Diah Mumpuni, Menemukan Jiwa Lewat Menjadi Fulltime Momwriter

Diah Mumpuni Afrianti momwriter Jember

Menemukan kembali jiwa yang sekaligus membentuk jalur yang lama ditelusuri, rasanya bagai menemukan jarum di tumpukan jerami. Biarlah sedikit lebai, tapi itu deskripsi saya atas apa yang kini ditekuni kembali oleh seorang bernama Diah Mumpuni Afrianti. Kini, Mbak Diah - panggilan akrab saya - bahagia sekali menemukan jalur lama yang telah ditinggalkannya, yaitu menjadi passionate writer dan merambah ke dunia blogger.

Awal pertemuan saya dengan Mbak Diah terjadi begitu saja, tentu dengan campur tangan Allah. Saya tak tahu persis dari mana Mbak Diah mendapatkan info tentang Freelance Writing Workshop yang The Jannah Institute adakan bekerjasama dengan Perpustakaan Universitas Jember (Unej). Tiba-tiba saja, dari workshop yang berlangsung sore itu, kami pun terhubung. Iyap, ibu dua anak laki-laki ini mendaftarkan dirinya ke Online Writing Class (OWC) batch 1 yang pertama kali saya gelar selepas workshop tersebut. Kalau saya tak salah ingat, itu terjadi tahun 2019.

Sapa menyapa dilakukan lewat Whats App. 

Sampai kemudian saya merasa makin mengenal sosoknya saat sedang melakukan proses editing pada naskah yang akan diterbitkan dalam project akhir OWC, yaitu berupa buku antologi bersama. 

Jujur banget, saya tersentuh dengan kisahnya. Tanpa melakukan banyak editing kecuali penyesuaian salah ketik atau paragraf, tak terasa air mata membasahi pipi saya. Saat itu, saya langsung merasa bahwa naskah ini adalah nyawa utama untuk buku antologi OWC untuk pertama kalinya. Kisahnya kuat, struktur ceritanya kompleks, dan banyak sekali hikmah. MasyaaAllah. 

Naskah perempuan yang lahir di sebuah sudut kota Jember bernama Kalisat ini, kemudian saya gubah judulnya menjadi "Masa Lalu, Terimakasih Atas Semuanya..." yang sekaligus menjadi judul buku.

Masa Lalu, Terimakasih Atas Semuanya, Debut Pertama 

Buku dengan judul di atas, yang kemudian akrab disingkat dengan MLTAS ternyata menjadi debut buku antologi perdana dari seorang Mbak Diah. Buku yang bagi saya juga penuh perjuangan, karena harus meyakinkan satu persatu orang yang terlibat bahwa kisah yang ditulisnya dengan tema hijrah story yang menggetarkan hati sama sekali bukan aib. Selalu ada hal istimewa yang tak pernah sama dari setiap insan yang Allah ciptakan.

Begitupun perempuan yang dulu sempat mengarungi kehidupan bangku kuliah di kota gudeg ini. Berkali-kali saya meyakinkan bahwa tergantung dari niat dan dari sisi mana kita menuturkannya. 

Sebenarnya saya juga terkejut saat tahu bahwa kisah Mbak Diah yang pernah mengalami bipolar syndrome dan pernah meninggalkan rumah karena putus asa ini baru perdana dibuka untuk publik ya dalam penerbitan buku ini.



Alhamdulillah, suami yang setia mendampinginya juga support sekali. 

Dan, alhamdulillah pula, respon publik sangat baik dan banyak yang merasa terinspirasi. Ini quote yang saya pilih dari tulisan Mbak Diah yang benar-benar menguras air mata bagi yang menghayatinya.

Selama ruh masih melekat dalam tubuh kita, sepanjang itulah kita berkewajiban untuk berbuat kebajikan. Bukan untuk Allah, sebab Dia tak butuh itu. Lakukan kebajikan untuk diri kita sendiri. - Diah Mumpuni Afrianti

Debut Berikutnya

Dengan struktur cerita yang sudah kuat di buku MLTAS, saya yakin perempuan yang kini bahagia menjadi fulltime mom ini juga memiliki latar belakang yang sudah akrab dengan dunia tulis menulis.

Benar saja, sejak kecil, dunia literasi rasanya sudah menjadi jiwanya. Gemar mencorat coret kertas origami yang seharusnya dilipat menjadi bentuk-bentuk tertentu saat tak menemukan buku untuk ditorehkan coretan. Hobi menulis cerpen saat semua teman sekelasnya asik bermain di luar saat jam istirahat tiba, dan pernah memenangkan lomba membuat surat cinta yang diadakan sebuah radio swasta di Yogyakarta saat sedang kuliah adalah beberapa kenangan yang membuktikannya. 

Setelah buku MLTAS, rupanya Mbak Diah pun makin konsisten menapaki dunia menulis, dan kemudian menelurkan debut berikutnya, seperti :

  • Memoar dan Memar (non fiksi, antologi, 2020)
  • Lika Liku Profesi (non fiksi, antologi, 2020)
  • Tumbuh Setelah Patah (fiksi-prosais, antologi, 2021)
Kabarnya, sahabat taat saya ini juga sedang menyelesaikan buku solonya. Cukup produktif, kan? Ini juga yang membuat saya tak ragu menawarinya menjadi asisten mentor di Online Writing Class (OWC) batch 3 yang sebentar lagi buku antologinya juga akan hadir. 

Mungkin ada yang bertanya atau menerka, apakah seorang yang sudah biasa menorehkan kata-kata ini berkuliah di jurusan Sastra? Ternyata nggak selalu, dong. Mbak Diah adalah contohnya. Berkuliah di Fakultas Teknik, Jurusan Teknik Sipil ternyata tak menjadikannya melupakan dunia literasi yang memang sudah mencuri perhatiannya sejak belia. 

Kini, temen-temen bisa menikmati tulisan seorang Diah Mumpuni di blog pribadinya, www.diahmumpuni.com yang diberi tajuk "Catatan Diah : Menemukan Jejak untuk Dikisahkan". Menyapanya juga bisa berkunjung ke akun Instagram-nya, @dee_afr. Di sana, banyak juga loh review film ataupun kontemplasi yang temen-temen bisa telusuri, hehe.

Ana uhibbuki fillah, Mbak Diah. Allah menyayangimu hingga kau temukan jalan hijrah yang indah meski awalnya terjal. Teruslah melangkah, karena seperti katamu di akhir tulisan MLTAS, dunia bukanlah tempat untuk beristirahat. 


- Wassalam -


Prita HW

7 komentar:

  1. Eh baru sadar kalau judul bukunya itu dari tulisan Mbak Diah. MasyaAllah. Memang sudah jalannya Mbak Diah untuk menjadi penulis.

    BalasHapus
  2. Udah lama kenal mbak Prita HW baru kali ini tengok blognya..

    Yaa benar saya sendiri lulusan sastra tapi tak sebagus mbak diah..

    Bkin ku merinding dan semangat menulis.

    BalasHapus
  3. iapapun bisa menulis saat ini, apalagi di era sekarang. Muda sampai tua, mau guru, pekerja yang penting ada kemauan bisa menulis. Contohnya Mb Diah ini.

    BalasHapus
  4. MasyaAllah... makasih makasih tulisan indahnya tentang aku (meski aslinya ngga seindah itu, hehe). Emang takdirnya harus ketemu mba Prita kali ya. Biar ketemu lagi sama passion yang terkubur. Jazakillah Khair... Semoga kita berteman sampai Jannah. aamiin...

    BalasHapus
  5. Passion itu harus membuat kita bahagia menjalaninya ya mbak, top deh ini! Mbak Diah ini blog dan igny rapi bener. Positive vibes dari konten-kontennya luarbiasa!

    BalasHapus
  6. Jadi penasaran dg cerita nya mbak diyah di buku antologinya yg MLTAS

    BalasHapus
  7. Saya sendiri sudah mengakui bahwa menjadi seorang ibu yang mempunyai anak, apalagi anak-anak, tidak mudah.

    bahkan seorang laki-laki terkuat pun kalau mengurus dan betah di rumah, maka tak akan mampu.

    bagaimana pun kisah bu Diyah itu sangat menggetarkan jiwa.

    Semoga istiqomah untuk beliau.

    BalasHapus