Selalu dipuji-puji dengan keindahan alamnya yang terus menahan mata untuk tak berkedip sedikit pun, Indonesia timur memang mendapatkan tempat yang istimewa. Tidak saja di hati kita, tapi sudah dimulai jauh seperti yang dituturkan sejarah.
Dalam bayangan saya yang sangat minim tentang wilayah timur Indonesia, Ambon mengambil porsi lebih banyak yang menyita perhatian selain Papua.
Sehingga saat saya mencoba memahami sebuah tempat yang disebut sebagai mutiara terpendam bernama Tidore, bayangan saya hanya ada pada frase Ternate dan Tidore. Saat saya cari di literatur tentang Maluku, nihil. Begitu membuka peta, terkuaklah tabir tentang titik-titik pulau yang ternyata masuk wilayah Maluku Utara, provinsi yang berbeda dari Maluku.
Dalam bayangan saya yang sangat minim tentang wilayah timur Indonesia, Ambon mengambil porsi lebih banyak yang menyita perhatian selain Papua.
Sehingga saat saya mencoba memahami sebuah tempat yang disebut sebagai mutiara terpendam bernama Tidore, bayangan saya hanya ada pada frase Ternate dan Tidore. Saat saya cari di literatur tentang Maluku, nihil. Begitu membuka peta, terkuaklah tabir tentang titik-titik pulau yang ternyata masuk wilayah Maluku Utara, provinsi yang berbeda dari Maluku.
Ya ampun, terus terang saya malu pada diri sendiri. Tapi, saya juga berbesar hati sih, saya rasa banyak juga orang-orang Indonesia yang seperti saya. Maka, ketika saya membaca tagline Visit Tidore Island di lini massa, saya penasaran berkepanjangan.
Adat ge mauri Syara, Syara mauri Kitabullah
Satu kekuatan pondasi sosial yang tercermin dari ungkapan di atas menjadi alasan kuat kenapa saya ingin berkunjung ke pulau kaya rempah-rempah ini. Bukan saja karena saya pecinta rempah-rempah akut, tapi lebih dari itu. Saya ingin membuktikan dan melihat langsung makna kalimat yang berarti adat bersendi pada syariat (Islam) dan syariat (Islam) yang bersendi pada kitab Allah SWT (Al-Qur’an).
Wow, kalimat ini membuat saya bergidik. Bukan, bukan karena ngeri atau takut. Bergidik juga identik dengan rasa takjub yang amat dalam sehingga saya ingin menikmati ketakjuban itu lebih lama.
Terlebih, saat literatur yang saya telusuri berkata bagaimana para ulama terdahulu, mulai dari Syekh Yaqub hingga Imam Djafar serta ulama lainnya, memikirkan strategi yang lebih dari sekedar pendekatan sosio kultural yang dilakukan Wali Songo di Jawa.
Ini sekaligus membuktikan bahwa masyarakat Tidore kuno sudah memiliki kecakapan spiritual yang mumpuni. Sehingga mengenalkan Islam pun dilakukan dengan tingkatan yang tinggi, seperti menanamkan kelimuan hakekat yang mendasar : harmoni alam, identitas Illahiah, dan adat yang diyakini bisa berjalan membentuk satu kesatuan yang bertahan hingga kini.
Luar biasa. Saya betul-betul ingin bercakap-cakap agak lama dengan para ulama atau tokoh keagamaan disana untuk menilik lebih jauh bagaimana peradaban Islam yang seringkali diidentikkan bertentangan dengan adat, bisa berjalan selaras menjadi keraifan lokal yang kuat.
Mungkin saja, saat berbincang hangat itu, saya juga diberi kesempatan untuk meneguk kopi rempah dan menikmati sajian papeda, lapis Tidore, sagu tore, kue bilolo, serta mam raha sebagai suguhan. Tak ada salahnya kan berkhayal, haha :)
Wow, kalimat ini membuat saya bergidik. Bukan, bukan karena ngeri atau takut. Bergidik juga identik dengan rasa takjub yang amat dalam sehingga saya ingin menikmati ketakjuban itu lebih lama.
Terlebih, saat literatur yang saya telusuri berkata bagaimana para ulama terdahulu, mulai dari Syekh Yaqub hingga Imam Djafar serta ulama lainnya, memikirkan strategi yang lebih dari sekedar pendekatan sosio kultural yang dilakukan Wali Songo di Jawa.
Ini sekaligus membuktikan bahwa masyarakat Tidore kuno sudah memiliki kecakapan spiritual yang mumpuni. Sehingga mengenalkan Islam pun dilakukan dengan tingkatan yang tinggi, seperti menanamkan kelimuan hakekat yang mendasar : harmoni alam, identitas Illahiah, dan adat yang diyakini bisa berjalan membentuk satu kesatuan yang bertahan hingga kini.
![]() |
via blog.reservasi.com |
Luar biasa. Saya betul-betul ingin bercakap-cakap agak lama dengan para ulama atau tokoh keagamaan disana untuk menilik lebih jauh bagaimana peradaban Islam yang seringkali diidentikkan bertentangan dengan adat, bisa berjalan selaras menjadi keraifan lokal yang kuat.
Mungkin saja, saat berbincang hangat itu, saya juga diberi kesempatan untuk meneguk kopi rempah dan menikmati sajian papeda, lapis Tidore, sagu tore, kue bilolo, serta mam raha sebagai suguhan. Tak ada salahnya kan berkhayal, haha :)
Merawat Ingatan di Hari Jadi yang ke-909
Lupakan sejenak tentang keindahan Pulau Maitara yang tergambar di salah satu pecahan mata uang bernominal 1000, puncak gunung Kie Matubu, kokohnya Benteng Tore dan Tohula, sejuknya air terjun Goheba, atau lucunya lumba-lumba di Pulau Mare. Semua itu sudah pasti tak ingin kita lewati saat berkunjung ke Tidore. Begitu pun saya.
Siapa yang tak ingin mencicipi secuil surga yang diturunkan ke dunia lewat Maha Karya yang begitu detail dan berdecak kata indah tak berujung?
Tentu tak ada.
Namun, alangkah bijaknya ketika dalam waktu yang sama kita menikmati keindahan alam di negeri seluas 9.564,7 km² ini, kita tak melupakan begitu saja bagaimana perjuangan panjang pejuang-pejuang Tidore seperti Sultan Nuku (1780-1805 M) dan juga para ulama yang berhasil merawat tradisi dalam bingkai Islam yang rahmatan lil ‘alamin.
Untuk memaknai perjalanan panjang yang ternyata sudah masuk angka 9 dalam bilangan ratusan ini, Festival Tidore memang jawaban yang tepat untuk merayakannya. Bukan. Bukan sekedar euforia dan pesta, tapi sebagai wujud rasa syukur yang memang seharusnya tak berkesudahan. Sekaligus menjadi momentum buat orang-orang cupu macam saya yang tak mengenal Tidore yang sebegini indah.
Saya membayangkan bagaimana masyarakat tumpah ruah sekaligus haru dalam balutan reliugisitas berpadu ritual yang penuh nilai ini.
Jujur, buat saya, aroma kearifan lokal yang kental rasanya menghentak jantung dan seolah menarik-narik jiwa saya untuk mendalaminya. Seperti kata Sukarno, jasmerah, jangan pernah melupakan sejarah, memang benar adanya. Semua ritual adat yang kental pasti tak bisa dipisahkan dari sejarah yang merupakan tradisi turun temurun. Meski untuk saat ini, tentu dikaitkan dengan konteks kekiniannya.
Saya tak sabar menyaksikan Lufu Kie. Sebuah ritual yang dimaksudkan untuk mengenang gelar armada perang yang dicetuskan Sultan Tidore Yang Maha Mulia Sri Paduka Tuan Sultan Syaifuddin "Jou Kota" bergelar "Alkhalifatul Mukarram Saidus-Sakalain Ala Jabalit Tidore" (1657-1689). Mereka berjasa mengusir VOC yang dengan kekuasaan tanpa batas menduduki Tidore kala itu.
Begitu juga Paji Nyili-nyili. Paji yang memiliki arti bendera, dan nyili yang berarti daerah. Bayangkan betapa bergemuruhnya dada ini ketika melihat berbagai paji yang mewakili daerah di Tidore akan bergerak mengincar satu titik, yaitu Kedaton Kie atau Kesultanan Tidore. Apalagi, katanya, arak-arakan ini akan berlangsung mulai dari malam hari hingga pagi harinya, dengan berjalan kaki dan membawa obor. Nyala oborlah yang akan menjadi penerangan satu-satunya malam itu, sampai kemudian matahari terbit akan menyapa malu-malu untuk menemani dari tempat persemayamannya di balik gunung yang menjulang.
Belum Soa Romtoha, yang akan menjadi media pertemuan lima warga “hanya” untuk mengantarkan air yang berasal dari puncak Gunung Kie Matubu. Air itu kemudian akan dituang ke sebuah wadah berupa bambu.
Kemudian dowari, debus, dan doa bersama. Saya juga penasaran dengan amanat Datuk Moyang yang akan disampaikan di Festival Tidore kali ini, apakah sama ataukah berbeda. Hm, kita tunggu saja ya :)
Bagi saya, apa yang coba disuguhkan lewat Festival Tidore ini bukan saja untuk menarik minat turis semata. Bisa jadi itu merupakan “efek samping” dari keikhlasan masyarakat dan pemerintah Tidore dalam menjalankan apa yang sudah menjadi sebuah “kewajiban” bagi mereka. Kewajiban sebagai penerus adat dan budaya yang bertumpu pada nilai Ilahiah. Sekali lagi supaya mereka ingat, ingat untuk merawat ingatan.
Ah, Tidore, bukan saja kekuatan panorama, kekayaan sajian kuliner, kisah sejarah yang panjang, ataupun akar budaya yang kuat yang kau tawarkan. Lebih dari itu, kau mengajarkan pada kami semua tentang pentingnya berpegang teguh pada religiusitas dengan pemaknaan yang dalam. Karena kau tahu benar, segalanya hanya bersumber dari Allah semata. Adat ge mauri Syara, Syara mauri Kitabullah.
Siapa yang tak ingin mencicipi secuil surga yang diturunkan ke dunia lewat Maha Karya yang begitu detail dan berdecak kata indah tak berujung?
Tentu tak ada.
Namun, alangkah bijaknya ketika dalam waktu yang sama kita menikmati keindahan alam di negeri seluas 9.564,7 km² ini, kita tak melupakan begitu saja bagaimana perjuangan panjang pejuang-pejuang Tidore seperti Sultan Nuku (1780-1805 M) dan juga para ulama yang berhasil merawat tradisi dalam bingkai Islam yang rahmatan lil ‘alamin.
Untuk memaknai perjalanan panjang yang ternyata sudah masuk angka 9 dalam bilangan ratusan ini, Festival Tidore memang jawaban yang tepat untuk merayakannya. Bukan. Bukan sekedar euforia dan pesta, tapi sebagai wujud rasa syukur yang memang seharusnya tak berkesudahan. Sekaligus menjadi momentum buat orang-orang cupu macam saya yang tak mengenal Tidore yang sebegini indah.
Saya membayangkan bagaimana masyarakat tumpah ruah sekaligus haru dalam balutan reliugisitas berpadu ritual yang penuh nilai ini.
Jujur, buat saya, aroma kearifan lokal yang kental rasanya menghentak jantung dan seolah menarik-narik jiwa saya untuk mendalaminya. Seperti kata Sukarno, jasmerah, jangan pernah melupakan sejarah, memang benar adanya. Semua ritual adat yang kental pasti tak bisa dipisahkan dari sejarah yang merupakan tradisi turun temurun. Meski untuk saat ini, tentu dikaitkan dengan konteks kekiniannya.
Saya tak sabar menyaksikan Lufu Kie. Sebuah ritual yang dimaksudkan untuk mengenang gelar armada perang yang dicetuskan Sultan Tidore Yang Maha Mulia Sri Paduka Tuan Sultan Syaifuddin "Jou Kota" bergelar "Alkhalifatul Mukarram Saidus-Sakalain Ala Jabalit Tidore" (1657-1689). Mereka berjasa mengusir VOC yang dengan kekuasaan tanpa batas menduduki Tidore kala itu.
![]() |
via tips-wisata-indonesia.blogspot.com |
![]() |
via blog.reservasi.com |
Belum Soa Romtoha, yang akan menjadi media pertemuan lima warga “hanya” untuk mengantarkan air yang berasal dari puncak Gunung Kie Matubu. Air itu kemudian akan dituang ke sebuah wadah berupa bambu.
Kemudian dowari, debus, dan doa bersama. Saya juga penasaran dengan amanat Datuk Moyang yang akan disampaikan di Festival Tidore kali ini, apakah sama ataukah berbeda. Hm, kita tunggu saja ya :)
Bagi saya, apa yang coba disuguhkan lewat Festival Tidore ini bukan saja untuk menarik minat turis semata. Bisa jadi itu merupakan “efek samping” dari keikhlasan masyarakat dan pemerintah Tidore dalam menjalankan apa yang sudah menjadi sebuah “kewajiban” bagi mereka. Kewajiban sebagai penerus adat dan budaya yang bertumpu pada nilai Ilahiah. Sekali lagi supaya mereka ingat, ingat untuk merawat ingatan.
Ah, Tidore, bukan saja kekuatan panorama, kekayaan sajian kuliner, kisah sejarah yang panjang, ataupun akar budaya yang kuat yang kau tawarkan. Lebih dari itu, kau mengajarkan pada kami semua tentang pentingnya berpegang teguh pada religiusitas dengan pemaknaan yang dalam. Karena kau tahu benar, segalanya hanya bersumber dari Allah semata. Adat ge mauri Syara, Syara mauri Kitabullah.
Ah Pulau Tidore, aku tahu nya kalau Pulau Tidore ini Gunung yg ada di uang seribuan.. Tapi rupanya banyak juga ya mbak Wisata nya, Kuliner nya dan Kearifan lokal nya..
BalasHapusaku pun baru ngeh pas baca2 Tidore kl ternyata ada di uang seribuan *parah Mempesona!
HapusKalau dengar kata Tidore, secara otomatis saya pun mengingat Ternate. Mungkin karena waktu pelajaran Sejarah dulu, ada Kerajaan Ternate-Tidore ya Mba? Hehe.. Dan seperti Mba Prita, saya pun ingin kesana dan ngobrol dengan para pemuka agama. ;)
BalasHapusIya mbak, ingetnya sodaraan aja sama Ternate :)
HapusAku pernah denger mbak, tentang Kerajaan Islam Tidore. Kebetulan, pembahasan ku saat presentasi besok. Hihihi,
BalasHapuswah, sukses prersentasinyaaa
HapusTidore nan indah permai engkau bak laksana surga dunia, keindahan serta adat istiadatmu mempesonakan hati.
BalasHapusmoga jadi juaranya di kontes ini yah
bener mas, bikin ayem Tidore ini dengan hanya membayangkannya aja, palagi dateng beneran ya :) Amin doanya, makasih mas
HapusTidore emang cantik, aku kemarin sempat baca2 sejarah Tidore jadi mupeng kesana.....semoga jadi juaranya ya mbak 😍
BalasHapusyuk ah barengan :) amien amiennnn
HapusTidore begitu lengkap.. Jikalau ada bandara internasional di sana tentulah bali sepi :)
BalasHapushaha, iya ya mbak, Bali kalah saing jadinya kl udah gitu :)
HapusTidore pulau yang sangat indah dan cantik penuh dengan Rahmah semoga kekayaan alamnya selalu terjaga dengan baik
BalasHapusaminnnnn
HapusTradisi Lufu Kie ini mengingatkan saya pada tradisi Lomban di sini.
BalasHapusbentuk rasa syukur akan hasil tangkapan ikan dan cuaca baik pada Sang Khalik.
Lomban, dimana tuh mbak? Sy bary denger juga nih :)
HapusIndonesia bagian Timur memang menarik perhatian. Selain wisata alamnya yg luar biasa, kekayaan budayanya sangat menarik untuk dipelajari. :)
BalasHapussepakat!
HapusTradisi dan adat istiadat yang ada di Tidore ini unik2 betul ya Mbak. Semoga bisa menyaksikan langsung di sana ya. Amin.
BalasHapusamin masss
HapusKemarin baca2 sejarah Tidore jadi membayangkan kejayaan kesultanan pada masa itu :D
BalasHapussama :)
HapusMerinding bacanyaaa...
BalasHapusJadi pingin jugak ke Tidore.
Good luck yaa
ah, makasi mbak :)
Hapusmeskipun terbilang mungil, diantara pulau besar Indoenesia lainnya. Tapi Tidore memiliki kekayaan pesona yg beragam dan memikat
BalasHapusiyah mbak, bangetttt
HapusTidore emang menarik dan sangat mempesona. semoga emnang kak
BalasHapusDulu mengenal Tidore lewat buku sejarah saat SD. Juga Ternate. Tapi tak menyangka adat dan tradisinya begitu kaya, apalagi alamnya. Dulu yang dipelajari kan cuma rempah-rempah dan penjajahan hehe. Good luck, Mbak! :)
BalasHapusMakasih mba artikelnya, terakhir saya baca/ dengar dari Bu Guru tentang Tidore waktu usia SD. Berkat artikel ini saya jadi lebih mengenalnTidore.
BalasHapusTidore. Gurabungaaa negri yg indah, koprol doang dari Ambon mah hiks..
BalasHapussubhanallah enggak ada abis abisnya indonesia indah, kapan ya bisa ke tidore hmm :)
BalasHapuswaahh pengetahuan baru lg ttg tidore,, taunya dulu cuma dr buku pelajaran aja.. sukses juga buatmu mba
BalasHapustidore ini negri yang memiliki sejarah menarik khususnya kesultanan Islam di Indonesia. Dan dikombinasi cantik dengan budaya lokal, menarik untuk dipejari.
BalasHapusSemoga menang mbak prita, tulisannya bagus dan mengalir. Aamiin
TIDORE begitu menawan. semoga transfortasi kesana bisa murah
BalasHapusseru nih kalau bs ngetrip ke tidore. Ngetrip sambil belajar budaya dan sejarahnya
BalasHapus