Banggai, Aku Datang Menjemputmu


"Kamu dari mana, Ram?"
"Dari Luwuk Banggai, Kak..."
"Dari mana, Ram? Kok aku asing ya? nama kotanya?"
"Luwuk, Kak. Itu di Banggai, Sulawesi Tengah."
"Oooo..."


via banggaikab.go.id

Percakapan singkat saat Rama, pemuda asli Luwuk Banggai mempresentasikan komunitasnya dalam acara Jambore Relawan yang kebetulan mendapuk saya sebagai fasilitatornya kala itu masih saya ingat setiap kali saya mengucap atau mendengar frase Luwuk Banggai. 

Saya terkesan bukan karena keindahan alam Banggai yang dikatakan oleh Alfred Russel Wallace (1823-1913), seorang naturalis asal Inggris, sebagai the mother of all living coral reefs. Tapi lebih karena Oooo... panjang saya itu jadi semacam pukulan telak bagi saya yang warga Indonesia dan tak mengenal sebuah kota mungil bak sepotong surga di ujung timur Sulawesi dan ditakdirkan masuk Sulawesi Tengah itu.

Sejak itu, saya penasaran setiap ada buku yang mengulas tentang Luwuk Banggai, bahkan bacaan berupa artikel singkat sekalipun. Saya jadi serasa ditarik sebuah magnet untuk mengenal Luwuk Banggai yang bisa ditempuh melalui jalur udara via Makasar dan Manado.  

Bagaimana Luwuk Banggai Bermula?

Kata Luwuk memang membuat rasa penasaran tersendiri bagi saya yang hidup dan besar di Pulau Jawa. Asing. Ternyata luwuk berasal dari bahasa Saluan luwok yang berarti teluk. Luwuk adalah ibu kota dari kabupaten bernama Banggai.


via hipwee.com

Konon, menurut sejarah, Banggai telah berbentuk kerajaan sebelum abad ke-14. Berbagai penuturan tidak saja terdiri dari satu versi. Ada yang mengaitkannya dengan pernyataan Prapanca dalam Nagarakertagama dan ada pula yang menghubungkan dengan sebuah kronik Cina karya Chu Ku Fei dalam bukunya Ling-wai pada tahun 1178 M. 

Sedangkan kearifan lokal masyarakat yang berkembang diungkapkan melalui tradisi lisan yang disebut balele yang biasanya disampaikan oleh seseorang yang telah berhasil "dimasuki" roh halus dengan cara menyanyikannya.

Sampai saat ini, penelusuran sejarah juga terus dilakukan pemutakhiran sesuai data dan fakta yang ditemukan dalam perjalanannya. Terakhir, sebelum resmi pada 4 Juli 1952 Luwuk ditetapkan sebagai ibu kota Kabupaten Banggai, pada tahun 1943, Raja Banggai yang terakhir, Syukuran Aminudin Amir memindahkan ibukota Kerajaan Banggai di Luwuk yang sebelumnya berada di kota Banggai saat masih di bawah komando Jepang.

Budaya dan Kearifan Lokal Membuat #BanggaDiBanggai

Budaya yang berkaitan dengan kesukuan di Banggai ternyata sangat beragam. Tidak saja terdiri dari satu atau dua suku saja, melainkan hingga 11-12 suku dari referensi yang berhasil saya telusuri, diantaranya : 
  • Saluan yang merupakan penduduk asli Luwuk
  • Banggai
  • Balantak
  • Taa yang merupakan penduduk asli Banggai
  • Mori
  • Taliabo 
  • Babasal atau kepanjangan dari Banggai Balantal Salun merupakan perpaduan dari 3 suku asli yang masih ada hubungannya dengan keberadaan Kerajaan Banggai yang memegang teguh adat tradisi nenek moyangnya hingga hari ini.
  • Tionghoa
  • Gorontalo
  • Bugis 
  • Bali 
  • Jawa
Khusus suku-suku yang bukan merupakan penduduk asli biasanya merupakan penduduk transmigran yang awalnya datang untuk berdagang atau dengan tujuan tertentu dan kemudian menetap.Hebatnya, meski varian suku pendatang lumayan beragam, ternyata bahasa yang menjadi bahasa ibu di Luwuk Banggai bukanlah Bahasa Indonesia yang notabene bahasa nasional kita.

via firyalamyrahd.blogspot.com

Mereka memiliki bahasa daerah yang disebut bahasa Luwuk. Sebenarnya tidak terlalu berbeda dengan Bahasa Indonesia, hanya beberapa dialek dan logat khas asimilasi Melayu, Manado, dan Bahasa Saluan ternyata membuat perpaduan khas tersendiri. Di titik ini, saya jadi mengingat logat kawan saya, Rama, yang saya ceritakan di depan :)

Meski laju perekonomian di Luwuk Banggai makin terdorong maju seiring sektor pertambangan yang menjadi sumber daya utama dan menjadi andalan daerah, ternyata kearifan lokal masih tetap bertahan.Dan semoga modernitas tak merenggut nilai-nilai tradisi seperti upacara adat Molabot Tumpe yang tetap dilangsungkan. Biasanya diadakan setiap tahun di bulan September dan bersamaan dengan musim pertama burung maleo bertelur. Burung ini merupakan burung endemik dan hidup di kawasan Bakiriang.

via plus.google.com

Tak semua memang yang melaksanakan upacara adat ini. Biasanya mayoritas dilakukan oleh masyarakat Kota Banggai atau Kabupaten Banggai Kepulauan dan Kecamatan Batui yang juga masuk Kabupaten Banggai. Upacara ini berasal dari masa lampau dengan sejarah bermulanya Kabupaten Banggai dan Banggai Kepulauan.

Adapun pelaksanaan secara kronologis upacara tersebut diawali dengan mengumpulkan telur burung maleo oleh perangkat Adat Batui dengan jumlah 160 butir yang dilakukan di rumah Ketua Adat. Lantas disusul penyiapan perahu, pengantar telur Maleo yang terdiri dari 7 orang (3 orang Tua-Tua Adat dan 4 orang pendayung). Sebelum berlayar ke Banggai, telur haruslah rapi terbungkus daun komunong yang sejenis dengan daun palma. Dan telur itu merupakan amanat yang tidak boleh dimakan sebelum sampai ke Banggai. Dan dipercaya jika ada yang melanggar peraturan ini, akan terjadi malapetaka atau hal-hal yang tidak diinginkan. Entah perubahan cuaca, atau penyakit tertentu.


via news.luwukpost.info

Sulit dipercaya jika kita sebagai manusia modern yang 'kadang' menganalisis semuanya dengan nalar terbatas manusia. Tapi, saya percaya, semua aktivitas ritual biasanya memang mengandung makna tertentu yang jika dirunut akan dapat dibuktikan secara ilmiah. Hanya penuturannya memang disampaikan dengan gaya lisan yang magis agar masyarakat begitu saja patuh, tanpa harus tahu alasan dibalik itu.

Apa yang Bisa Kita Nikmati di #Banggai?

Bicara Banggai, pasti tak lepas dari pariwisatanya yang menawan, terutama untuk alam bawah laut yang 'memabukkan'. Tak mungkin Alfred Russel Wallace menyematkan julukan yang demikian dahsyat jika tak mengagumkan. Apalagi Alfred telah menulis bukunya, The Malay Archipelago dari hasil selama 8 tahun mengunjungi pulau-pulau di Indonesia, termasuk Banggai.

Selain itu, satu lagi fakta yang sampai saat ini tak henti-hentinya membuat saya berpikir saking terperanganya dengan fenomena yang 'tak ada yang kebetulan' ini, ikan capungan atau bibisan, begitu masyarakat setempat biasa menyebut, yaitu ikan banggai cardinal (pterapogon kauderni) yang hanya bisa ditemui di perairan Banggai! Bentuknya digambarkan pipih dan kecil sekitar 10-15 cm. Pengibaratannya seperti burung walet, cantik! Dan hanya ada di Banggai!

via blogs.uajy.ac.id

Nah, jika nanti saya pun berkunjung kesana, saya berjanji tak melewatkannya.

Berikut saya sudah membuat daftar tempat-tempat yang nantinya wajib saya kunjungi saat menginjakkan kaki di kota mungil ini (pede di depan tak apalah ya, haha) :

Pulo Dua 


via news.luwukpost.info


Terletak di Kecamatan Balantak Utara, pulau ini sungguh destinasi yang tak akan membuat kita menyesal. Meskipun untuk menujunya, kita harus menempuh perjalanan darat sekitar 150 kilometer dari Kota Luwuk. Dijamin, itu tak akan berdampak apa-apa setelah kita sampai di pulau dengan flora endemik yang melimpah, gugusan bukit, dan batu karang yang anggun yang seolah memberikan garis tengah untuk laut itu.

Saya sudah membayangkan untuk menyelam dan sesaat merasakan 'mabuk laut' di salah satu destinasi kebanggaan Banggai ini. Ah, membayangkannya saja adrenaline saya langsung ikut-ikutan naik dan membuat saya berdesir.

Agro Wisata Salodik


via zewiphotography.blogspot.com

Terletak di Desa Salodik, Kecamatan Luwuk Utara. Berada di Salodik, kita akan bersiap-siap menyapa penduduk asli Suku Saluan dan beberapa masyarakat asal daerah lain dengan andalannya berupa hasil pertanian. Yang terkenal, tak lain tak bukan adalah Pilaweanto Salodik yang bisa dilalui via jalur darat kurang lebih selama 1 jam atau setara dengan 27 kilometer dari Kota Luwuk.

Disana kita akan melihat air terjun yang sangat jernih, mengalir deras dari tingkatan-tingkatan yang berbeda. Kedalamannya sekitar 5 meter. Tempat ini saya bayangkan sangat cocok untuk melepas penat perjalanan dengan menceburkan diri untuk sekedar menikmati percikan airnya di sisi air terjun dan dipayungi pepohonan rimbun, tentu dengan oksigen yang sama bersihnya dengan aliran air yang mengalir. Apalagi perkebunan warga juga mendukung pemandangan dan oksigen tadi :)

Danau Tower


via news.luwukpost.info

Terletak di Desa Tower, Kecamatan Balantak Utara. Kalau kita menyukai aktivitas memancing, danau ini menjadi tempat yang tepat karena memang akan dikembangkan menjadi wisata pemancingan.

Bayangkan kita duduk ditemani angin sepoi-sepoi di pinggir dermaga sambil sesekali menyaksikan birunya danau yang merupakan percampuran air tawar dan air laut itu. Apalagi, menurut kabar yang tersiar, beberapa tahun terakhir ini, danau ini tak pernah kering setelah selama berpuluh-puluh tahun mengalami kekeringan atau bermusim kemarau. Masya Allah!

Air Molino Tontouan  


via biasputih.com

Terletak di Desa Tontouan, Kecamatan Luwuk. Awalnya, tempat ini merupakan tempat tersembunyi yang jarang diketahui pengunjung yang berniat refreshing karena letaknya yang sekitar 300 meter dari pemukiman penduduk. Sebenarnya tidaklah sulit menjangkau tempat ini, susuri saja jalan setapak menurun di punggung bukit Desa Tontouan, dan kita akan melihat seceruk 'kolam' air yang masih sangat alami dan kita bisa mendengarkan suara air bergemuruh kencang berasal dari kaki Gunung Tontouan.

Sebenarnya tempat ini merupakan kubangan air yang mempertemukan dua anak sungai. Menceburkan diri, duduk diantara bongkahan batu, menghirup dalam-dalam suasana alam yang masih sangat asri, hmm, kita akan merindukan tempat semacam ini lagi dan lagi. 

Penangkaran Burung Maleo di Taima


via 1001indonesia.net

Masih ingat burung maleo yang digunakan pada upacara adat Molabot Tumpe? Ternyata burung ini bukan sembarang burung, sesuai dugaan saya sejak awal. Burung dengan nama latin macrocephalon maleo ini merupakan mutiara tak ternilai bagi Sulawesi, dan ternyata juga seluruh dunia. Kenapa? Karena populasinya terancam punah. Saat ini, masyarakat setempat bersama-sama dengan AITo melindungi burung-burung ini di dekat Desa Taima, daerah Tompotika, tempat bertelur populasinya secara massal.

Di tempat penangkaran ini, setiap burung maleo dapat bertelur secara alami, tanpa rekayasa atau campur tangan dari manusia. Sebenarnya, hanya disinilah, satu-satunya tempat di dunia untuk melindungi habitat maleo ini. Meski, tetap saja banyak informasi yang menyatakan bahwa populasi burung maleo lebih dari 90 persen hampir musnah di hampir seluruh wilayah Sulawesi. Sungguh memprihatinkan, mengingat peranan burung maleo dalam mempertahankan kearifan lokal masyarakat Banggai sendiri :(

Pantai Kilolima   

via youtube.com

Terletak di pusat Kota Luwuk. Keindahan alam bawah lautnya juga dibarengi dengan ragam wisata kuliner yang berjajar di sepanjang pantai.

Ah, saya jadi membayangkan duduk di tepi pantai, memandang lautan lepas yang tak bertepi sambil menyantap sajian dan penganan khas Banggai. Tentu saya akan memilih onyop yang terbuat dari sagu dan biasanya disandingkan dengan beragam kuah, contohnya seperti ikan kuah asam, lombok biji, dan lemon suanggi ini. Sambil sesekali mencomot ikan bakar dan dabu-dabu iris sepertinya juga seru.

Dan, sudah pasti saya tak akan melewatkan mencicipi pisang louwe yang digoreng begitu saja dan disandingkan dengan dabu-dabu tarasi, haduh kira-kira akan seperti apa ya sensasinya? Dan semoga saja di meja saya nanti, juga ada milu siram, nasi jaha, saraba, dan kuliner lainnya yang meski saya tak mungkin menghabiskannya, cukuplah untuk menentaskan rasa penasaran pada ragam kuliner di Banggai :)


Onyop via niank1908.blogspot.co.id

Ikan bakar dan dabu-dabu iris via pinterest.com

Pisang lowe via food.detik.com

#FSB2017, Ijinkan Aku Datang Menyaksikanmu 

Festival Sastra Banggai (FSB) buat saya adalah representasi dari kebanggaan Banggai itu sendiri. Saya ikut merinding saat membaca niatan tulus dari pemuda-pemuda kebanggan Banggai yang ingin memajukan iklim literasi di kota kebanggaannya.




Sebagai pegiat literasi nomaden, karena berpindah-pindah tempat domisili hingga saat ini melabuhkan diri untuk kembali pulang kampung, saya memiliki impian dan cita-cita yang sama. Membumikan sastra dan pena di kota sendiri. Karena itu, saya ingin sekali mengambil inspirasi dari FSB 2017 ini. Semoga apa yang saya cita-citakan saat menulis ini terkabul dan saripatinya bisa saya bawa pulang untuk membangun semangat yang sama.


Aktivitas literasi saya sejak 2007 dimulai di Surabaya-Semarang-Balikpapan-Bekasi-dan saat ini Jember. Dimanapun, literasi adalah nafas.

Prita HW

14 komentar:

  1. Wuidih, saya malah belum pernah ke sana mbak, semoga tercapai deh :)

    BalasHapus
  2. jauh banget ternyata, di Sulawesi

    BalasHapus
    Balasan
    1. insyaAllah ga jauh mas, naik pesawat, wkwk. Penasaran juga sih

      Hapus
  3. Sukses ya mbakkk, semoga tercapai deh

    BalasHapus
  4. Lengkap sekali Mbak, prolognya juga asyik. Saya punya bukunya Wallace, tapi baru baca bagian awalnya, dan pengen lanjutin lagi ketika di tulisan ini dia menyebut Banggai begitu mengagumkan. Kereeen! Sukses ya Mbak, good luck:)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wih, buku2 mu ngeri loh, qy :) Wah makasihh ya sdh menikmati tulisan ini. Sukses juga ya qyyy

      Hapus
  5. Semoga kita bisa kesana ya mbak prita ;)

    BalasHapus
  6. Pemandangan dari atas (aerial view)nya kece banget mbaaak. Huaaa cantik ya Banggai ini.

    Penasaran juga sama pisangnya hwhwhw

    omnduut.com

    BalasHapus
  7. view nya cantik ya banggai ini. bangga lah sama Indonesia setiap kota memiliki pesona nya masing masing

    BalasHapus
  8. ya Allah eksotis banget, aku suka bukitnya, pingin ke sana juga someday

    BalasHapus
  9. liat foto pemandanganya bikin ngiler. Semoga aja suatu saat sy bisa kesana.

    BalasHapus