I Can See Clearly Now...




written 19 Nov 2009

Setelah nonton Kick Andy tadi malam ‘Satu Hati Cerdaskan Bangsa’, mengingatkan sesuatu, membuat memoriku kembali ke apa yang aku alami.  

Adalah Eko Cahyono, pengelola perpustakaan Anak Bangsa, di Jl. Brawijaya, Ds. Sukopuro, Jambung, Malang. Inspiratif sekali, bagaimana tidak, seorang pemuda berusia 29 tahun ini rela mengabdikan dirinya demi mengajak lingkungan sekitarnya gemar membaca. Berawal dari menyediakan majalah dan tabloid serta membuka perpustakaan di rumah, Eko akhirnya pindah rumah demi mempertahankan perpustakaannya yang tak begitu disukai keluarganya. Juli 1998, koleksi awalnya berjumlah 400 eksemplar majalah dan tabloid, kini, koleksi buku, majalah, dan tabloidnya mencapai 15.000 eksemplar. Ditambah lagi, jumlah anggotanya membengkak menjadi 8000. Kok bisa ? ”Karena meski hanya pinjem buku sekali, dibawa pulang, itu sudah termasuk anggota”, begitu tuturnya di Metro TV tadi malam. 

Melihat sosoknya, ada yang memanggil-manggil dalam hati dan pikiranku. Ya, bayangan diriku sendiri. Mirip meski tidak sama persis. Mei 2008, aku mulai membuka perpustakaan dengan memanfaatkan setengah rumah kontrakku yang berukuran 3 x 8 m di Rumah Susun Penjaringan Sari Surabaya. Bermodal nekat, perpustakaan yang hanya bermodalkan buku, majalah, dan tabloid pribadi kategori remaja dan dewasa yang jumlahnya tak lebih dari 100 eksemplar, aku namakan Pondok Baca Bocah (PBB). Memang berniat khusus ditujukan untuk anak-anak di sekitar rusun, karena sebelumnya, permainan mereka hanya berlarian kesana kemari tidak terarah, dan bahkan dimanfaatkan oleh orang luar untuk menyewakan bom bom car plastik setiap sore.  

Karena aku tidak mempunyai cukup buku dan majalah anak-anak, dengan pede-nya, aku sms teman-teman yang mempunyai koleksi lebih untuk menyumbangkan bukunya. Berhasil, saat ini terkumpul lebih dari 250 eksemplar majalah dan buku anak-anak. Nah, buku, majalah, dan tabloid remaja dan dewasa rencananya akan aku tujukan untuk remaja dan ibu-ibu di rusun. Alhamdulillah, beberapa orang ABG yang duduk di bangku SMP, sudah menjadikan PBB sebagai jujugan untuk mencari referensi tugas sekolah, begitu pula dengan ibu-ibu yang titip pesan ke anaknya untuk dipinjamkan buku/majalah/tabloid. Anak-anak yang sudah pinjam 2 kali, aku namakan anggota. Aku tempel foto dan data diri mereka di satu sisi tembok.   Setelah hampir 2 tahun berjalan, kadang timbul dilema dalam hati. Namanya juga kontrak, tentu tempat tinggalku saat ini bukanlah tujuan akhirku untuk sebuah tempat tinggal. Saat November tiba, selalu hati ini merasa deg-degan karena harus memperpanjang kontrak. Alhamdulillah lagi, November ini aku berhasil membayarnya, meski masih kurang sedikit. Lumayan, masih ada rejeki lebih...Mahal atau ga nya mungkin relatif ya, 2,75 juta nilai kontraknya untuk 1 tahun. Bagiku yang berpenghasilan pas untuk 1 bulan dan suami yang freelancer, lumayan lah (lumayan berat maksudnya)...

Trus, kenapa dilema ? Karena jika aku pindah nanti, kadang di satu sisi, aku berat untuk membiayai kontrakan tempat senilai itu, tapi di sisi lain, curhatan anak-anak saat aku mintai pendapatnya,  
”Ingin PBB ada terus apa tutup kalau Kak Prita-begitu mereka memanggilku-pindah ?
Dan mereka serempak menjawab, ”Terusssssssssss !”,
”Ga adil Kak, kalo Kak Prita pindah trus tutup”,
”Ga enak Kak...”,
”Ga bisa wisata kota, jalan-jalan lagi”...

Hehehe, itu beberapa jawaban dari mereka. Yah, senang karena mereka seakan membutuhkan keberadaan PBB ini, sedikit miris juga, bila aku ingat niatku untuk menutup PBB seiring kepindahanku. 

Tadi malam, aku melihat keresahan yang sama terjadi pada mas Eko di Metro TV. Setidaknya ini menjadi cerminan bagiku.   
Dilema saat dia berpikir untuk meneruskan perpustakaannya, tapi tidak sanggup membayar biaya kontrak tempat, dan ketika dia bertanya pada para pengunjung setianya,  

”Yoopo rek nek perpus e tutup ?” (Gimana kalau perpus nya tutup ?),
”Mas Eko iki yoopo, ndhisek ngajak-ngajak moco, saiki arep ditutup” (Mas Eko ini gimana, dulu ngajak-ngajak baca, sekarang malah mau tutup), protes para anggotanya.  



Hahaha...mirip,mirip, ternyata bukan hanya aku yang mengalaminya. Cuma, mas Eko memang nekat, sebelumnya, untuk membiayai perpustakaan yang sangat dicintainya itu, ia harus rela menjual HP, PS, TV, bahkan menawarkan ginjal, efek dari banyak membaca iklan di surat kabar, ada mahasiswa yang menjual ginjal untuk biaya kuliah. Saat itu dia berpikir, wah, ginjal berarti mahal juga yah... :)

Beruntung, meski sempat ada penawaran dari Jakarta, Bali, dan Jateng, Allah memang belum merestuinya, sampai akhirnya dia menjual motor, dan datang inisiatif warga sekitar untuk meminjamkan sebidang tanah, dan mas Eko membangun sendiri seadanya tempat yang dinamakan perpustakaan itu. Luar biasa...  

Melihat kegigihan mas Eko, aku jadi minder dan malu. Masa sih aku ga bisa ? Itu yang tadi malam terbersit dalam benakku. Berbagi dengan orang lain dalam rangka berkonstribusi apa saja yang kita mampu lakukan memang menuntut konsekuensi lebih. Entah itu waktu, pikiran, tenaga, dan kita harus siap. Berbagi dengan orang lain berarti siap mengesampingkan urusan pribadi demi urusan orang banyak.  

Ya, aku sedang belajar dan akan terus belajar. Kalau aku pindah dan PBB ku tutup, karena hanya aku keberatan membayar tempat kontraknya, itu sama saja menutup jalan anak-anak rusun yang kebanyakan marjinal untuk mengakses informasi, meski tidak kekurangan sama sekali. Karena rusun memang awalnya adalah jatah orang-orang yang terkena penggusuran di stren kali, tidak heran banyak dari mereka yang akhirnya bekerja serabutan, mulai menjadi pembantu rumah tangga, buruh cuci, mengasuh bayi saudaranya, kuli bangunan, hingga tukang bakso sampai penjual gorengan dan es. Semuanya untuk satu kata, bertahan. 

I can see clearly now…alunan lagu yang dibawakan Maliq and D’Essensial pelan-pelan membawa optimisme dalam diriku. Semoga aku tidak menjadi pahlawan kesiangan dan tetap istiqomah :)     

Prita HW

Tidak ada komentar:

Posting Komentar