Resensi Like Stars on Earth : Every Child is Special!

Awalnya saya termasuk orang yang susah banget diajakin nonton film, hanya awalan saja. Tapi, setelah film benar-benar diputar, langsung nggak pengen beranjak, hahaha...

Apalagi kalau film itu bercerita tentang kemanusiaan, dan hal-hal menarik di pikiran saya, semacam pendidikan, penemuan, kasih sayang, ya begituan deh kira-kira. Katanya, kemanusiaan memang satu topik luas yang tak kan pernah habis dibahas.

Oke, khusus buat film yang satu ini ya, saya sangat sangat sangat tertarik. Saya kasih bintang 5 ! Sempurna. Berlebihan ? Saya rasa nggak sih ya..

Mau tahu alasannya kenapa saya kasih bintang 5 untuk Like Stars on Earth atau Taare Zameen Par  dalam bahasa India sana ?


Visual yang kece

Hm, saya akan kasih tahu alasannya sekarang...

1 Temanya pendidikan 

Alasan ini sangat subyektif ya, karena saya memang terjun total di dunia kerelawanan pendidikan dan selalu gelisah kalau melihat ada saja hal-hal yang tidak apresiatif menyoal pendidikan. Nah, kegelisahan ini ditangkap jelas oleh film yang menggambarkan bagaimana gambaran mencekam dalam ruangan kelas yang dipimpin guru-guru konvensional.

Nah, film yang menceritakan tentang Ishaan Awasthi, 9 tahun, tumbuh di keluarga yang penuh kasih sayang dan disiplin ini ternyata tak membuatnya benar-benar nyaman. Meski ia sudah berusaha untuk belajar menghadapi buku setiap malam ditemani sang mama, tetap saja ia tak bisa menyaingi kehebatan kakaknya, Yohan, terutama di depan papa mamanya. 

Bagi papanya terutama, Ishaan adalah si trouble maker kecil. Imajinasinya yang tak terbatas memang tak bisa diterjemahkan oleh banyak orang. Namun, kalau kita memperhatikan dengan peka, pernik kamarnya yang banyak dihias dengan lukisan pribadi, susunan puzzle, dan kreativitas lain sudah cukup membuat para penonton sedikit menebak-nebak bagaimana kepribadian Ishaan. Gemas, sekaligus penasaran.


Suasana kelas yang tegang

2 Menggambarkan dengan jelas peran orang tua dan guru untuk pertumbuhan karakter anak

Film ini bisa ditonton segala umur. Anak-anak pun bisa menontonnya, didampingi orang tua atau guru. Seperti kemarin, saya menontonnya bersama adik-adik di Rumah Baca HOS Tjokroaminoto untuk mengisi liburan.

Ada ironi saat menyimak karakter orang tua Ishaan yang rasanya memang tidak mengenali anaknya dengan baik, selalu menghakimi dengan kata nakal, susah diatur, susah belajar, pemalas, dan tempelan kata sifat sejenis. 

Apalagi saat si guru Seni nyentrik, Ram Shankar Nikumbh, yang diperankan begitu atraktif oleh Amir Khan ini mendatangi rumahnya untuk membangun dialog, dengan spontan papanya mengatakan, "Kasih tahu saya bagaimana anak saya bisa bersaing ? Saya sanggup memberinya makan seumur hidup...!". Weits, emang anaknya hewan apa ya!


Peran orang tua sangat super duper penting
 
Kritik pada guru juga tergambar jelas. Nyambung dah sama bahasan saya waktu mengikuti kelas Diskusi Pedidikan Kritis. Bahwa, nggak cuma di Indonesia, di belahan dunia lain pun, model pembelajaran yang tidak membebaskan itu masih terus dilestarikan. Murid hanyalah pemuas nafsu dan amarah sang guru bila keinginannya tak terpenuhi. Teacher centered is true. Ya kalau begitu, gimana murid mau ngerti sama apa yang disampaikan, perasaannya diliputi rasa takut dan bersalah. 

Seperti Ishaan yang dibentak, dilempar kapur, dipukul tangannya dengan penggaris hanya karena tak bisa memberikan perhatian penuh. Dengan mudah, julukan lazy, crazy, idiot sangat melekat dalam diri Ishaan. Di sekolahnya yang lama, juga di sekolah barunya yang boarding house. Memang si Ishaan dipindahkan saat tengah semester, alasannya, apalagi kalau memenuhi ambisi papanya agar tak malu kalau anaknya sampai tinggal kelas untuk tahun kedua.

Wajar bila akhirnya, Ishaan sangat trauma dengan guru dan pembelajaran. Ia memiliki disabilitas bernama disleksia yang sangat sulit membaca dan menulis untuk anak seusianya. Baginya, huruf-huruf adalah monster yang nyata! Momok yang mengerikan! Ishaan pun memiliki halusinasi tersendiri tentang hal ini. 

Film yang mengacak-acak emosi penonton termasuk saya ini (yah, ketahuan deh!) tambah bikin haru di saat-saat Ishaan ditinggalkan seorang diri di asrama, dan saat ketakutannya dengan guru, kelas, dan pembelajaran menjadi-jadi. Ia bahkan sering menyendiri, dan hampir berpikiran mengakhiri hidup saat berdiri menantang angin di balkon paling atas sekolah. Apalagi, suasana trenyuh makin sempurna saat kita memperhatikan lirik lagunya...  (mewek ^_____^)

trauma yang sangat menakutkan

Mataku kosong
Air mata pun telah habis
Mengisi hatiku
Aku merasa anak yang amat sangat
Aku mati rasa
Merasa semua telah meninggalkan aku. Aku kosong.

3 Menggambarkan jelas appreciative learning dan penanganan khusus disleksia

Hari-hari Ishaan selanjutnya bisa ditebak, ia mati rasa. Tak ada yang mengerti apa perasaannya. Sampai kemudian, muncullah sosok Amir Khan yang memerankan guru kesenian dengan apik. Berbeda dengan guru keseniannya yang dulu, yang harus menggambar garis dengan sempurna, Pak Nikumbh ini malah muncul dengan bermain seruling, menyamar sebagai badut, dan mengajak seisi kelas bergembira. Kecuali Ishaan, ia tak bergeming sama sekali.


Suasana kelas mendadak sangat menyenangkan

Bahkan, ketika sang guru memberikan tugas melukis pun, Ishaan tak menyentuh kertasnya sama sekali. Mati rasa. 

Dari teman sebangku Ishaan yang bernama Rajan yang juga memiliki ketidak sempurnaan pada kakinya, Nikumbh tahu tentang kekurangan Ishaan yang tak bisa membaca dan menulis dengan sempurna. Naluri kemanusiaannya berjalan, ia yang guru kontrak di sebuah sekolah anak-anak berkebutuhan khusus, dan sedang menjalani posisi guru sementara di sekolah Ishaan, langsung observasi melalui buku-buku hasil studi Ishaan. Serba terbalik, b menjadi d, simple menjadi simpl,  sir menjadi ris. Gejala ini yang akhirnya membawa pada kesimpulan bahwa Ishaan mengidap disleksia. 

Ia mendatangi rumah orang tua Ishaan, membuka percakapan, dan mengerti mengapa Ishaan menjadi seperti itu. Paling seru saat adegan ngeyel nya si papa Ishaan yang terus mengumpat anaknya malas, bodoh, kurang berusaha, Nikumbh menyodorkan kemasan mainan anak dalam Bahasa Mandarin dan memaksa papanya membacanya, meski tak bisa, ia terus mendesak, hingga ia berkata, "Berarti anda bodoh..". 

Hm, baru tahu rasa. Kadang gigantisme kekuasaan orang tua ini memang sungguh tak terbendung. Huh!

Keesokan harinya, di kelas Ishaan, Nikumbh menunjukkan flib book tentang perpisahan yang dibuat Ishaan. Dan ia mulai bercerita tentang orang-orang hebat yang juga tidak bisa membaca, menulis, namun mengguncang dunia. Seperti Albert Einstein, Thomas Alfa Edison, Agatha Christie, Walt Disney, dan bintang Bollywood yang susah saya ingat namanya :)

Motivasi si guru yang saya rekam,

"Ada permata dari diri kalian yang bisa merubah arah dunia
Melangkahlah keluar dan menciptakan sesuatu yang berbeda"

Setelah sukses membuat Ishaan tergerak untuk mengeluarkan imajinasinya, lewat pelajaran eksplorasi alam, Ishaan menghasilkan perahu bergerak dan dikagumi teman-teman sekelasnya.

Nikumbh makin yakin dan memberanikan diri meminta satu kesempatan untuk Ishaan dipertahankan. Ia menunjukkan bagaimana anak umur 9 tahun bisa menghasilkan karya lukis tak terbatas dimensinya. 

"Bakatnya di bidang lain, Pak. Sementara lewatkan saja pelajaran yang lain, dan saya akan melatihnya 2-3 minggu untuk memperbaiki tulisan terlebih dulu. Baru ejaan."

"Bagaimana dengan Matematika, Sejarah, Bahasa, Geografi, kalau hanya Seni yang penting bagi dia ?" , itulah ungkapan skeptis sang Kepala Sekolah, meski akhirnya menyetujui usul Nikumbh.

Bagian paling informatif buat saya pun dimulai :)

Nikumbh benar-benar memberinya pembelajaran ekstra selama 2-3 minggu. Ia mengenalkan huruf dengan menggunakan banyak indra, tidak hanya mata dan tangan seperti menulis di atas kertas dan sebuah pensil. Ia mengenalkan A,B,C, dan alfabet lain melalui tulisan di pasir, cat air, dan bahkan sentuhan di kulit. Dan menambahkan contoh fungsi setiap huruf. Misalkan, E untuk elephant, dan sebagainya. Ia juga menggunakan audio visual seperti rekaman audio book untuk mengingat huruf, Baru kemudian melangkah pada buku, pensil, kapur, papan tulis, dan buku cerita. Awesome! 


http://image.slidesharecdn.com/analisisfilmtaarezamenpar-121228101022-phpapp01/95/analisis-film-taare-zamen-par-39-638.jpg?cb=1356689631
www.slideshare.net


Khusus untuk belajar berhitung, Nikumbh mengajak Ishaan untuk menaiki anak tangga, menuruninya sebagai tanda mengurangi, menaikinya sebagai tanda menambah. Ditambah bermain games, melihat gambar, dan membuat aneka bentuk dari lilin, dan aneka edu learning yang keren.


http://image.slidesharecdn.com/analisisfilmtaarezamenpar-121228101022-phpapp01/95/analisis-film-taare-zamen-par-40-638.jpg?cb=1356689631
www.slideshare.net


Dan, benar saja, kemampuannya meningkat drastis, tulisan tangan Ishaan makin rapi, dan puncaknya, ia memenangkan Lomba Melukis antar siswa dan guru, dan gambarnya itu diabadikan sebagai cover buku tahunan sekolahnya di sampul depan, dan lukisan dirinya yang merupakan karya Nikumbh di sampul belakang.

Sampul depan

Sampul belakang

Bahkan, penulis skenario memunculkan dialog yang sangat apresiatif saat para guru yang dulu menjulukinya idiot sedang memberikan hasil kemajuan belajarnya pada orang tuanya : "Anak anda sangat cemerlang. Dia mempunyai perspektif yang unik..."

4 Visual yang nggak sembarangan

Saat ditonton anak-anak, film ini memiliki kekuatan pada visual yang dikerjakan serius. Gambaran imajinasi Ishaan benar-benar dideskripsikan utuh. Mulai dari opening tentang berbagai hal binatang laut menjadi layang-layang, kemudian bertransformasi menjadi bentuk lain. Belum lagi lukisan-lukisan yang dihasilkan sebagai karya Ishaan dalam film.

Termasuk saat Ishaan harus menjawab soal Matematika, 3 x 9 = 3, hahaha, everything can happen. Tergantung alasannya, nggak harus 27 loh jawabannya :) Mau tahu gimana kok bisa sama dengan 3 ? Nonton sendiri yah, hehe..


https://jacoblwilliams.files.wordpress.com/2014/08/screen-shot-2014-08-24-at-18-55-13.png
Kapten Ishaan memulai misi 3 x 9 = 3


http://3.bp.blogspot.com/-lgpu2MDJHPA/T_Ik63y4_YI/AAAAAAAAAB4/Qd9cmxLggrU/s1600/drawings.jpg
Imajinasi Ishaan di dinding kamarnya

5 Musik India yang atraktif, populer, dan kekinian 

Nah, kalau ngomongin film India pasti unsur musik nggak boleh nggak, wajib hukumnya! Nah, jangan membayangkan kalau musik yang disuguhkan ala film India jadul ya, yang ada lenggak lenggok menari lari-lari di lapangan sambil megangin batang pohon. Hahaha...

Simak saja musik yang diracik apik saat menggambarkan kesedihan Ishaan, saat Nikumbh sebagai guru Seni memasuki kelas dengan bermain seruling, dan intro yang menemani beberapa adegan. Pas banget lah mengacak-acak ke-baper-an :)

6 Akting yang totalitas

Siapa yang tak kenal Amir Khan ? Pemeran utama film "3 Idiots" yang mengkritisi sistem pendidikan di jenjang perguruan tinggi itu, ternyata memiliki sense of interest tersendiri di bidang pendidikan sampai-sampai ia memproduseri film ini sendiri lewat bendera Amir Khan Production. Debutnya sebagai produser disebut-sebut banyak orang sangat mengagumkan dan diganjar banyak penghargaan, tidak saja di India pada 2008, tapi juga Academy Awards Best Foreign Submission pada 2009. Selengkapnya tentang penghargaan, bisa dilihat disini.

Pemeran kecil yang juga menyita perhatian banyak orang dan juga dirindukan banyak orang hingga kini adalah Darsheel Safary. Anak kecil yang dulu lebih berbakat menari daripada berakting dan kemudian menjadi superstar remaja di India saat ini di usianya yang belum genap dua puluh tahun. Sampai saat ini, ia mengaku memiliki keterikatan dengan Amir Khan yang dianggapnya sebagai mentor seumur hidupnya. Wah...

7 Pesan yang mendalam

Satu pesan yang sejak awal sudah ada sebagai tagline judul film nya :

Every child is special...

Sudah tahu kan, alasan apa saja yang membawa saya akhirnya juga belum bisa move on walaupun udah nonton tiga kali, sekali pas perdana direkomendasikan suami, kedua dan ketiga nonton bareng dengan relawan dan adik-adik di Rumah Baca HOS Tjokroaminoto.

Kesimpulannya sama : nggak bosen dan highly recommended.


Mungkin film ini memang dibuat dengan ketulusan hati dari Amir Khan dan kawan-kawan yang memiliki kegelisahan mendalam tentang pendidikan anak-anak, tak heran bila akhirnya proses yang dilakukan dengan keseriusan yang tinggi dan totalitas, menghasilkan maha karya yang terus dikenang dan dijadikan rujukan banyak kalangan hingga kini. Termasuk saya yang katro karena baru nonton film ini di tahun 2016, please deh :) Kemana aja ?

Buat kalian yang cuma puas baca resensinya aja, ya silahkan. Berarti deskripsi saya sukses dong! Ah, tapi jangan ah, film nya jauhhhhhhh lebihhhhhh kereeennnnnn. Selamat terinspirasi.

Like Stars on Earth/Taare Zameen Par on screen

Foto : dari berbagai sumber




Prita HW

Tidak ada komentar:

Posting Komentar