Jember Islamic Track, Alternatif Wisata Religi di Jember




Kota tercinta yang lama-lama kok saya rasakan makin bertumbuh jadi kota urban saking banyaknya pendatangnya ini, ternyata menyimpan banyak kejutan. Beberapa waktu lalu, hari Minggu atau Ahad, 27 Mei 2018, pas lagi kering-keringnya ibadah puasa Ramadhan, saya, suami, dan si baby Tangguh mencoba Jember Islamic Track yang diinisiasi @tamasyabuskota

Saya dan suami memang penyuka eksplorasi hal baru. Termasuk track-track tersembunyi yang menyimpan jejak sejarah dan beraroma petualangan. Bukannya buat keren-kerenan di feed Instagram aja loh ya, tapi lebih kepada momen mengasah kepekaan pada fenomena di sekitar kita, juga belajar banyak hal baru yang bakal menambah khasanah pengetahuan. Biasanya, dari jalan-jalan yang direncanakan maupun ga, tak jarang kami mendapat banyak inspirasi untuk direproduksi ulang jadi suatu karya atau perenungan baru.

Dan, here we are. Di Jember Islamic Track yang pas banget di momen bulan suci, kami ingin lebih memaknai perkembangan Islam di Jember, dan juga julukan kota santri dan 1000 pesantren yang sempat disematkan di kota ini. Muaranya tentu kalau buat saya dan suami, untuk makin mengasah hati dan lebih memperbaiki diri.

Masjid Jami' Al Baitul Amin Lama


Kami sedikit ngebut siang itu. Maklum, ada agenda estafet, dari kelas Public Speaking for Youth nya The Jannah Institute, kami harus berada di meeting point sekitar ba'da dzuhur, kalau ga salah pukul 13.15 atau 13.30 ya 😂 

Baru saya tahu kali ini kalau ternyata Masjid Jami' Al Baitul Amin yang arsitekturnya unik dan menjadi icon di kawasan alun-alun itu ternyata punya masjid versi lama. Masjid jami' lama berada tepat di sisi seberang masjid jami' baru, dengan jembatan penyeberangan yang juga menjadi penghubung, meski jarang digunakan sepertinya. Usut punya usut, masjid jami' lama ini udah ada sejak jaman Belanda, yaitu pada tahun 1928 dan belum pernah dipugar!


Masjid Jami' lama dari kejauhan

Anggunnya bagian atas masjid ini

Pertama, oleh guide yang kemudian kami panggil Pak Ustadz karena songkok nya yang khas, kami diperkenalkan pada jam penunjuk waktu shalat yang hanya mengandalkan arah matahari. 


Ga nyangka kan kalau ini jam penunjuk waktu shalat

Asli, kalau saat itu ga dijelasin, pasti semuanya berpikir itu cuma seonggok batu tanpa makna. Ternyata pas saya sedikit naik ke sisi tepian batu di bagian bawah, baru kelihatan ada semacam penunjuk arahnya. Masya Allah upaya manusia sebelum kita untuk bisa menikmati waktu shalat sangat luar biasa. Hm, udah semestinya kita yang hidup di jaman serba canggih seperti sekarang ini harusnya makin bersemangat beribadah. Aamin. 


Pak Ustadz si guide dadakan yang cukup informatif

Saat ini masjid tersebut dipegang oleh sebuah yayasan dan diselenggarakan aktivitas belajar mengajar sebuah full day school terkenal di Jember. Bisa jadi masih ada hubungan kekeluargaan ya si pengelola yayasan ini dengan sejarah dulunya masjid ini berdiri. Karena menurut informasi terakhir, sebenarnya masjid ini sudah diwakafkan. Andai saja, suatu saat masjid ini bisa difungsikan sebagai museum perkembangan Islam di Jember sekaligus Islamic Centre dengan berbagai kegiatan, asik kali ya...


Akses masuk ke dalam masjid

Tempat imam shalat

Ini ada di tengah-tengah. Belum sempat tanya, apa fungsinya 😅
Pilar-pilar dalam masjid, unik kan?

Makam Mbah Cholifah

Seumur hidup jadi warga Jember, yang kadang ori, kadang KW, baru tau kalau ternyata di sekitar daerah Jompo, tepatnya di Jalan Samanhudi 3 yang biasa disebut dengan Tempean, ada sebuah lokasi makam yang kerap dijadikan jujugan ziarah.


Add caption

Namanya Mbah Mas Cholifah, kalau versi spanduk di depan gangnya 😅 Entahlah maksudnya apa, tapi menurut cerita dari ustadz yang jadi guide kami saat itu, Mbah Cholifah ini adalah seorang ulama dan merupakan tentara pasukan Pangeran Diponegoro yang melarikan diri ke Jember.  


Saat memasuki makam Mbah Mas Cholifah


Tempatnya pas di tengah-tengah perkampungan padat
Nemu sesuatu yang unik pas di sebelah gang menuju makam, macam2 tembakau

Jadilah kami semua menyusuri jalan kecil yang merupakan akses masuk kampung itu, anak-anak kecil pun heboh memandangi wisatawan lokal di siang bolong ini 😜 Sekitar 150-200 meter dari gang depan, sampailah kami di pesarean Mbah Cholifah. Begitu semua masuk, kami dipimpin Pak Ustadz membaca shalawat dan doa ziarah makam. 

Pesantren KH. Muhammad Shiddiq 

Tujuan selanjutnya, tim @tamasyabuskota (tapi kali ini absen bus kotanya ya, diganti pakai mobil roda empat aja, hehe) membawa kami sowan ke Pesantren KH. Shiddiq di daerah Talang Sari. 

Dari hasil ngobrol saat perjalanan di mobil, pesantren ini merupakan cikal bakal dari pesatren lainnya di Jember. Wah, saya makin penasaran. Sebab, memang Jember ini sempat mendapat julukan kota 1000 pesantren dan juga kota santri. Ga mungkin kan kalau tidak berbanding lurus dengan fenomenanya.

Saat mobil membelokkan roda menuju halaman pesantren yang langsung berhadapan dengan masjid, saya merasa perjalanan kali ini semakin lengkap. Meski kerongkongan terasa kering sekali, tapi hawa menikmati perjalanan ini dengan hati membuat auranya jadi sejuk. Jujur, memang ini yang saya rasakan. Mungkin karena representasi dari innamal a'malu bin niyati ya, semua amal (perbuatan) berwal dari niatnya. Dan, memang saya dan suami mengikuti track kali ini dengan niat tak hanya sekedar wisata.


Disinlah mobil membelokkan rodanya
 
Saya yang masih berjibaku dengan Tangguh di pelataran masjid sambil menunggu suami selesai menunaikan shalat ashar berjamaah, sibuk mengamati lingkungan sekitar. Di sekitar masjid, terdapat rumah kediaman para kyai dan bu nyai, sedangkan pesantren tempat tinggal santri masih terus ke belakang. Ini merupakan pesantren putra, sedangkan pesantren putri masih di sepanjang jalan raya Talang Sari. 

Yang menyambut kami saat itu adalah cucu dari KH. Muhammad Shiddiq, sekaligus anak bungsu dari KH. Achmad Shiddiq, yaitu KH. Muhammad Balya Firjaun.

Meluncurlah cerita bahwa KH Muhammad Shiddiq dan lebih dikenal dengan nama Kyai Shiddiq atau Mbah Shiddiq, adalah seorang muballigh atau da’i yang awal berjasa menyebarkan Islam di Jember. Awalnya, Muhammad Shiddiq yang masih berusia 30 tahun, pada tahun 1884 hijrah dari Lasem, Jawa Tengah menuju Jember, dan kemudian berdakwah konsisten sambil berdagang dengan berkeliling di pasar-pasar.

Karena akhlaknya yang santun, banyak orang yang saat itu tidak mengenal Islam, atau berIslam sekedarnya dan ada dalam masa kemaksiatan yang cukup parah, akhirnya ikut mengkaji bersama beliau. Itu pun bahkan juga dilakukan di sela-sela menunggu pembeli di pasar saat sedang berdagang. 


Gus Firjaun menyambut kami setelah berjamaan shalat ashar


Disebutkan di www.keluargabanishiddiq.wordpress.com, pada tahun 1918, beliau kemudian pindah ke Talangsari dan mendirikan masjid serta pesantren. Pesantren inilah yang kami kunjungi, lengkapnya bernama Pesantren Ash-Shiddiqi Putra (PPI ASHTRA) di Jalan KH Shiddiq 201 Jember yang diasuh oleh Gus H Firjaun bin KH Achmad Shiddiq. Pesantren di Gebang kemudian dilanjutkan oleh putranya (KH Machmud) dan kemudian dipindah ke kampung Tegal Boto yang sekarang dikenal sebagai Pesantren Al-Jauhar yang diasuh oleh (alm) Prof. DR. KH Sahilun A. Nasir M.PdI.

Kekhasan dari Mbah Shiddiq yang paling sering diceritakan turun temurun adalah tentang keistiqomahan beliau melakukan shalat berjamaah, meski dalam keadaan sakit. Beliau juga tak segan-segan untuk membangunkan para santri yang masih dibuai di pulau kapuk saat adzan subuh menjelang berkumandang. "Apapun caranya, pake gembreng yang paling sering.", begitu ungkap Gus Firjaun.

"Satu lagi yang merupakan karomah beliau, insyaallah, ga pernah bisa difoto. Pernah sekali tertangkap kamera secara ga sengaja, tapi tetep fotonya ga ada. Ga bisa tergambar setelah dicetak. Bahkan sampai sekarang, saya sendiri sebagai cucu beliau, ingin sekali melihat rupa mbah saya, tapi belum pernah sampai sekarang.", tutur Gus Firjaun lagi setengah curhat.


Makam KH. Muhammad Shiddiq

Meski kunjungan kami ke Pesantren KH. Muh. Shiddiq cukup singkat, saya cukup lega karena bisa mendengarkan langsung penuturan tentang napak tilas pesantren yang sering saya lewati ini. 

Spot destinasi wisata religi berikutnya adalah yang terakhir, sebelum kami menunggu adzan maghrib untuk menikmati menu sajian spesial di buka bersama nanti. 

Kyai Shiddiq wafat di Jember, hari Ahad, 2 Ramadhan 1353 H atau bertepatan dengan 9 Desember 1934 M dalam usia 80 tahun. Di Jalan Gajah Mada atau di kawasan Condro lah makam Kyai Shiddiq beserta anak-anak beliau berada. Dan, irnisnya ini dekat dengan rumah orang tua sekaligus rumah masa kecil saya. Tapi, sekalipun, saya belum pernah berziarah kesini 😐


Makam KH. Muhammad Shiddiq tampak depan

Ziarah makam diniatkan untuk mengingat kematian dan berkirim doa

Musholla di dalam makam Mbah Shiddiq

Napak tilas seperti ini sangat perlu buat saya dan suami supaya kita mengenali sejarah Islam di Jember dan makin bersemangat untuk menghidupi arus wisata religi yang notabene 'aset' pesantrennya sudah tersedia.

Kyai Shiddiq sangat berjasa dalam perkembangan daerah Jember menjadi daerah yang lebih mengenal Islam, setidaknya itu bisa dilihat dari keberadaan
banyaknya kyai/ulama, + 3000 masjid, + 750 pesantren,  serta + 1000 lembaga pendidikan Islam lainnya di Kabupaten Jember. Melalui pesantrenlah, cikal bakal semuanya berkembang, yaitu dengan strategi pengkaderan santri dan juga pendirian masjid-masjid yang atas jasa Kyai Shiddiq berjumlah sekitar 15 masjid pada awalnya, termasuk Masjid Jami' Al Baitul Amin Jember.



Berbuka Puasa di RM. Lestari


Ah, akhirnya, sampai juga di penghujung trip. Waktunya menunggu buka. Sempat ada waktu sekitar 45 menit menuju adzan maghrib. Karena Tangguh udah mulai rewel, jadilah say adan suami mengajaknya berkeliling melihat kolam ikan, taman, sampai berfoto bertiga di sebuah cermin 😀

Monmaap adanya foto selfie, makanannya ga keburu difoto karena udah rempong 😂


Sajian RM. Lestari yang terletak di sisi kiri masjid jami' lama terdiri dari menu ndeso semacam timbelan jawa timuran makin membuat Jember Islamic Track yang kami ikuti kali ini terasa lengkap. Menahan lapar dan dahaga rasanya worth it dengan perjalanan hati kami hari itu.


Punya Cerita Seru Lainnya Tentang Jember?

Jangan lupa untuk ikutan Lomba Blog Destinasi Wisata Jember batch 2 yang diadakan oleh Blogger Jember Sueger dan Taman Botani Sukorambi. 

Cukup tulis dua artikel, minimal 400 kata dan dilengkapi dua buah foto aja kok. Tulisan pertama tentang ulasan Taman Botani Sukorambi, bagi yang sudah pernah berkunjung, bisa menulis tentang review satu wahana, dan impian/ide pengembangan Taman Botani Sukorambi di masa depan. Bagi yang belum pernah berkunjung, bisa menulis tentang rencana yang dilakukan ketika akan berkunjung ke Taman Botani Sukorambi.
 
Tulisan kedua tentang destinasi wisata edukasi, sejarah, religi, kuliner, atau staycation di Jember. Selengkapnya info lombanya disini.







Wassalam,




Prita HW

18 komentar:

  1. trip kayak gini nih yang kayaknya perlu digaungkan lagi soalnya belajar sejarah itu menyenangkan loh. Di kota saya aja masih kurang yang adain trip kayak gini padahal di Makassar banyak banget destinasi sejarahnya. Iya saya baru ingat jember terkenal dengan kota santri, ternyata di dini awal mulanya yah. Untuk penunjuk waktu shalat tadi modelnya hampir sama dengan yang ada di arab, gak kebayang deh gimana orang-orang dulu menantikan waktu beribadahnya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. adain dah mas di makassar, trip2 kecil gini dulu bareng temen2 gitu, seru emang belajar menelusuri sejarah. Terutama di kampung halaman sendiri :)

      Hapus
  2. Mba, mau tanya. Di postingan mba ini ada tertulis ".... julukan kota santri dan 1000 pesantren sempat disematkan di kota ini".

    Apakah sekqrang julukan tersebut sudah tidak melekat di Jember ini?

    BalasHapus
    Balasan
    1. melekat tapi sudah perlahan2 terkikis mas, krn ada JFC :) Bertolak belakang dgn julukan ini. Awal2 dulu sempat diprotes kalangan pesantren.

      Hapus
  3. Nampaknya bisa jadi destinasi wisata religi Jember, ya?
    BTW sukses untuk lombanya, mba Pritha :))

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya betul mbak, destinasi alternatif ini buat wisata religi di Jember :) Ikutan mbak lombanya :)

      Hapus
  4. mau meng jember mba pritt... ajaaakin akuu donkk

    BalasHapus
  5. Ini mesjid yang di alun-alun ya mbak? Memang dekat dengan RM Lestari.
    Btw si Tangguh udah gedeee :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya bener mbak. Yang lawas dan jadi sekolahan full day. Iya udah lama Tangguh ga ketemu bude nih, hehe

      Hapus
  6. Seru banget acaranya jadi paham sejarah dan asal muasalnya ya..baby tangguh calon petualang iniii

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya mbak seru juga nih, jadi manggut2 "oo begini toh, dsb". Iya nih, si baby traveler :)

      Hapus
  7. Wow itu jam matahari ya.. sederhana ya

    BalasHapus
  8. Kental sekali ya jejak-jejak Islam di Jember Mba. Kunjungan masjid dan ziarah makam jadi alternatif wisata juga ya di sana ternyata. Jember bisa maju nih wisatanya, alam, sejarah dan religi. :))

    BalasHapus
  9. Ternyata banyak masjid2 tua di Jember ya Priiitt... Aku ke Jember kayaknya cuma dua kali tapi pas itu bukan utk liburan. Jd gak bisa lama2 di sana. Moga2 ada rezeki bisa ke Jember lagi TFS

    BalasHapus
  10. Baca tulisan mbak di atas yang ada foto larangan untuk berlari-lari, jadi ingat dulu pas SD masih suka lari-lari di Masjid Jami' Al Baitul Amin lama hehe. Ampuuun, namanya juga anak-anak ya.

    BalasHapus
  11. trip seperti ini menarik untuk dijadikan paket wisata. karena memang Jember memang identik dengan Santri. Masih inget betapa happynya dulu waktu kecil setiap sore ngaji di sebuah madrasah diniyah di kawasan talangsari.
    --
    Travel Jember Surabaya

    BalasHapus