Menakar Langkah Pernikahan di Tahun Ketiga



Alhamdulillah, tepat 15 Agustus lalu, pernikahan saya dan suami tercinta yang biasa saya panggil Aa Nana Warsita memasuki tahun ketiga. Masih piyik, masih bayi. Kalau diibaratkan manusia, ya sudah bisa start untuk berjalan dan berlari kecil. Mulai mengindra dengan kemampuan terbatas apa yang ada di sekitarnya.

Meski memang tak ada tuntunan untuk merayakan anniversary, dan memang saya tak pernah merayakannya dengan tart dan lilin. Tapi, baik saya maupun suami selalu sepakat untuk melakukan semacam flashback, refleksi diri. Bagi kami, apa-apa yang sudah kami alami ini bisa jadi pijakan dan acuan untuk melangkah lagi ke depan. Persis seperti doa yang sering saya panjatkan, 

"Ya Allah, ijinkan  kami berjalan berdua di dunia ini dengan ijinMu, untuk menjadi sebaik-baik abdullah dan khalifatullah. Menuju surgaMu. Meski kadang tertatih, dan sesekali jatuh, kuatkan langkah kami untuk bangkit lagi dan sampai menuju rumah yang sebenarnya, hingga ke Jannah"

Ini kembali mengingatkan saya untuk memaknai esensi dari tema pernikahan saya yang berisi harapan dan doa kami berdua, The Jannah Wedding.

15-16 Agustus yang lalu kebetulan kami dapat hadiah yang tak disangka dari Allah SWT. Tiba-tiba, saya direkomendasi oleh seorang bapak pemilik hotel yang sedang saya temui untuk persiapan Sueger Camp nya Blogger Jember Sueger (BJS). Dan, pas si bapak menerima telepon dari seorang ibu dari Dinas Pariwisata Jember, si bapak tak ragu menyebutkan nama saya. Pucuk dicinta, ulam tiba. Pas, saya dan si ibu sudah lama tak terkoneksi. Terakhir saat saya mengikuti fam trip Dispar saat baby Tangguh masih di dalam perut.

Saya pun berhasil menjadi salah satu peserta Bimtek (Bimbingan Teknis) kepariwisataan dari Kemenpar. Istimewanya, dapat kamar di Dafam Hotel, tentu sekaligus uang saku. Ah, alhamdulillah. Mungkin, bagi sebagian orang, ini biasa banget ya.

Bagi saya, juga biasa mengikuti bimtek di hotel saat saya belum hijrah ke Jember.

Tapi kali ini spesial, ada keinginan yang bahkan belum saya panjatkan sebagai doa, ternyata sudah didengar Allah dan langsung dimudahkan. Saya berencana untuk staycation sekaligus ngobrol refleksi 3 tahun pernikahan kami, dan memang mengincar Dafam Hotel yang lagi hits di Jember. Lah kok, dikasih gratis sama Allah, pas di hari pernikahan kami. Maturnuwun, Gusti.



Meski malam itu ga terlalu intens banget buat ngobrol, menyaksikan kenyataan bahwa saat ini kami tak lagi berdua, ada bayi mungil bernama Muhammad Tangguh Ar Rafif yang selalu ikut serta dalam setiap aktivitas dan dia selalu happy diajak beraktivitas bareng ayah bundanya, sungguh itu adalah syukur yang tiada henti. 

Menikah 2015, diberi cobaan hamil diluar kandungan pada 2016, dan 2017 dipercaya mengalami kehamilan yang tak pernah saya bayangkan, 2018, anggota keluarga kami bertambah. Dan kami pun tak bisa memprediksi apa yang akan terjadi di tahun-tahun berikutnya. 2019, 2020, dan seterusnya. Yang kami tahu, terus bersyukur dari kondisi yang Allah berikan saat ini. Karena tentu, setiap orang ada jatah bahagianya, pun setiap keluarga ada tantangannya.

Yang pasti, kami tak pernah membanding-bandingkan kehidupan keluarga kami dengan keluarga yang lain. Apalagi kalau dimaknai secara artifisial, sawang sinawang itu mutlak. 

Apalagi kalau cuma dilihat dari materi, semacam si pasangan ini sudah punya rumah sendiri atau masih kontrak, si keluarga ini sudah punya kendaraan roda empat apa masih berkutat dengan si kuda besi roda dua, si ini dan itu punya penghasilan ajeg dari kerja kantoran yang mapan, dsb dsb. Naudzubillah. Saya dan suami sepakat untuk saling mengingatkan, bahwa bukan itu yang akan ditanyakan saat kami 'pulang' ke kampung akhirat. 

Tapi, lebih menjaga dari mana kehalalan sebuah harta dan digunakan untuk apa. Suami selalu berujar, "yang penting kita kasih yang terbaik buat Tangguh dari apa-apa yang halal sejak dalam perut, sampai lahir. Karena itu berpengaruh dalam darah yang mengalir, dan berdampak ke perilaku."

Kalau dibilang saya dan suami selalu kompak, hm, mungkin tepatnya berusaha menjaga kekompakan itu. Saya selalu berpesan ke adek-adek yang sering silah ukhuwah ke small office home office kami, pusat aktivitas bisnis sosial kami dengan label Lapak The Jannah dan The Jannah Institute : "Kalau secara visi misi dan pandangan hidup beres, terutama dari sudut pandang kita sebagai muslim, insyaallah urusan perbedaan karakter, kepribadian, kebiasaan, dll bisa diatasi".

Dan, saya dan suami pun mengalami itu juga.


Baca Juga :

Pre Marriage Talk : Apa Saja Persiapan Sebelum Menikah?

 

Saya yang dominan koleris melankolis yang selalu berorientasi pada semua berjalan sesuai rencana, harus pakai cara saya, dan detail cenderung perfeksionis. Sementara suami lebih dominan sanguinis plegmatis yang cenderung ingin sesuatu yang ceria, fun, ga harus terencana, dan lebih suka mendengar dan memberi nasehat.

Jadilah saya yang selalu mengomel soal barang-barang yang tidak diletakkan di tempatnya, sifat suami yang sering lupa menaruh barang, juga lupa mengingat nama dan tempat, atau istilah-istilah.

Saya yang linguistik dan sangat interpersonal harus berhadapan dengan suami yang sangat visual, spasial, dan cenderung intra personal. Contoh sederhananya gini, misal mau ke suatu tempat dengan berboncengan sepeda motor, dia akan asik mengamati perubahan jalan dan bangunan sambil menyetir. Sedangkan saya, berorientasi ke tujuan (tanpa tengok kanan kiri) dan cenderung memperhatikan perilaku orang atau manusia di sekitar. 

Saya lebih suka googling dan membaca teks, suami lebih suka membuka Youtube dan menonton video untuk suatu penelusuran informasi.

Begitu juga saat mengasuh baby Tangguh secara bergantian di rumah kontrakan kami yang mungil, kalau urusan heboh-hebohan dan merangsang motorik kasar, ayah jagonya. Simbol keramaian di mata Tangguh 😀 Sedang saya simbol ketenangan. Urusan menidurkan, atau merangsang motorik halus, ini urusan bundanya 😉



Praktis, dengan perbedaan-perbedaan itu, kami mesti banyak kompromi. Untungnya, passion kami di dunia kreatif sama. Tapi itu juga ga semulus yang dibayangkan. Suami yang sangat karyawan minded, dan saya yang sangat owner minded. Maklum, ritme Bekasi yang keras sebagai kota industri sedikit banyak mempengaruhi pola pikir suami. Sedangkan saya yang punya latar belakang bekerja di NGO, aktif berkomunitas, pernah ikut MLM, dan semacamnya, memang berpikiran sangat independen. Memutuskan hijrah ke Jember dan memulai langkah sebagai fulltime freelancer dan entrepreneur, tentu bukan keputusan yang mudah.

Menakar langkah pernikahan di tahun ketiga ini, semua perbedaan itu akhirnya melengkapi kami sebagai pasangan suami istri. Bahwa perbedaan adalah jalan takdir Nya. Dan penyatuan kami berdua juga bagian dari takdir Nya, tentu ada sesuatu yang besar yang telah Allah siapkan untuk ini semua. 

Dari sini kami belajar untuk sama-sama saling memahami karakter masing-masing dan bagaimana menjadikannya sebagai jalan untuk terus mengenal dan mengenal apa yang tidak tampak. Kami juga sepakat, romantisme harus tetap dimunculkan lewat perhatian dan kasih sayang yang kadang macam drama (hehehe), apresiasi-apresiasi kecil, permohonan maaf yang tulus, terutama untuk menjaga ritme saat hadirnya buah hati di tengah-tengah kami yang kadangkala cukup menguras energi. Doakan kami yang masih terus belajar menjadi hamba Allah lewat pernikahan ini  ya~ 



Tulisan ini adalah collaborative blogging bersama teman-teman alumni Exclusive Blogging Class The Jannah Institute, bertema pernikahan. Baca juga tulisan Mbak Ratna Dias : 6 Aspek Penting Menuju Jenjang Pernikahan   

  


Wassalam,





 

Prita HW

12 komentar:

  1. Moga langgeng sampai Jannah. Aaamiin.
    Setuju sama kalimat ini: Karena tentu, setiap orang ada jatah bahagianya, pun setiap keluarga ada tantangannya.
    Meski belum berkeluarga wkwk, tapi setuju.

    BalasHapus
    Balasan
    1. aamin aamin Allahumma aamin. Doa yg tulus buat Ines supaya dipertemukan dgn jodoh pilihan-Nya samapi jannah, aamin..

      Hapus
  2. Sukses terus mb prit n kang nana
    Aku masih inget obrolan kita d mesjid istiqomah atau bakso lik min atau yg di balikpapan plaza
    You deserve to be happy mak

    BalasHapus
    Balasan
    1. Miyyy, duh meltingggg. Aku rindu ngobrol nyata :* Makasih miy atas support dan persahabatan maya selama ini :*

      Hapus
  3. Melting mbak sama do'anya..😢 "menjadi sebaik-baik Abdullah dan Khalifatullah menuju surga Mu"
    Aamiin Allahumma Aamiin.. BarakAllah mbak.. semoga tercapai...😍

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasihhhh. Aamin. Aamin. Milla dan kang mas serta calon debay juga yaaa

      Hapus
  4. Saling melengkapi ya mbak, semua punya tugas dan porsi masing2 dibarengi dengan pengertian dan mengelola ego masing masing.

    Ga nyangka prita melankolis 😀.

    Semoga bisa menggapai ridhoNya bersama2 hingga ke jannahNya mbak..

    *Kecup

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamin aamin mbak. Hrs banyak sabar namanya mau ke Jannah ya mbak, wkwk. Kecup balik *gapakebasah :p

      Hapus
  5. Asikiin aja hidup ini ya mbaa

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dibuat asik saat jalaninnya , tetep di atas prinsip sbg abdullah dan khalifatullah~

      Hapus
  6. Semoga aku juga dapat suami yg saling mendukung, kayak mbak Prita sama mas Nana. Aamiin

    BalasHapus