanya" daun biasa ternyata bernilai sangat tinggi bila dikelola dengan tepat. 

Nonton film sejenak dan melihat semua proses pembuatan ceruta handmade

Saya mengamati pelan-pelan film yang memperlihatkan tembakau yang ditanam dengan khusus, proses panen, mengeringkannya dengan dijemur atau digantung, menurunkan tembakau yang telah kering (rompos), menyaring rompos, proses fermentasi, dihangatkan, dicek kualitasnya, sampai disimpan dan dikemas (packing). Semuanya dilakukan dengan detil dan teliti, seolah setiap langkah begitu berharga. Saya jadi teringat Tari Lahbako tadi. Tentang dedikasi perempuan. Semua pekerja dalam proses pengolahan tembakau tadi, 99 % perempuan!

Di depan BIN Cigar Factory dan para pekerja perempuan itu

Saya bersyukur diberikan kesempatan bertemu para perempuan yang tangan-tangannya terampil melakukan pekerjaannya itu. Ketekunan mereka menggambarkan arti perjuangan untuk sebuah keluarga yang menunggu di rumah. 

Beranjak menuju area di sebelah factory, kita akan menuju product store. Menurut penuturan bapak yang menyambut rombongan, ada sekitar 20 merk cerutu yang diproduksi disini yang sebagian besar telah dipasarkan di kota-kota besar, dan juga diekspor. Kalau saya tak salah lihat, nominal terkecil untuk 4 buah cerutu yang dikemas eksklusif adalah 250 ribu. Sesuai dengan detil kualitas pengolahannya.

Product store dan pojok baca ini
Bila kita bukan penikmat cerutu, bolehlah menengok produk olahan khas Jember lainnya yang juga tersedia disana, seperti edamame, coklat, kopi, dan beragam oleh-oleh lainnya. Atau coba ke ruangan sisi sebelah kiri dari pintu masuk, ada ruang bersantai dengan buku-buku menarik. Salah satunya autobiografi sang Tobacco Man. Kalau tak diburu waktu, saya ingin sekali menghabiskan waktu santai sambil membaca buku itu. 

Menelisik Satu-satunya Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Terbaik di Indonesia 

Menempuh jalan yang panjang
Dan penuh dengan likunya
Egoku egomu mengajar kita untuk berhenti sejenak
Fatamorgana jalan kehidupan
Selami arti makna
Yang tersimpan di relung jiwa

Aku kamu dan logika kita
Mungkin memang berbeda
Aku kamu dan cerita kita
Ditemukan dalam kasih sayang semesta ...Kurnia kita
   
Soundtrack Filosofi Kopi 2 mengalun merdu dalam bus yang kami tumpangi, saya dan suami ikut-ikutan bernyanyi. Ah, pas banget lagu ini mengiringi langkah siang itu menuju Pusat Penelitian Kopi dan Kakao satu-satunya di Indonesia. Rasanya tak percaya juga kalau Jember yang memilikinya.

Tempat yang biasanya disingkat dengan Puslitkoka ini bersebelahan dengan Kebun Renteng. Koordinatnya berada disini, lokasinya dalam jangkauan Desa Nogosari, Rambipuji, Jember. Saya yang biasanya disorentasi arah sudah pasti tak bisa menghafal jalan siang itu. Apalagi mendung mulai menggelayut manja di langit siang itu. Sepertinya air hujan sudah tak tahan untuk tumpah.

Jalan menuju Puslitkoka, suejukk


Untungnya, begitu saya dan rombongan sampai, hujan belum turun. Suasana sekitar jam 1 an itu lumayan sejuk. Selain faktor pohon-pohon ala perkebunan yang rimbun, ada air mancur segar dengan logo puslitkoka menyambut kami. Entah sebagian yang lain menuju kemana, saya mengikuti jejak beberapa teman menuju Pusat Inkubator Bisnisnya. Kasihan juga si bapak yang sudah menunggu rombongan, batin saya.

Bapak yang kemudian saya ketahui sebagai manajer edu wisata Puslitkoka ini mengajak kami berkeliling untuk melihat hasil-hasil penelitian kopi dan kako yang beragam. Berbagai referensi lengkap ada disini. Dan, siapa sangka Puslitkoka ini sudah berdiri sejak 1911. Saat ini, Puslitkoka masih mengandalkan dana swadaya untuk pengelolaannya. Luar biasa. Saya membatin, ini pasti bukan pekerjaan mudah. Mencatat sejarah bangsa dengan menumbuhkan penelitian semacam ini, tapi belum mendapat dukungan dana dari pemerintah. 

Ikon Puslitkoka yang berpadu dengan air mancur segar


Selepas berkeliling dan mendengar sejarah panjangnya, hujan mengguyur deras. Sialnya, saya belum sempat move ke tempat selanjutnya, yaitu di coffee shop bagian depan. Baiklah, berlari sejenak menuju masjid untuk menunaikan kewajiban siang.

Kalau berkunjung kesini, mampirlah ke coffe shop dan store yang ada di bagian depan. Menikmati olahan kopi dan coklat langsung dari kebun dan tempat produksinya sungguh menimbulkan sensasi tersendiri. Tinggal pilih, mau kopi yang langsung diracik fresh oleh baristanya, atau kemasan dingin yang sudah tersedia di kulkas. Ada pula pudding yang semuanya menggugah selera. Begitu pula coklat dan kopi dalam berbagai kemasan dan ukuran yang bisa dibawa pulang sebagai cemilan atau oleh-oleh. Harganya juga terjangkau, mulai dari 3 ribu rupiah, sampai puluhan ribu rupiah.

Aneka olahan kopi dan kakao yang membuat ngiler

Pojok barista yang lagi sibuk

Pilihan saya dan suami, pudding coklat dan kopi, sama kopi ginseng yang hot


Tak terasa hujan rupanya telah reda dan menyisakan gerimis. Ia seperti mengajak kami semua untuk melanjutkan perjalanan. Dan benar saja, kemudian saya dan rombongan diminta untuk segera ke kereta kayu yang akan mengantar berkeliling menikmati area Puslitkoka. Melihat kopi dan kakao langsung dari pohonnya rasanya mengundang decak kagum. Betapa komoditas berharga ini tumbuh subur di kota tercinta ini. Kereta kayu yang juga unik dan perlu merogoh kocek 10 ribu saja buat yang ingin turut serta dalam penjelajahan macam ini, terus membawa kami melewati konservasi rusa, taman bermain dan kolam renang anak-anak, hingga berhenti menuju tempat produksinya.

kereta kayu yang unik membawa keliling perkebunan

Perkebunan kakao yang menyegarkan mata

Papan penunjuk tempat-tempat produksi


Saatnya mengitari dan mengIntip dari jendela luar, proses pembuatan kopi dan kakao. Sepertinya banyak anak magang disini, terlihat dari orang-orang dbalik kaca lengkap dengan pakaian putih sterilnya yang masih kinyis-kinyis. Teliti dan cermat, itu kesan yang saya dapatkan. Dan, saya baru tahu kalau kakao tak hanay menghasilkan coklat, tapi juga olahan lain macam nata de coco, juga kosmetik dan sabun. 

Suasana produksi diintip dari jendela :)


Puas berkeliling, kereta kembali melaju dan mengantarkan kami ke tempat semula. Rupanya di dekat tempat parkir bis tadi, juga ada sebuah guest house yang bisa disewa bagi yang ingin bermalam di Puslitkoka. Wah, saya membayangkan seandainya saya punya kesempatan itu, pasti saya bisa lebih leluasa berkeliling di pagi harinya. Semoga saja next time, saya bsia kembali kesini. 

Guest house tampak depan siap menunggu kedatanganmu


Watu Ulo dan Papuma Menjelang Senja  

Jember terkenal dengan landscape berbukit dan juga area pantai selatannya, maka destinasi kali ini tak lengkap kalau tak mengunjungi pantai. Apalagi pantai populer macam Watu Ulo di Desa Sumberejo, Kecamatan Wuluhan, dan juga Pantai Papuma yang berada tepat di atasnya.

Mendung masih terus membayang-bayangi perjalanan kami. Tapi kalau sudah tekad, maka apapun akan dilakukan. Waktu menunjukkan sekitar pukul 4, senja sedikit lagi akan segera menampakkan tandanya.

Langkah-langkah kami bergegas dari dalam bus menuju hamparan pasir yang mengantarkan kami menuju tujuan utama, pantai! Watu Ulo ini unik karena sejarahnya banyak dikaitkan dengan cerita mistis tentang nogo rojo yang memakan apapun di wilayah itu. Sampai kemudian berhasil ditumpas oleh Raden Murdoso, hingga tubuh ular raksasa tadi terpecah menjadi beberapa bagian. Gugusannya ada di tengah, ada yang mirip tubuh ular memanjang dan berlekuk. 

Ini loh bagian dari gugusan batu mirip tubuh ular yang memanjang itu

Foto bareng dulu dong

Cerita mistis lainnya adalah tentang si penguasa Ratu pantai selatan yaitu Nyi Roro Kidul yang juga sangat kental. Percaya atau tidak, itu merupakan bagian dari legenda dan salah satu bentuk sejarah kearifan lokal yang mengingatkan kita untuk berhati-hati dan jangan sembrono :) 

Tak lama saya dan rombongan menikmati hawa Pantai Watu Ulo ini, kami harus mengejar waktu supaya juga bisa menikmati hari sebelum petang di Pantai Papuma yang merupakan kepanjangan dari Pantai Pasir Putih Malikan. Menuju kesini, lihat lokasi Pantai Papuma yang tepat berada di Desa Lojejer, Kecamatan Wuluhan. Lokasinya tak jauh dari Pantai Watu ulo, hanya perlu menanjak sedikit. Saat itu, kami menggunakan hi est bergantian. 

Papuma menjelang senja di sore yang mendung

Kebersamaan sore itu


Saya dan suami juga teman dari Blogger Jember bingung mencari tempat shalat saat itu, iyap shalat ashar belum kami tunaikan. Sedangkan musholla yang bisa disinggahi agak jauh dari tempat kami diturunkan hi est tadi. Untungnya beberapa warung tutup, dan kami shalat di atas warung lesehan bambu yang bisa digunakan untuk menggelar kain layaknya sajadah. Hm, mungkin perlu ditambah ya jumlah mushollanya di beberapa titik nantinya :) 

Sedikit sekali yang bisa dinikmati karena sore itu menyisakan terang yang teramat minim. Tapi alhamdulillah, kemudian ada kabar yang paling ditunggu. Saatnya makan malam! Kami makan di sebuah warung sederhana yang sudah dipesan sebelumnya. Menunya wajib ikan bakar. Di meja sudah terhidang mulai dari ikan gurami, ikan kakap, ikan kerapu, udang, telur, hingga lalapan dan sambelnya. Hmm, nikmat. 

Saatnya makan malam, hmm nikmat


Cukuplah ini sebagai amunisi menuju hotel yang letaknya cukup jauh, mendekati agenda keesokan harinya. Green Hill Hotel, letaknya di Jalan Raya Rembangan No.99, Baratan, di sisi utara Jember. Uniknya, ada kamar-kamar yang terangkum dalam tipe guest house. Jadi mirip cottage yang serumah mungil ada tiga  kamar dan dua kamar mandi, ruang tamu, dan dapur. 

Tanda masuk Green Hill Hotel

FGD tipis-tipis malam harinya

Meski malamnya sempat disisipi dengan FGD bareng Dinas Pariwisata, malam itu saya dan suami alhamdulillah bisa istirahat nyaman. Mesti fit buat besok pagi. 

Rafting dan Tubing Menyusuri Jumerto

Jadwal pagi ini adalah rafting dan tubing di Sungai Jumerto, tak seberapa jauh dari hotel, katanya. Saya juga ga ngeh keberadaannya, maklum newbie kalau urusan pelosok desa di Jember, hehe. 

Sengaja jadwal dibuat pagi untuk menghindari hujan yang biasanya mulai menampakkan tanda-tandanya menjelang siang. Tapi, memang situasi berkata lain, sejak pagi di hotel, gerimis sudah menyambut kami yang baru membelalakkan mata melihat ke arah jendela selepas bangun tidur. 

Trio blogger Jember lagi mengamati gerimis :) di lantai 2 guest house kami


Baiklah, mari menikmati. 

Rombongan pun sampai di rumah Ketua Pokdarwis Jumerto, lengkap dengan musik dangdutnya (mungkin biar ga ngantuk ya), suguhan teh hangat, air mineral, dan jajanan favorit sepanjang masa, gorengan! Oh, ternyata masih ada seremonial sedikit berupa welcome speech. 

Suasana di rumah Ketua Pokdarwis

Ini nih basecamp nya Jumerto Rafting
 
Saya bertanya-tanya dalam hati sambil menikmati gorengan, dimana sih letak sungainya, apa cukup berjalan kaki atau mesti naik kendaraan lagi. Kok sejauh mata memandang, ga ada tanda-tanda sungai ya. Dan gumaman saya itu terjawab dengan mobilisasi beberapa teman yang menaiki pick up dan hi est menuju sungai, tempat start nya. Dan, jaraknya ternyata masih 3 km!

Naik pick up, bumil di depan dong, di samping pak sopir yang sedang bekerja :)

Pemandangan yang kami lewati


Karena sejak pagi ternyata Jumerto sudah diguyur hujan deras, debit air sungai pun lebih kencang dari biasanya. Dan, lagi-lagi kami naik pick up lagi menuju titik starting di tengah-tengah sungai, persis di bawah jembatan. Terutama khusus yang akan mencoba tubing. Untuk rafting, tetap berada di start awal dan mendapat pengarahan lebih dulu.


Starting point mereka yang rafting



Saya pastinya ga ikutan tubing, kasihan debay dalam perut, hehe, ya iyalah, terlempar baru tahu rasa kalau nekat. Jadi, waktu yang saya punya saya gunakan layaknya mandor saja :) Melihat-lihat sekeliling, ngobrol, memotret, dan duduk-duduk cantik di tepian sungai sambil menunggu beberapa teman yang baru pertama mencoba tubing. 



Menunggu tubing dan uji coba meluncur

Kalau kamu juga baru pertama tubing, jangan lupa dengarkan semua arahan, pakai perlengkapan yang selengkap-lengkapnya, juga perhatikan debit sungainya ya. Jangan segan untuk minta pendampingan. Kita tak akan pernah tahu kehendak alam, kan? Saftey first is the most important.

Sayangnya cuaca memang tak segera menunjukkan tanda-tanda yang bersahabat. Menjelang siang, setelah tim rafting dari arah berlawanan tiba dan sibuk bersorak sorai karena mereka menikmatinya, rombongan harus kembali lagi ke rumah Keua Pokdarwis yang menjadi basecamp Jumerto Rafting. Kalau penasaran, langsung kepoin IG nya di @jumerto_rafting 

Wohoo, asik banget kan yang rafting!

Makan siang ala ndeso sudah menunggu rupanya. 

Selepas shalat dan bersih diri, saya dan teman-teman menikmati sajian sayur asem, ikan sungai yang digoreng, tempe dan tahu, juga sayur santan daun singkong, dan tak lupa sambal serta kerupuknya. Alhamdulillah.


Rasanya saya masih tak percaya kalau kali ini saya berkesempatan berpelesir di kota kelahiran saya sendiri. Ternyata Jember pun menyajikan banyak hal untuk dinikmati. Jadi, apalagi alasan yang membuat saya tak bangga jadi orang Jember? 

See you on the next trip ya, masih di Jember :)
 

Salam Dunia Gairah,
 





  

Prita HW

21 komentar:

  1. Nice share, Teh Prita.. Ini referensi banget..
    Aku bulan lalu kalau nggak lupa..he
    Ke Jember, tapi sayangnya cuaca lagi nggak dukung, shalat sembari berteduh di Masjid Roudhotul Muchlisin. Tahu kan, Teh?

    Pengen lagi ke Jember sih, pengen ke tempat wisatanya, terutama di postingan ini mobil kayunya itu, bagus, tertarik aku pengen naik..hehe

    Di perpusnya juga aku suka, Teh. Pengen bisa bersantai sembari baca disana..

    BalasHapus
    Balasan
    1. hai Andi, lah kok ga ngabari kl lagi di Jember, iya itu deket rumah masjidnya :) Ditunggu lagi di Jember yaaa

      Hapus
    2. In shaa Allah, Teh..
      Semoga ada kesempatan untuk maen ke Jember lagi. Masih penasarn sama wisatanya..he

      Hapus
  2. wahh keren banget sampe buat museum tembakau. mungkin karena jember salah satu penghasil tembakau terbesar yaa mba?

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya mbak, memang julukan Jbr itu kota tembakau terkenalnya dari dulu :) salah satu penghasil tembakau terbaik dunia, selain Kuba, kl ga salah

      Hapus
  3. Duh Jember. Kapan saya bisa datang ke sana ya, mendatangi satu persatu destinasi yang diceritakan oleh Mbak Prita di atas. Kalau karena Apanya ya tidak usah lah di tempat lain juga ada yang mirip, tapi yang lainnya ...pengen banget :-)

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehehe, ayo mbak Evi ke Jember, semoga ya, doain th depan bisa rame2 ke Jember

      Hapus
  4. Uwihhh papuma sih keren banget. Ikonnya jember juga, pasti udh tau kalo papuma tuh di jember. Ntaps

    BalasHapus
  5. wuaaaah mbak Prita orang jember ya ternyata? hihihii. Abis baca ini aku langsung tertarik buat main main ke jember. makasi sharingnya ya mbaaaak :D

    BalasHapus
  6. Kalau mendengar kata Jember, yang pertama tebersit adalah kota karnaval mbak. Ternyata wisata Jember kaya juga ya, dari museum sampai alam semua ada. Aku malah baru tau kalau Jember ini juga kota produsen tembakau, aku taunya cuma Kudus :D

    Puslitkoka apakah bisa dikunjungi perorangan? Sebagai penyuka kopi, pengen ke situ kalau ada kesempatan ke Jember.

    BalasHapus
    Balasan
    1. wah, akhirnya tau ya mas kl Jember juga kota tembakau :) Iya bisa dikunjungi perorangan everyday kok mas Puslitkokanya. Kalo ke Jbr, kabar2in yaa

      Hapus
  7. Saya sedikit kesal dengan bagian puslitkoka. Kok bisa-bisanya dari tahun 1911 tapi gk ada dukungan dari pemerintah ya?

    BalasHapus
  8. bermain air kayaknya asiik..... buat ngademin ati *eh

    BalasHapus
  9. Cuma pernah ke Papuma. Duh duh duh. ������

    BalasHapus
  10. Tahun ini aku gagal ke Jember. Baiklah, tahun depan harus nih kayanya. :))

    BalasHapus
  11. Selain JFC, Jember punya banyak daya tarik ya. Dan aku penasaran sama puslit. Sejuk gitu cuaca nya. Pasti adem ^^

    BalasHapus
  12. Bener2 kaget waktu ke puslit kakao, dikasih tau kalau hampir 90% bibit coklat di Indonesia berasal dari tanah jember, keren banget

    BalasHapus
  13. wah, banyak hal menarik ya di Jember. Tapi yang menarik buat saya , orang yang mau jadi harimau mesti puasa 41 hari dulu. Bisa diinterview lebih mendalam gimana ceritanya ? apakah wajahnya jadi lebih mirip macan ?

    BalasHapus
  14. aku ke Jember 20 thn lalu.... wakakakakak... dan yg aku kunjungi Watu Ulo... keren abis pantainya walau rute ke sana bikin sakit perut ^_^

    BalasHapus