Alasan Saya Lama Tidak Mengisi Blog



Terakhir menulis blog bulan Maret 2022, masyaaAllah sudah banyak peristiwa yang tidak tercatat detil di blog tercinta ini. Bukan saya melupakan, tapi kesibukan hari ini memang membuat cerita pilu manusia kekinian makin menjadi-jadi.  

Kehidupan menjadi sangat dinamis, atas nama mengejar mimpi, prestasi, dan segala sesuatu yang mungkin berbau eksistensi. 

Tapi, bukan karena alasan itu saya lama tidak menulis blog secara jujur dan dari ruang terdalam hati saya. Tapi segala produktivitas memang nyata memberikan prioritas tersendiri. Percepatan media sosial, membuat saya larut dalam senam jempol upload konten secara cepat, dan editing video ala ala demi memenuhi kebutuhan share aktivitas yang saat ini disukai, mode video pendek daripada membaca teks-teks yang panjang dan dinilai (cenderung) membosankan. 

Yang terpenting niatnya ya. Niat saya adalah merekam jejak sehingga punya dokumen otentik saat saya mau menuliskannya dalam halaman-halaman blog sebagai catatan jurnal pribadi. Selain itu, ya karena memanfaatkan waktu yang Allah berikan. 

Buat saya, produktif itu bukan soal prestasi, ingin lebih baik dari orang lain. Tapi, lebih ke kebermanfaatan daur hidup yang saya punya. Kalau sebagai manusia dan makhluk Allah, kita sama-sama punya waktu 24 jam, apa saja yang sudah kita lakukan dalam kurun waktu itu, dan sudah mempengaruhi berapa banyak orang?

Tentu itu sudah include dengan upaya yang dibilang love myself, dan juga tugas domestik sebagai istri, dan ibu buat anak-anak biologis. Persoalan individu dan kepentingan keluarga tentu harus beres duluan saat kita ingin menggandakan kebermanfaatan. 

Saya hanya ingin mengingatkan diri saya sendiri dengan tulisan ini. Tetap sedinamis apapun hidup, jangan melupakan esensi kita sebagai manusia yang berproses, dan membuat hidup lebih hidup dengan menikmati setiap aktivitas yang kita lakukan. Menekuri maknanya. 

Buku Cerita Pilu Manusia Kekinian yang ditulis Edi AH Iyubenu memberi saya pengingat itu lewat kata pengantar yang disampaikan oleh Dr. Ach. Maimun (alumnus UIN Sunan Kalijga, Yogyakarta, Wakil Rektor I INSTIKA Guluk-guluk, Sumenep) :

Manusia modern, sehari-harinya , cenderung terpasung dalam angka-angka, dari pertumbuhan , waktu, prestasi, modal, keuntungan, hingga berat badan. Manusia terjebak dalam rutinitas perpindahan dari tempat ke tempat, ruang ke ruang, kota ke kota, hingga dari kenikmatan ke kenikmatan. Manusia terpenjara dalam simbol-simbol dari penampilan, aksesoris, jabatan, popularitas, prestise, protokoler, hingga selera makan. Manusia mendapat informasi dan pengetahuan begitu cepat dan melimpah, berpacu dengan degup jantung yang tak pernah henti. Tak ada waktu refleksi, tak ada kesempatan menghayati. - h.14

Membaca buku ini, bagi saya pas dengan kondisi yang saya alami. Di satu sisi, saya tak ingin tertinggal teknologi. Di sisi lain, saya sadar bahwa semua berlalu begitu cepat. 

Namun, satu hal yang pasti, saya bukan jenis manusia yang mudah depresi dan mengutuk diri, alhamdulillah. Pondasi keimanan yang disebut aqidah bagi saya dan seharusnya seluruh manusia menjadi prioritas. Kapitalisme boleh saja menarik kita lebih dalam dengan barang-barang artificial untuk kita manfaatkan. Tapi tak boleh menarik hati kita untuk larut dalam arus dan menggenggam kefanaan lebih dalam. 

Jadi, saya menikmati percepatan, dinamika atas semua pilihan-pihan aktivitas saya sebagai knowledgepreneur yang di dalamnya saya bisa menyalurkan potensi skills-set sebagai blogger, penulis, trainer dan mentor, pembicara, knowledge manager, dan content creator. 

InsyaaAllah, dari niat tulus memulai berbagi hari ini, tak ada alasan lagi bagi saya untuk tidak mengisi blog, dan tetap menulis dalam untaian kalimat panjang untuk lebih membantu pembaca memahami setiap makna lebih dalam daripada sekedar membaca caption Instagram atau sajian video pendek di reels dan Tiktok. Bismillah.


Note : Next ya, saya review bukunya secara khusus, insyaaAllah.


- Wassalam -

 

 





 

Prita HW

1 komentar:

  1. Tertohok baca pengantar di buku tsb Mbak. Pantas saja aku merasa refresh setelah sempat beberapa hari keluar kota yang ga ada sinyalnya. Karena ke pantai terpencip, ke gunung, ke bukit, ke hutan. Jadi lebih banyak waktu untuk introspeksi, ngobrol tatap muka sama orang, dan menikmati alam. Semua itu ternyata berdampak positif ketika aku kembali ke rumah

    BalasHapus