Gerakan Membaca Masif, Harapan Negeri di Tengah Krisis



Dulu, saat saya belum mendapatkan gelar sarjana di bidang Ilmu Informasi dan Perpustakaan, minat membaca selalu diidentikkan dengan kata-kata rendahnya, minimnya, dan sinonim yang sejenis. 

Pengulangan kata yang sama tentang paradigma minat baca rendah lama-lama bisa menjadi doktrin yang akan melekat pada benak kita. Saya selalu mengkritisi kata masyarakat pada kalimat minat baca masyarakat, mengapa ? Tentu saja, kalau kita mengatakan minat baca masyarakat masih rendah, ini perlu dilakukan turunan atas masyarakat mana yang dimaksud ? Seperti dalam ilmu sosiologi yang mungkin sebagian besar telah dipelajari sejak duduk di bangku SMA sampai perkuliahan, ada banyak strata dalam masyarakat. Termasuk cara kita memandang masyarakat dari sudut yang mana. 

Saya setuju bila minat baca masyarakat dikatakan rendah lebih kepada masyarakat dengan tingkat pendidikan yang kurang beruntung, misalnya anak putus sekolah yang lebih akrab dengan aktivitas keseharian yang keras, pekerja kelas bawah yang kebanyakan dipersepsikan menggunakan sumber tenaga yang sangat dominan, atau juga orang yang buta huruf, atau yang lain... Bukannya tidak mempunyai minat, tapi lebih kepada minimnya akses literasi yang mereka dapatkan. Seperti kendala pendidikan mahal, himpitan ekonomi, atau buku yang menjadi bahan bacaan utama yang tidak terjangkau untuk dibeli dengan standar kantong mereka.

Sedangkan untuk masyarakat kelas menengah ke atas yang lebih well-literate seperti akademisi, pekerja white collar, atau orang yang lebih beruntung dalam standar ekonomi mapan, saya yakin lebih bisa dikatakan mudah memperoleh akses, sehingga minat bacanya, meski belum signifikan, bisa sedikit meningkat.

Gerakan membaca yang sudah saya impikan sejak lama, lambat laun, terutama di Surabaya, sedang mulai menemukan bentuknya. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya event pagelaran pesta buku murah, pameran buku, atau apalah namanya yang mulai digagas secara kontinyu di tingkatan kota Surabaya. Penyelenggaranya pun beragam, mulai dari penerbit ternama, penerbit buku islami, sampai keterlibatan Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) dan Badan Arsip dan Perpustakaan (Baperpus) Kota Surabaya. 

Dari sini, muncul sebuah warna baru yang menurut saya merupakan kabar gembira. Keterlibatan Baperpus sebagai tangan kanan bidang literasi stakeholder kota ini mulai menunjukkan geliatnya. Artinya, kampanye gerakan membaca sudah mulai dilakukan dengan cara yang lebih fresh, keluar dari zona nyaman sebuah gedung perpustakaan dengan segala fasilitas dan eksklusifitasnya. Berbagai talkshow pun juga turut digelar, termasuk segala bentuk training yang mengundang partisipasi masyarakat yang sudah rutin dilakukan Baperpus.

Dan sinyal positif ini terus menjadi bola salju. Ya, makin lama makin membesar. Dukungan berbagai pihak peduli literasi ikut bermunculan. Seperti halnya Forum Baca Tulis (Forbalis) Surabaya -baru launching April 2008- yang digagas oleh beberapa praktisi di dunia perpustakaan baik dari elemen pemerintah maupun masyarakat. Forbalis yang juga dinaungi Baperpus dan telah di SK-kan Pemkot, bertujuan untuk mewadahi segala bentuk kegiatan baca tulis yang dilakukan di tingkat masyarakat. Selain itu, Forbalis juga memfokuskan diri pada pembuatan sudut-sudut baca di ruang publik di Surabaya, seperti stasiun, taman kota, mall, hotel, rumah sakit, dan lain-lain. Raperda tentang sudut baca ini juga sedang digodok. 

Kabarnya akan ada sanksi bagi pengelola ruang publik yang keberatan untuk menyelenggarakan sudut baca di tempat yang dikelolanya. Ada pula Insan Baca, wadah komunitas yang ikut saya rintis dari nol dan baru berusia 1 tahun ! Insan Baca yang merupakan jaringan relawan dan pengelola taman baca & perpustakaan independen pertama di Surabaya ini ikut meramaikan kancah kampanye gerakan membaca. Namun, Insan Baca lebih concern untuk mempromosikan perpustakaan dan taman baca yang diinisiasi oleh komunitas, LSM, ataupun swadaya pribadi. Tentu, ini merupakan cara untuk memberikan informasi pada masyarakat luas bahwa taman baca & perpustakaan independen bisa menjadi alternatif memperolah bahan bacaan yang mudah dan murah. 

Bahkan, baru-baru ini dideklarasikan Surabaya Bangkit Membaca dan Pelantikan 1000 Kader Baca yang dilaksanakan di Kampoeng Ilmu, Jl. Semarang 55, lahan relokasi para PKL buku bekas. Saya yang sempat terlibat persiapan acara bersama dengan 9 organisasi yang lain merasa sangat bersemangat. Momentum kebangkitan nasional 20 Mei yang memasuki usianya yang seabad pada tahun ini diambil sebagai momen kebangkitan Surabaya Membaca. Dan malamnya, saya juga menghadiri launching perpustakaan Dukuh Kupang Timur RW IX Pakis. Berdirinya perpustakaan ini diinisiasi oleh keprihatinan penduduk sekitar Pakis yang sangat sadar bahwa lokasinya berbatasan dengan wilayah-wilayah 'merah' seperti Dolly dan Kembang Kuning. Pak Kartono, penggagas taman baca di tengah kompleks lokalisasi Jarak, tepatnya di Jl.Putat Jaya juga ikut memfasilitasi berdirinya perpustakaan ini.

Bangkitnya gerakan membaca yang menurut saya sudah mulai menunjukkan pamornya memang membawa kesan menarik dan penuh gairah bagi saya. Ditandainya kampanye gerakan membaca yang terus menerus dengan banyaknya aktivitas di dunia literasi akhir-akhir ini membuat kita tak perlu mengulang-ulang untuk menggaungkan minat baca masyarakat masih rendah. Mungkin bisa diganti dengan kata-kata yang lebih representatif seperti minat baca masyarakat sedang menuju upaya perbaikan atau mungkin yang lain. Hal ini perlu dilakukan untuk mulai merubah paradigma negatif kita dengan frame yang lebih positif. Mengimbangi ini semua, tentu saya sangat berharap bangkitnya gerakan membaca di Surabaya ini bukan sekedar euforia sesaat. Hanya untuk kepentingan momentum, geliat 'pamer niatan', menjadi tren ikut-ikutan, atau mungkin niat-niat non tulus lainnya.

Sangat perlu dilakukan banyak pendekatan untuk lebih menunjukkan pada masyarakat luas bagaimana membaca menjadi aktivitas yang sarat makna. Sebab, kadang bila kita bicara minat, maka ini berasal dari kehendak masing-masing individu, namun bila kita bicara budaya, ini lebih kepada kebiasaan yang dilakukan turun temurun dan terus menerus. 



Menciptakan budaya baca adalah yang perlu kita jadikan agenda bersama ke depan. Bila masyarakat sudah mulai mencintai budaya baca, maka keingintahuan akan sesuatu dan hausnya agenda-agenda belajar pasti akan terjadi. Dari sinilah kemudian bisa tumbuh embrio-embrio baru generasi kritis. Kritis untuk menyikapi segala kondisi yang terjadi di sekeliling kita, termasuk kritis soal keberlanjutan ruang hidup kita di tengah cengkeraman rezim yang tidak berpihak pada rakyat. Kalau kita tidak berbudaya baca, dari mana timbul sikap kritis ? Yang ada hanyalah eksploitasi kaum terdidik dan berkuasa pada kaum marjinal yang sebagian besar memang masih menjamur di negeri ini. Dan ini yang membuat kita tidak bisa berdiri di atas kaki sendiri.Sekali lagi,saatnya telah tiba. Semoga ini bukan euforia.       


Ditulis 22 Mei 2008

Prita HW

Tidak ada komentar:

Posting Komentar