Perempuan, Persamaan, dan Miss Representation dalam Women (need) Rights



Perempuan. Apa yang terlintas di pikiran kita saat kata ini diungkapkan? Saat ini saya lempar ke temen-temen facebook, jawabannya sungguh membuat saya mengucap syukur. Deretan kata menghiasi status saya itu. Mulai dari makhluk suci, mulia, tangguh, bidadari, hero, dan mengular yang lain lagi. Yang saya syukuri, semuanya positif dan terkesan menjunjung tinggi sosok yang mewakili kata perempuan.

Tapi, apa yang saya syukuri itu berbalik 180 derajat atau bahkan berbalik sempurna 360 derajat sesaat setelah menyaksikan film dokumenter berjudul Miss Representation yang berlatar kehidupan di Amerika.

Menonton film berdurasi 85 menit itu, kali ini saya saksikan bersama temen-temen muda di sebuah pelataran cafe bertajuk Barista Sector XXVI di kawasan Bengawan Solo, Jember. Dimulai pukul 8 malam, acara yang digelar untuk menyemarakkan women international day yang jatuh pada 8 Maret ini lumayan dipadati pengunjung.

Entah apa yang ada dalam benak mereka. Lewat beberapa pesan atau quotes yang tertulis di mannequin atau papan kanvas, saya menyimpulkan masing-masing memiliki harapan bahwa perempuan harus dihargai dan memiliki equality (persamaan) dalam persoalan hak dengan kaum Adam.  



Saya sendiri sih sudah tahu bakal diadakan acara ini sekitar 3 hari sebelumnya, dan memang berniat untuk menjadwalkan diri hadir sebagai penonton. Tapi, ternyata malah ditodong menjadi pembicara oleh temen-temen disana. Nasib, haha :) Untungnya bukan satu-satunya pembicara sih, ada juga Mas Dwi Pranoto yang juga menemani untuk berbicara dari sisi teori dan media, sedangkan saya lebih ke praktis. Mungkin karena saya juga perempuan ya, jadi lebih bisa bercerita apa yang saya dan temen-temen lain alami.

Tentang Miss Representation

Miss disini memang ambigu. Bisa berarti nona dan bisa pula berarti salah. Sehingga kalau menurut versi saya, Miss Representation bisa diartikan salah representasi atau nona representasi :) Coba tonton sendiri deh ya, supaya punya sudut pandang yang lebih obyektif :)

Kesan pertama saya menonton film yang kalau kata Mas Dwi Pranoto, sudah dibentuk dengan tujuan membentuk representasi kita sejak awal film sampai pasca menontonnya, adalah seronok. Bukan seronok dalam bahasa melayu atau yang sering diungkapkan warga Malaysia, yang berarti seru loh ya, tapi seronok dalam bahasa Indonesia. Kata yang selanjutnya pas mengiringinya adalah menjijikkan. 

Salah satu potongan film Miss Representation menggambarkan perempuan yang dipersepsikan media

Perempuan diceritakan sukses menjadi komoditas “dagang” media secara umum karena bentuk tubuhnya yang bak gitar Spanyol. Loh, kan ga semua perempuan se-seksi itu? Itu kan kenyataannya, kalau yang dicitrakan media kan kamuflasenya :) Jadi, sebenarnya sejak awal, anak-anak kita dari kecil hingga dewasa sudah didoktrin untuk percaya bahwa perempuan yang memiliki tubuh indah dan seksi itu lebih menarik dan menjadi pusat perhatian.

Karena doktrin yang akhirnya dianggap “persepsi yang benar” oleh sebagian orang lantas dijadikan alasan pembenaran seseorang untuk selalu menampilkan yang terbaik dari tubuh dan penampilannya. Gampangnya gini, kalau gemukan, ya kurusin. Kalau jerawatan, ya bersihin. Kalau kulit terlihat kusam dan hitam, ya diputihin. Artinya, tak banyak perempuan yang bisa menjadi dirinya sendiri. Kalaupun ada yang tidak menomor satukan fisik, perempuan tetap ingin tampil cantik dan menarik dimanapun dan kapanpun.

Well, saya tarik nafas dulu ah… 

Barbie, industri mainan yang mepersepsikan perempuan sebagai makhluk yang seksi dan cantik

Ya, fakta perempuan itu harus cantik dan menarik kapanpun dimanapun itu memang ada benernya. Saya ga menampik itu. Tapi, kalau buat saya, lebih penting bersih, rapi, dan pantas dibarengi dengan kapasitas intelektual yang bisa diandalkan. Dengan begitu, menjadi perempuan adalah sebuah kehormatan. Tidak saja dilihat dari (maaf) seberapa besar payudaranya, seberapa putih kulitnya, dan seberapa molek tubuhnya.

Kalau kembali ke film yang diproduksi karena menurut saya, masyarakat Amerika sendiri mulai resah itu, sebenarnya ingin menyampaikan pesan yang berkebalikan dengan apa yang ditampilkan. Seperti bahasa bertutur orang tua Jawa pada anaknya, “dadi wong wedok yo ojok ngono, ben ga koyok ngene iki”. Bahasa kerennya, don’t do it, if you don’t want to look like that.

Kalau ditelisik lebih jauh, kita benar-benar harus sadar sesadar-sadarnya untuk apa media diciptakan dan oleh siapa. Bagaimanapun, unsur kepentingan dan profit oriented menjadi tolak ukur yang sulit dicerna idealismenya. Seperti dalam tulisan Mas Dwi Pranoto yang dibagikan sebelum acara berlangsung, ia mengutip George Gerbner dalam Mass Communication & Society (1998) yang disarikan dari bukunya Cultivation Analysis : An Overview, televisi telah menjadi agama baru masyarakat urban.

Baca Juga : Dukungan Positif Internet 4G LTE bagi #KEBeragaman Aktualisasi Diri di Dunia Blogging


Televisi untuk era kekinian mungkin not at all ya, tapi bertransformasi menjadi internet dalam bentuk video streaming yang kalau dihadapkan di depan anak-anak atau ABG, mereka bebas memilih channel nya untuk menuntaskan imaji atau rasa ingin tahunya terhadap sesuatu. Aktivitas itu bisa jadi lebih intens daripada aktivitas lain yang memberi dampak menciptakan norma dan nilai baru.

Perempuan adalah Sumber Kehidupan dan Cikal Bakal Masyarakat

Saat diberi kesempatan berbicara di depan, saya seperti diberi ruang untuk menyampaikan uneg-uneg yang memang sudah penuh di kepala. Sebenarnya, kalau kembali ke pedoman hidup kita sebagai seorang muslim sih, kesimpulannya sudah jelas. Kembalilah ke aturan Allah, maka permasalahan akan tuntas. 

Perempuan buat saya adalah sosok yang mulia. Bukan karena saya membela kaum saya, tapi karena faktanya perempuan yang nantinya akan menjadi ibu adalah sumber kehidupan dan dari rengkuhannya lah cikal bakal masyarakat lahir dan berkembang.



Tentu dengan tidak menafikan peran ayah. Hanya, memang perempuan lah yang diberi hak prerogratif oleh Tuhan untuk “bekerja dengan hati dan tangannya” lebih banyak daripada laki-laki. Kalau saya bilang ini sudah sunnatullah atau hukum alam. Kenapa anak dititipkan di rahim ibu, kenapa plasentanya tersambung sehingga apa yang dimakan ibu akan berpengaruh pada anak, dan kenapa harus menyusui dari susu ibu? Kalau mau dipertanyakan, apa bisa semuanya diganti, “kenapa tidak dari ayah? Bagi-bagi tugas lah, kan kita menuntut equality!”

Hm, menurut saya itu pemikiran yang dangkal.

Jadi, saya katakan pada audience malam itu bahwa saya setuju equality atau persamaan sesuai dengan porsinya sebagai perempuan. Kalau mau ditulis gede-gede, saya setuju persamaan dalam hal AKTUALISASI DIRI dan MEMPEROLEH AKSES PENDIDIKAN yang sama. Perempuan juga pemimpin, terlebih bagi kehidupan anak-anaknya di skala rumah tangga.

Apa jadi perempuan yang berkualitas harus menunggu jadi ibu dulu? Kalau kata saya sih, itu pilihan. Resikonya pun ditanggung masing-masing.

Baca Juga : Membaca Peran, Memaknai Ibu

Tapi kalau melihat kesempatan hidup dari Sang Maha Kuasa yang hanya sekali, kenapa ga dimulai lebih awal? Makanya, dari dulu saya kepikiran andai saja ada sekolah untuk ibu. Supaya segala persiapan dan pengetahuan menjadi lebih well prepare.

“Kenapa harus sekolah ibu? Kenapa semua dibebankan pada ibu? Padahal banyak ibu-ibu yang stres pasca melahirkan, kemudian harus mendidik anak. Kenapa peran ayah tidak dilibatkan?”

Saya mendapatkan tantangan pertanyaan seperti itu dari MC nya langsung, Tami, yang perempuan muda dan seorang ilustrator. Saya sempat bergumam, hm pertanyaan bagus yang mungkin ditanyakan banyak calon ibu lainnya.

Meski saya belum menjadi ibu, berada dalam bahtera rumah tangga kali kedua, dan berjibaku dengan banyak anak-anak di komunitas manapun yang saya temui, juga Pondok Baca Bocah yang pernah saya dirikan di rumah saya dulu di Surabaya, saya tetap pada kesimpulan, menjadi ibu membutuhkan multi talenta yang luar biasa. Bagaimana ia harus mendidik anak, menjadi konsultan bagi anak-anaknya, menjadi koki dan ahli gizi keluarga, menjadi pengatur manajemen keuangan keluarga, menjadi istri yang mengerti kebutuhan suaminya. Dan, itu semua membutuhkan keseimbangan dan konsistensi yang luar biasa tak mudah. Tuhan maha adil. Karena itu pulalah, perempuan memang memiliki kromosom multi talenta yang berbeda dari laki-laki yang biasanya hanya mampu mengerjakan tugas-tugas secara one by one, tidak sekaligus.



Jadi, jawaban saya malam itu,
“Justru karena perempuan memiliki tugas-tugas itu, sekolah ibu diperlukan. Bukan untuk membebani, tapi meringankan dan mengedukasi, karena perempuan dihargai.”

Ayah, dimana peran ayah? Selain pencari nafkah utama, sosok ayah kalau meminjam istilah suami saya, adalah sebuah sosok jalan sunyi. Ia tak perlu disebut, tapi ia hadir dalam kehangatan keluarga.

Kemudian, sharing dari Ibu Desak Nyoman Siksiawati, yang merupakan kepala UPT Pengujian Sertifikasi Mutu Barang-Lembaga Tembakau Jember dan kebetulan hadir sebagai undangan malam itu, makin mengokohkan apa yang saya sampaikan.

“Peran ibu memang luar biasa ya. Saya mengalaminya sendiri. Saat anak saya masih kecil-kecil, saya bersyukur memiliki suami yang luar biasa. Suami saya yang mengganti popok, membuatkan susu. Bekerjasama dengan saya. Sampai ketika suami akan dipindah tugas ke Jakarta, di saat anak saya masih kecil-kecil, saya keberatan. Saat itu saya PNS. Akhirnya, suami saya berhenti kerja, dan saya mendukungnya untuk bekerja dari rumah, karena saat ini teknologi digital sudah semakin mempermudah.”, ungkapnya membagi sebuah potongan kisah yang saya yakin akan terus diingatnya.

Saya dan Bu Desak

Tambahan lagi, statement yang kalau dipikirkan juga positif dan ada benarnya, “Sebenarnya kalau perempuan bisa menempatkan dirinya dengan benar, menghargai laki-laki sebagaimana mestinya, saya yakin perempuan akan disayang oleh laki-laki, dan laki-laki ada dalam “kuasa” perempuan”.

Wow, terus terang saya amazed. Karena saya pun mengalaminya dengan konteks sebagai pasangan, meski belum memiliki anak :)

Peserta yang lain pun manggut-manggut, dan beberapa mengungkapkan pendapat, seperti :

“Perempuan, sejauh mana kita melihat diri kita sendiri. Sebagai perempuan, kita bisa juga memposisikan diri sebagai seorang laki-laki dalam hal ketegasan. Menurut saya, gender adalah bonus dari Tuhan untuk meluruskan keturunan” (Noni)

“Konstruksi media, itu inti dari film tadi. Tapi, kalau kita sadari, perempuan juga ikut melestarikan konstruksi tersebut kadang-kadang.” (Adam)

Ditutup menjelang malam yang semakin larut, sekitar pukul 11, saya senang bisa hadir di acara positif ini dan bertemu temen-temen baru yang enerjik dari kota kelahiran saya sendiri. Baru pertama rasanya saya menjadi pembicara dalam forum diskusi di Jember :) Apalagi juga berkesempatan bertemu sosok perempuan seperti Ibu Desak, juga beberapa temen blogger Jember untuk pertama kalinya, Rhoshanda dan Holidy, juga yang lainnya. Tak lupa, juga bertemu dengan Mas Erik, penyedia tempat yang sangat nyaman untuk aktivitas komunitas, dan Yogi, barista Riuh Rempah yang menjadi penyambung :)

Bersama seluruh pengisi acara dan audience

Akhirnya, just be yourself, be inspire with your ultimate things. Dan jangan lupa untuk terus mendukung perempuan lain untuk berdaya sehingga perempuan bisa saling memberi dampak satu sama lain. Begitu ungkapan saya yang ditambahkan Tami sebagai MC menutup acara bertajuk Women (need) Rights ini.

  

Prita HW

3 komentar:

  1. Benar juga ya mbak kalau barbie selalu dibuat dan mindset masyarakat selalu beranggapan bahwa wanita cantik adalah wanita yang seksi seperti barbie. Saya rasa itu tidak adil jika perusahaan hanya membuat barbie hanya dengan tubuh yang seksi dan cantik, berambut panjang dan berkulit putih sehingga akan mempengaruhi mindset anak-anak juga.

    BalasHapus
  2. Perempuan Hebat karena Karya dan Keteguhannya ...

    BalasHapus
  3. Dari 2 foto diatas aku suka perempuan yg digambarkan pada foto dibawah yg sedang menyuapi anaknya, lbh anggun dan bersahaja

    BalasHapus