Bagaimana Menjadi Relawan? : Sebuah Catatan Perjalanan

Butuh dan dibutuhkan menghasilkan perasaan yang berbeda. Letaknya jauh di kedalaman hati, membuat kita merasa berharga, menghargai hidup dan 
 akhirnya bersyukur.
- Butet Manurung


Cukilan pernyataan Butet itu membuat hati saya menjadi lembut dan langsung memproduksi hormon-hormon kebahagiaan yang sering disebut endorphin. Butet mengungkapkan itu saat ia menulis Apa yang Salah dengan Volunteer yang diterbitkan Kompas 2015 lalu.

Saya juga langsung teringat kisah pertemuan dengannya saat saya mengikuti sebuah Training of Trainer Manajemen Resiko Bencana bagi Guru dan Pemerhati Anak di Bojong, Bogor, 9 tahun yang lalu. Cukup lama. Tapi ingatan itu masih melekat.


bagaimana menjadi relawan


Saya yang saat itu masih aktif berjibaku sebagai relawan yang kemudian di-hire sebagai salah satu staf di Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) Jatim sedang sangat mesra berhubungan dengan kegiatan kerelawanan. Dan, tak dipungkiri, sosok Butet seakan menjadi magnet tersendiri.

Butet yang seorang lulusan dua gelar sarjana itu rela mededikasikan hidupnya masuk ke rimba dan berbuat sesuatu yang berharga bagi anak-anak pedalaman. Awalnya, ia mendaftar pada sebuah NGO (Non Government Organization), dan kemudian mendirikan Sokola Rimba-nya sendiri bersama kawan-kawannya. Lantas, apa Butet dan kawan-kawan disebut sebagai relawan? Hm..

Katanya lagi, satu hal yang mengganjal, bahwa sering kali kerja sukarela tidak dianggap sebagai pekerjaan serius. Iyap, awalnya sukarelawan atau banyak dikenal dengan kata relawan, memang bermula dari kerja sukarela tanpa gaji ataupun imbalan dengan waktu yang tidak terikat. Atau ada juga yang analoginya seperti kesederhanaan gotong royong di sebuah desa, seperti yang ditulis Suga Tangguh ini. 

Namun, seiring dinamika yang berkembang, ternyata makna relawan sudah menjadi lebih luas. Ada yang bermula dari relawan bencana seperti teman-teman di PMI, ada yang menjadi relawan pendidikan atau di bidang literasi, ada relawan kesenian, dan bahkan, belakangan ini muncul relawan-relawan dalam bidang politik. Khusus yang terakhir, saya tak begitu mendalami dan tahu secara pasti.

Yang saya tahu, seseorang disebut relawan karena ada tiga hal penting yang bisa ia bagi, diantaranya tenaga, waktu, dan materi. Seorang relawan bencana boleh jadi memiliki tenaga yang berlebih. Seorang relawan pendidikan atau di bidang literasi seperti teman-teman di Kelas Inspirasi boleh jadi punya tenaga dan waktu. Tak jarang, materi juga ikut mereka korbankan saat ada pengumpulan iuran kolektif. 

Kenapa semua ini relawan lakukan?

Menurut saya, ini berhubungan dengan perkataan Butet lagi, bahwa kekayaan batin akan senantiasa membuat kita bergairah. Namun, tentu gairah akan berlipat ganda kalau kita bisa memberi manfaat bagi orang lain.

Dan, ini pun yang saya alami. Alhamdulillah, saya telah mengenal dunia kerelawanan mulai dari tahun 2006. Saat saya masih duduk di semester pertengahan perkuliahan. Dan, pemantiknya tak lain dan tak bukan adalah majalah remaja yang saya baca. Dari majalah tersebut, saya mendapat gambaran bahwa menjadi relawan itu sangat keren dan mulia karena saya bisa berbuat dan berbagi pada orang lain dengan kemampuan yang saya miliki. 

Spontan, saat melihat poster pembukaan training gratis untuk menjadi Green Student Environmentalist (GSE) yang diadakan Walhi Jatim kala itu, saya tak pikir panjang, tancap gas untuk mendaftar. Dan, disitulah keterikatan saya dengan dunia relawan bermula. Hingga kini.

Melakukan Apapun yang Kita Bisa Lakukan = Relawan

Sebenarnya, melakukan apapun yang bisa kita lakukan demi kebahagiaan orang lain sudah bisa disebut dengan relawan dalam arti yang paling sederhana.

Pernah ga temen-temen merasakan bahagia saat baru berbagi dengan anak-anak yang tak seberuntung kita? Atau saat temen-temen sedang beres-beres rumah, melihat tumpukan baju, dan kemudian berniat menyumbangkannya ke yang lebih membutuhkan? 

Ya, sesederhana itu, apa yang kita anggap biasa saja, bisa saja merupakan kemewahan bagi orang lain. 

Karena itu pula, saya tak pernah menyepelekan yang namanya berbagi. Berbagi apa saja yang saya bisa. Dan kebetulan, daripada proporsi secara materi, saya merasa lebih mampu untuk berbagi ilmu dengan proporsi yang lebih besar.

Kerelawanan saya benar-benar terjun di dunia kemasyarakatan (bukan di lingkungan sekolah atau kampus), baru dimulai saat saya bergabung sebagai alumni GSE Walhi Jatim. Saya dan temen-temen saat itu membuat mini free magz yang dibagikan secara gratis bernama Greenlight. Kemudian kami belajar bersama-sama menularkan wawasan lingkungan yang kami dapat melalaui GSE angkatan berikutnya, hingga gerakan ini menjadi cukup masif di Surabaya, Jawa Timur, hingga di tingkat nasional. Kiprah kami juga ikut mewarnai buku Menjadi Environmentalis itu Gampang.

bagaimana menjadi relawan

Cerita kerelawanan saya berlanjut ketika setahun setelah saya berjibaku sebagai relawan di Walhi Jatim, dan kemudian di-hire sebagai staf internal yang memimpin Departemen Sumber Daya. Saya dijejali dengan banyak buku yang harus saya lahap, dan kemudian didiskusikan bersama direktur saya kala itu, yang sampai saat ini, saya anggap sebagai sahabat, kakak, sekaligus guru yang berpengaruh terhadap apa yang saya rasakan saat ini. 

Bukannya itu kerja ya? Kok disebut relawan?

Kerja sosial yang semangatnya relawan. Seperti itulah yang awal-awal dialami Butet juga, selama Sokola belum menerima funding dan segala macamnya. Sekarang, bukanlah suatu hal yang aneh menyaksikan relawan menjadi setingkat lebih tinggi ke tingkat pekerja sosial. Kalau kata seorang teman, "ga banyak yang mau melakukan porsi ini dalam jangka panjang..." . Dan, saya sangat setuju.

Saya pernah mengalami gajian 6 bulan sekali gara-gara krisis keuangan internal. Tapi saya tetap bisa 'hidup' karena saya mencintai apa yang saya lakukan, dan honor sebagai pembicara atau narasumber di suatu tempat, menjadi bonus dan penghargaan bagi diri kita sendiri.

Momen sebagai Relawan yang Paling Berkesan 

Kalau mengingat semua momen yang paling berkesan, saya agak kesulitan. Karena tiap momen di tiap komunitas yang berbeda hampir selalu berkesan. Saya ingin menuliskannya sekaligus membingkai semua peristiwa itu hingga tak hanya lekat di kenangan saya semata.

Walhi Jatim


Unforgettable moment adalah saat saya dipilih oleh Pak Direktur saat itu untuk mewakili kalangan pemuda di Jawa Timur ke event bergengsi tingkat internasional di Bali, UNFCCC (United Nation For Climate Change Conference). Event itu dihadiri oleh para anggota PBB dan NGO (Non Government Organization) seluruh dunia. Saya juga sempat bertemu dengan artis-artis yang vokal bersuara soal lingkungan, seperti Dian Sastro, Ully Siregar Rusadi, dan Nugie. Itu yang saya ingat.


bagaimana menjadi relawan

bagaimana menjadi relawan



Saya juga ngobrol dan berjibaku dengan kawan-kawan dari seluruh Indonesia, juga Srilanka, dan Filipina, dan sempat terlibat obrolan soal agama. Seru, dan saya menghargai pilihan mereka yang beberapa atheis. Saat mereka bertanya tentang Islam, maka saya menjelaskan dengan apa adanya :) Lain lagi saat saya harus berpawai damai dengan berjalan kaki mengelilingi GWK Bali dan berada di depan dengan kawan-kawan dari Spanyol dan India. Kami saling melempar senyuman dengan semangat yang sama untuk lingkungan.

Insan Baca dan Pondok Baca Bocah

Bersamaan dengan saya bergabung di Walhi Jatim, saya juga sedang berjibaku dengan skripsi, dan akhirnya melabuhkan pilihan untuk me-remake Perpustakaan WalhI Jatim menjadi Kedai Baca Walhi Jatim. Dari penelitian skripsi pulalah, saya mendirikan Insan Baca bersama tiga orang lainnya yang saya datangi satu persatu. Mereka saya tahu dari referensi teman dan koran. Insan Baca adalah jaringan relawan dan pengelola taman baca/perpustakaan independen pertama di Surabaya dan sekitarnya. 



Jauh sebelum Surabaya menjadi kota literasi hingga saat ini. Saya bangga sekaligus haru saat dinominasikan seorang kawan untuk mengikuti gelaran Dinas Sosial Surabaya, Panggung inspirasi Perubahan dengan membawa nama Insan Baca pada 2012. 

Sayangnya, pertemuan offline kami hanya sampai di angka 5 tahun. Dan kemudian, berpindah menjadi online karena tempat tinggal yang sudah berbeda. Tapi tetap saya bangga, karena sampai saat ini, masing-masing dari anggota Insan Baca menjadi pionir gerakan literasi di kotanya masing-masing.

bagaimana menjadi relawan
O iya, di kurun 2008-2012, tak lengkap kalau saya tak menyematkan Pondok Baca Bocah sebagai 'prasasti' percobaan mendirikan taman baca. Kini, anak-anak yang dulu TK dan kelas 4-6 SD itu sudah banyak yang berhasil kuliah dan kerja. Dan kami tetap berhubungan hingga saat ini. Meski tak berlanjut karena saya harus pindah, semua koleksinya kini menjadi milik taman baca Balai RW di lingkungan Rusun yang dikelola Perpustakaan Kota Surabaya.



Pendaki Gunung Indonesia (PGI) dan Komunitas 1000 Guru

bagaimana menjadi relawan
 
Sejak saya hijrah ke Semarang karena fokus pada dunia kerja di bidang advertising, saya sempat merasa hampa. Rutinitas kantor yang penuh dengan target membuat saya kehilangan diri saya yang sebenarnya. Akhirnya saya bertemu dengan PGI dan 1000 Guru yang memiliki program mengajar adik-adik di Desa Promasan, desa yang berada di tengah-tengah trek menuju Gunung Ungaran yang hanya dihuni 19 KK. Saat itu saya hanya ikut mengajar dua kali, dan saya merasa menemukan kembali jiwa yang tergerus rutinitas.

Forum Taman Bacaan Masyarakat (FTBM) 

Jaringan ini juga berkesan. Ini yang memperkenalkan saya dengan punggawa-punggawa literasi di Indonesia. Sebut saja seperti Wien Muldian, Gol A Gong, Sekar Chamdi, Kiswanti, dan sebagainya. Saya sempat menjadi tim Mas Gong di kepengurusan FTBM Pusat di tahun 2010-2015. 


bagaimana menjadi relawan


Dan, yang paling tak terlupakan adalah saat saya sengaja kabur alias tak pamit dari kantor kalau saya terbang ke Kendari untuk memenuhi undangan Festival Taman Bacaan Masyarakat disana. Saking ketatnya jadwal kantor, dan pentingnya acara itu, saya nekat berdebat setelah saya pulang kembali ke kantor. Demi silaturrahim dan tugas terakhir saya sebagai pengurus pusat. 

Tugas penting saya yang juga berkesan kala itu adalah mendampingi Zawawi Imron, dan Cok Sawitri, dua satrawan besar dari Madura dan Bali selama mereka di bandara, hendak kembali ke kota asal. Juga, menemani A. Fuadi menikmati makan siang di tengah hari yang sibuk. Dan, juga menggantikan seorang narasumber yang berhalangan. Setelahnya, ada adik-adik Kendari yang mengajak berkenalan, foto, dan minta dituliskan pesan :) 


bagaimana menjadi relawan

bagaimana menjadi relawan


Terakhir, saya sempat diajak bergabung menjadi pengurus FTBM Jawa Barat di periode 2015-2020, dan mengundurkan diri saat saya hijrah ke Jawa Timur.

Jurnal Khatulistiwa

Sekali lagi, saya butuh 'pelarian'. Lebaran 2014, saya hanya dua hari berada di kampung halaman, Jember. Dan, kemudian terbang ke Jakarta, untuk melanjutkan perjalanan ke Bekasi dan langsung berangkat menuju pendakian Gunung Ciremai bersama sahabat jaman friendster, Firmhang. Ber-16 yang semuanya baru saya kenal selain sahabat saya itu, kami 'menghilang' kurang lebih 4 hari 3 malam. 

Di puncak Pengasinan ditemani kerlip bintang, ide mendirikan Jurnal Khatulistiwa ini muncul. Semangatnya berbagi pengetahuan soal melakukan perjalanan dengan persiapan yang matang, dan juga info penting lainnya. 


bagaimana menjadi relawan


Beberapa kali saat saya di Jakarta, saya kopdar dan berbagi obrolan menarik dengan mereka, dan lewat Firmhang lah, perkenalan saya dengan suami saya saat ini bermula. Jurnal Khatulistiwa mengadakan workshop fotografi dan menulis untuk anak-anak, bersama komunitas Bekasi Foto. Saya meluncur dari Semarang untuk sharing kepenulisan saat itu.   

Sekolah Raya dan Rumah Baca HOS Tjokroaminoto

Setelah saya betul-betul resign dari ritme kerja yang sangat menguras tenaga, waktu, dan pikiran 5 tahunan, barulah saya bergabung lagi dengan komunitas pendidikan di Bekasi. 

Selain event Jambore Relawan yang memperkenalkan saya dengan circle relawan pendidikan di seluruh Indonesia yang baru lagi, saat menjadi Direktur Rumba HOS Tjokroaminoto, buat saya yang tak bisa dilupakan adalah geliat bersama relawan-relawan kece yang sebelum menjadi tim, saya wawancarai sendiri. Juga, ikatan yang kuat dengan adik-adik yang sering saya sebut Kancil (Pustakawan Cilik) yang sering nongkrong sepulang sekolah untuk bercerita apa saja dengan saya. Meski direktur, saat itu saya tak digaji. Saya anggap melakukan hobi sambil menulis di rumah baca dengan fasilitas laptop yang disediakan.
 
Rumba on the street dengan komunitas Ayo Dongeng Indonesia ini salah satu aktivitas kami. Adik-adik Kancil itu yang berjajar di belakang. Udah pada gede karena kelas 5 dan 6 SD :) Sampai sekarang, kami tetap bertukar kabar lewat inbox Facebook yang dulu saya tularkan untuk menuliskan notes resensi buku setelah mereka membaca.

Yang juga spesial adalah saat saya menjadi fasilitator untuk International Creativity Action Services (ICAS) yang dilakukan mahasiswa Malay College Kuala Kangsar, Malaysia, selama 5 hari di Bekasi. Mereka berbagi untuk anak-anak yatim dan dhuafa di TK dan SD Alam Anak Sholeh yang sekompleks dengan Rumba HOS Tjokroaminoto.

 


Mahasiswa ICAS ini berasal dari anak-anak keluarga menengah ke atas yang akan melanjutkan kuliahnya di Eropa, dan mereka rela dikerubuti nyamuk karena tidur beralaskan karpet di Rumba HOS Tjokroaminoto. Saya belajar totalitas mempersiapkan event sekecil apapun dari mereka. Semuanya tak ada yang remeh. 

Relawan Seumur Hidup

Bagi saya, menjadi relawan tak ada batasnya. Selama kita masih bernafas, maka tugas itu tak akan pernah selesai. 

Relawan bukanlah titel yang didapat dari mendaftar open recruitment dengan jangka waktu tertentu dengan feedback berupa sertifikat. Itu hanyalah langkah awal. Tapi, bagaimana dengan pengalaman sesederhana itu, kita bisa mematri jiwa kerelawanan dalam seluruh hidup yang kita punya.

Percayalah, rejeki bukan saja berupa kelimpahan materi, berkah pertemanan yang beraneka ragam dan panjang itulah yang membuat segala kemungkinan bisa terjadi. Dan, itulah yang saya alami.

Maka, jika saya sedang berkumpul dengan relawan-relawan yang sedang berapi-api, saya hanya berpesan, "idealisme bukan pas di kampus saja loh. Buat apa kamu idealis sekarang, tapi setelah kenal dunia nyata, ternyata amnesia." Silakan diartikan sendiri :) 

Lalu, bagaimana menjadi relawan?

Kalau menurut pengalaman saya sih, niatkan hidup tak hanya dimiliki oleh kita dan keluarga inti, tapi juga untuk orang lain. Bukankah keberadaan manusia di muka bumi memang untuk menjadi khalifah (pemimpin) ? Lalu, lakukan saja dengan kebahagiaan.                

Saya hanya mensyukuri segala yang telah saya lalui, dan lebih lebih tak akan menjadi seperti statement yang didengungkan Butet ini dalam tulisannya :

"Bayangkan jika suatu hari, di usia 75 tahun, tiba-tiba kita merasa hampa dan baru tersadar bahwa kita belum melakukan apa-apa untuk menghargai satu kali hidup kita."



Salam Dunia Gairah,

Prita HW

24 komentar:

  1. "idealisme bukan pas di kampus saja loh. Buat apa kamu idealis sekarang, tapi setelah kenal dunia nyata, ternyata amnesia." Silakan diartikan sendiri :)
    .
    PErlu dicatat lebih besar lagi ya, hhee
    Tertampar keras sekali mbak.
    Ada kebahagiaan tersendiri jika melakukan apa yang kita suka walau tanpa imbalan apapun,
    Karena, jika sepanjang hidup tidak melakukan hal-hal yg bermanfaat untuk orang lain itu, mungkin hidup bakalan terasa hampa, mbak...
    Keereen bingit tulisane mbak,
    gagal fokus sama tokoh idola. A. Fuadi. *_*

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semoga Rohmah bs memulai juga di kampung ya Mah, biar awet berkarya utk adek2 di Balung. Colek2 aja itu mas A. Fuadi nya Mah, hehe, punya komunitas Menara juga dia :)

      Hapus
  2. Kagum sama Butet dari remaja dan sering dibilang saudara, moga terus lahir orang-orang yang punya jiwa perduli

    BalasHapus
    Balasan
    1. Eh iya mbak, btw wajah Butet emang mirip2 mbak Eni ya :)

      Hapus
  3. mbaaak pritaaaa inspiring bangeeet . . relawan sejatii semogaa selalu diberikan sehat dan kekuatan untuk terus bsa berbgii pada yg membutuhkan. menjadi relawan ada tugas mulia, menjadi sebaik" manusia yg bermanfaat untuk sekitar :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Luckyyy, aku padamu :* Amien amien. Mumpung masih diberikan sehat ya, lebih baik berkarya sebnyak2nya

      Hapus
  4. selalu salt buat relawan2 yg bekerja untuk orang lain

    BalasHapus
    Balasan
    1. Salut juga buat Bunda Tira dengan circle of happiness nya, suksesss

      Hapus
  5. Teman-teman saya banyak yang menjadi seorang relawan, berkunjung ke daerah. Dan saya selalu bangga dengan para relawan seperti itu. TFS mba

    BalasHapus
    Balasan
    1. yes mbak, ada banyak cara jadi relawan, salah satunya tugas di daerah, krn semuanya serba minim ya..

      Hapus
  6. salut mbak, udah jadi relawan di berbagai event.
    saya juga setuju dengan kalimat "ketika kita berbagi maka akan ada perasaan bahagia yg akan menyambangi kita", dan saya juga sudah merasakan hal itu setelah melakukannya *walaupun belum sebanyak dan sehebat mbak prita hehe

    sukses terus mbak! doakan saya juga semoga bisa tetep istiqomah utk jadi relawan di PMI, biar jadi manusia yg bermanfaat utk orang lain :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Walah Wisnu, ga hebat2an kok. Jadi relawan emang kewajiban setiap orang. Ini aku pas kebetulan ada tema ini, sekalian aja nangkep momen2 yg ga semuanya ditulis.

      Relawan PMI ya, wah salut! Aku dulu PMR an doang sampe SMA, hihi. Amin amin, sukses terus ya Wisnuu

      Hapus
  7. Wuih kegiatan relawan mbak prita lumayan banyak ya. Senang mbak baca kisah perjalanan jd relawan.
    Pas Kelas Inspirasi open recrutment, pas aku lg hamil muda dn mabok. Klu gak udah daftar bareng suami, bebagi ilmu sesuai passionku.
    Tetal semangat jd relawan ya mbak :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah iya mbak, kl lagi hamil muda, tar ikutan KI bisa loncat2 lupa deh. Tetep semangat mbakkk, nunggu hamil gedean, muter2 lagi *samaan

      Hapus
  8. Wah mba Prita sudah banyak aja jadi relawannya, keren. Salut dengan mba Prita dan teman2 relawan lain. Btw itu foto mb Prita yang sama Dian Sastro, imut banget, seperti ABG :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Itu foto pas udah mahasiswa skripsian mbak *jadi malu , hahaha

      Hapus
  9. Wah,,, tentang kerelawanan mbk prita patut di contoh oleh penerusnya mbk termasuk aku pribadi. beruntung bertemu oleh orang-orang yang mau mendedikasikan dirinya untuk masyarakat meskipun sekecil apapun itu kan mbk :)

    BalasHapus
  10. Pengalaman sebagai relawan pastinya sangat berkesan ya mba, prinsipnya ikhlas diiringi niat dari hati :)Bravo mba

    BalasHapus
  11. Relawan. Kata yang sering terdengar tapi tak banyak yang yang mau melakukan.
    Benar-benar dapat teguran, karena sejak lulus SMA saya tak melakukan hal ini, bisa dibilang kangen :(
    Makasih kak tulisannya inspiratif dan bikin kangen

    BalasHapus
    Balasan
    1. semangat Bim, mumpung udah balik Lumajang lagi :)

      Hapus
  12. Wahahahahahaha.... Kaprit! Rupanya jauh sekali melanglang buana menjadi relawan. Bahkan, jauh sebelum saya mengenalnya. Salamannnn!

    Takzim dan kagum. terutama sekali ketika di Rumba Hos. Semoga kita bisa ketemu lagi di mana pun dalam kebaikan ya, Kak.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ah, Kanaz jangan gitu ka, wkwk. Amien amien kanaz, can't wait to see u again yaa

      Hapus
  13. Kuece buanget... Mbak Prita ini sebenarnya salah satu inspiratorku. Aku pengen seperti Mbak Prita yang bisa menjadi influencer banyak orang. Baik yang dibayar atau enggak hehe...
    Karena aku suka sekali berbagi motivasi. Ketika kita memotivasi orang, secara nggak langsung kita juga termotivasi sendiri.

    BalasHapus