Kabupaten di Jawa Timur dengan tingkat buta aksara tinggi adalah
Jember, Bojonegoro, Sampang, Situbondo, Banyuwangi, Sumenep, Tuban,
Pasuruan dan Malang. Hal ini diungkapkan oleh Direktur Pendidikan
Keaksaraan dan Kesetaraan Kemdikbud, Erman Syamsudin, pada kurun waktu
2015 yang lalu, seperti yang dilansir news.okezone.com. Dan, tak hanya di Jawa Timur, rupanya Jember juga merupakan daerah dengan angka buta aksara tertinggi di Indonesia.
Bupati Jember, Faida juga mengatakan sebanyak 40.638 warga yang
tersebar di 31 kecamatan di Kabupaten Jember, Jawa Timur, masih buta
aksara atau tidak bisa membaca dan menulis (jatim.antaranews.com).
Tercatat, jumlah warga buta aksara sebanyak 109.932 orang, dan setelah
program keaksaraan fungsional dijalankan hingga 2015, tercatat 69.294
orang telah bebas buta aksara, dan sisanya 40.638 orang masih buta
aksara.
Ironisnya, penyebaran warga buta aksara terbanyak dari
klasifikasi usia berimbang berada di usia produktif (15-59 tahun), yaitu
6480 orang (3,03 persen), dan 6.828 orang (3,20 persen) pada usia lebih
dari 60 tahun.
Fakta ini tentu saja bagaikan petir di siang
bolong bagi saya yang notabene warga asli Jember. Terus terang saya
miris, amat sangat. Bagaimana mungkin, kabupaten yang menjadi sentral
pendidikan wilayah tapal kuda yang terdiri dari Jember, Probolinggo,
Lumajang, Situbondo, Bondowoso, dan Banyuwangi, yang ditandai dengan
keberadaan universitas negeri ternama serta multi kampus yang lain bisa
mengalami ini?
Nyatanya ini bukan isapan jempol belaka. Sejak
beberapa tahun yang lalu pula, terdengar kabar bahwa Sokola, sekolah
alternatif yang didirikan Butet Manurung yang diawali untuk anak-anak
pedalaman, ternyata juga telah membuka program di kaki Gunung Argopuro,
Jember. Sedemikian parahnya hingga lembaga swadaya sekelas Sokola
memutuskan mengadakan aktivitas belajar mengajar di sebuah sudut
Kabupaten Jember.
Buta aksara sebenarnya merupakan permasalahan
mendasar dari tingkat literasi seseorang. Literasi yang berasal dari
kata literate dan memiliki arti melek informasi memang sering
diidentikkan dengan aktivitas membaca dan menulis. Padahal, hal yang
paling esensi dari literasi adalah kemampuan mencari dan mengolah
informasi yang ada untuk menjadi bekal pengetahuan dalam menjalani
kehidupan sehari-harinya sehingga seseorang tersebut bisa berdaya.
Kalau secara teknis paling dasar saja sudah tak dikuasai, sudah bisa
dipastikan akan berpengaruh besar dalam kehidupannya. Terlebih, tinggal
dalam kondisi negara yang tak terlalu ambil pusing dengan persoalan
masyarakatnya sampai ke tingkatan marjinal.
Secara keseluruhan,
di atas permasalahan buta aksara yang sangat mencolok di Kabupaten
Jember, persoalan minat baca di Indonesia memang dikatakan
memprihatinkan. Berdasarkan riset lima tahunan Progress in International
Reading Literacy Study (PIRLS), yang melibatkan siswa SD, Indonesia
berada pada posisi 36 dari 40 negara yang dijadikan sampel. Dan,
hasilnya, Indonesia hanya lebih baik dari Qatar, Kuwait, Maroko, dan
Afrika Selatan.
Realita ini setidaknya terjadi berdasarkan
fenomena-fenomena seperti : Pertama, peran sekolah yang memang tidak
berorientasi pada proses, tapi lebih pada hasil. Sehingga tak jarang
kita temui berita anak-anak yang stres karena tak bisa memenuhi standar
hasil ujian nasional, dan sebagainya. Belum lagi, dengan jumlah 169.031
SD dan MI di Indonesia, ternyata hanya 1 persen lebih sedikit dari data
sekolah, SD dan MI yang memiliki perpustakaan (Agus M. Irkham, Gempa
Literasi, 2012). Padahal amanah UU No. 43 Tahun 2007 tentang
Perpustakaan, setidaknya tiap sekolah memiliki satu perpustakaan.
Kedua, peran orang tua sebagai pendidik utama dalam keluarga. Dengan
kesibukan yang makin meningkat, orang tua sering menganggap bahwa
investasi waktunya untuk pekerjaan adalah yang utama karena faktor biaya
dalam membesarkan anak tak bisa dianggap remeh. Pemikiran inilah yang
kemudian membuat orangtua abai terhadap tumbuh kembang anak secara
psikologis. Sekolah sering dijadikan kambing hitam karena dianggap
pembentuk kepribadian dan karakter utama.
Otomatis, orang tua
yang tak punya porsi cukup dalam memperhatikan tumbuh kembang anaknya
juga tak bisa berperan dalam menumbuhkan minat baca yang mumpuni.
Ataupun mengajarkan cara memilah dan memilih informasi yang tepat sesuai
kebutuhan usia anak. Terlebih, sejak awal, membaca memang digambarkan
sebagai aktivitas ‘menakutkan’yang dimulai dengan pilihan buku pelajaran
dan kata ‘belajar’yang dipaksakan.
Ketiga, terjadinya loncatan
budaya dari budaya lisan, budaya membaca yang belum rampung, menuju
budaya teknologi. Tak dipungkiri, nenek moyang bahkan orang tua kita pun
lebih suka mendengarkan cerita dari katanya ke katanya daripada harus
membaca informasi aslinya sendiri. Budaya ini masih kuat di beberapa
generasi. Tak berapa lama, gembar gembor meningkatkan minat baca pun
hadir dan masih tak kunjung selesai dengan banyak pekerjaan rumah disana
sini. Tiba-tiba, kita sudah dikagetkan dengan ledakan informasi yang
sangat dahsyat dengan media bernama teknologi. Kesenjangan (gap) yang
terjadi pun semakin besar.
Generasi millenial dan generasi Z
yang saat ini menduduki usia produktif sering diidentikkan dengan tech
savvy atau generasi yang sangat mengakrabi teknologi. Itu dibuktikan
dengan penggunaan gadget yang sudah bagai barang wajib. Ironisnya,
banyak para orang tua dan juga sekolah yang menganggap wajar penggunaan
gadget ini, terlebih sejak usia dini dan anak-anak. Tentu ini memberikan
dampak negatif bila tak segera diatasi dan terjadi berkepanjangan. Anak
kecanduan gadget adalah frase yang sering digaungkan saat ini. Namun,
di sisi lain, tak mampu dibendung.
Keempat, peran negara dan
pemerintah. Sudah semestinya pemerintah sebagai pengambil kebijakan
tertinggi memikirkan hal ini dengan serius. Sebab, permasalahan literasi
yang berujung pada pendidikan yang diabaikan begitu saja dari waktu ke
waktu, suka atau tidak suka, tentu akan menjadi bom waktu yang siap
meledak kapan saja. Ini juga menyangkut kualitas generasi ke depan.
Literasi dan Kualitas Generasi
Seakan benang ruwet yang
susah untuk ditemukan ujung pangkalnya, begitulah permasalahan literasi
di negeri ini. Ujung-ujungnya, kualitas generasi ikut dikorbankan.
Kecanggihan teknologi yang ada saat ini nyatanya tak berbanding lurus
dengan kegemilangan sebuah generasi. Ada apa sebenarnya?
Ujung
pangkalnya tentu karena kita tak kembali pada aturan Islam yang
paripurna. Islam yang sempurna dan tak perlu modifikasi. Padahal Allah
sudah memberikan jaminan pada umat muslim sebagai generasi terbaik
seperti firman-Nya : “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan
untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang
munkar, dan beriman kepada Allah…”(QS. Ali Imran 3 : 110)
Pantas
saja, bila budaya membaca dan menulis atau literasi di masa lampau,
sejak zaman kepemimpinan Rasulullah di Madinah hingga masa Khulafa’ur
Rasyidin dan berlanjut pada masa kekhalifahan, tumbuh subur. Tumbuhnya
budaya literasi itu semata-mata muncul dari kesadaran akan menuntut
ilmu, mengamalkan, dan menyampaikannya karena landasan ketakwaan semata.
Bukan nafsu duniawi terhadap ilmu pengetahuan untuk menguji kepintaran,
misalnya.
Banyak peristiwa yang menunjukkan tingginya budaya
literasi dan kemuliaan ilmu ini, diantaranya Rasulullah SAW membebaskan
tawanan Badar dengan syarat mereka harus mengajarkan baca tulis pada 10
anak-anak dan orang dewasa Madinah. Pada masa Khalifah Al-Makmun,
penulis buku/kitab memperoleh upah emas seberat buku/kitab yang
ditulisnya. Sedang pada masa kekhalifahan Umawiyah, para ulama berperan
besar dalam mengoreksi buku-buku sebelum menjadi bagian koleksi
Perpustakaan Al-Umawiyah di Cordoba dan Az-Zahra. Belum lagi putra-putra
khalifah yang sudah terbiasa belajar sastra.
Itu masih belum
ditambah dengan sejarah berdirinya perpustakaan di dunia Islam.
Perkembangan perpustakaan di dunia Islam berkembang sangat pesat pada
masa kekhilafahan Abbasiyah. Bukan hanya dari segi kuantitas yang hampir
menyebar ke seluruh kekuasaan Islam, tetapi perpustakaan telah
menempati fungsi esensinya sebagai pusat pembelajaran seumur hidup. Di
zaman itu, perpustakaan telah dijadikan pusat belajar, pusat penelitian,
dan pusat aktivitas ilmiah lainnya.
Sedangkan pada dekade
keenam di abad pertama Hijr Abd al-Hakam bin Amr bin Abdullah bin Sufw
al-Jumahi mendirikan perpustakaan umum yang selain terdiri dari koleksi
buku juga dilengkapi dengan ruang bermain. Sedangkan, yang populer
dianggap perpustakaan pertama dalam Islam adalah perpustakaan yang
didirikan oleh Khalid Ibn Yazid. Bahkan, hampir di seluruh wilayah
khilafah, setiap masjidnya memiliki perpustakaan di dalamnya.
Dengan perhatian yang besar dari Rasulullah dan para Khalifah selaku
kepala negara, budaya literasi tumbuh subur hingga ke pelosok negeri.
Tak heran, puncak peradaban Islam lahir generasi emas yang mumpuni dalam
berbagai bidang. Para ilmuwan dalam peradaban Islam rata-rata adalah
polimath sekaligus hafidz alquran. Sebutlah Ibnu Sina yang di Barat
dikenal sebagai Avicena. George Sarton mengatakan, “Ia adalah ilmuwan
paling terkenal dari Islam dan salah satu yang paling terkenal dalam
semua tempat dan waktu.”Ia adalah seorang penulis, pakar kedokteran.
Keberadaan generasi emas ini telah menginspirasi dunia. Ketinggian
ilmunya semakin sempurna dengan ketinggian akhlaknya.
Belajar
dari sejarah pada masa kegemilangan Islam, seluruh aktivitas yang
diupayakan untuk mencapai budaya literasi tingkat tinggi adalah demi
memurnikan ilmu dalam rangka beribadah kepada-Nya. Bukankah tingkat
literasi yang paling tinggi sejatinya adalah mengenal diri kita berasal
dari mana, ditugaskan untuk apa di dunia ini, dan akan dikembalikan
kemana. Wallahu alam.
*dimuat di Fanpage Info Muslimah Jember (20 Februari 2018) sebagai bagian dari Kampenye Islam Politik untuk Jember Lebih Baik
Selalu merasa miriiiiis kalau saudara sesama muslim merasa cukup baca Al-Quran dan tak perlu membaca buku-buku keilmuan, buku sastra, dsb. Padahal Islam mengajarkan umat-Nya untuk membaca dan belajar, ya.
BalasHapusiya mb, kl diimbangi sbg pelengkap sebenernya malah bikin perspektif makin kaya
HapusIni harusnya lebih ditekankan lagi, belajar menulis membaca bahasa arab memang penting tapi menggali khasanah keilmuan islam dan mengemas serta menghidupkannya lagi di masa sekarang ini dalam dunia literasi sudah sangat urgen, kisah2 nabi saja sudah sangat jarang saya temukan
BalasHapusmakasih om udah mampir. Betul2 om, mari saling mengingatkan :)
HapusSaya suka pendapat Om Bisot di atas (ulem ulem) wkwk.
BalasHapusulem uem, kirain uklam uklam, wkwk
Hapus