Anak Kecil Bisa Mengendarai Motor Sih, Tapi Kalau Mengendarai dengan Emosi yang Baik?

via brilio.net

“Makanya kalau naik motor jangan ngebut-ngebut, yang bener… Anak nyebrang bener-bener ditabrak…!”

Mendengar teriakan yang begitu kencang di siang hari bolong di ujung depan jalan sekitaran 100 meter di depan saya, spontan saya dan suami berhenti.

Saya sambil meringis nyilu sih pas lihat si anak kecil kira-kira 9 atau 10 tahunan susah payah berusaha bangun dari jatuh tertabrak motor yang juga dikendarai anak berseragam SMP. Duh, untungnya si anak ga sampai terluka. Cuma kagetnya itu loh yang bikin meringis. Ga cuma yang ditabrak, yang menabrak pun sama kagetnya. Ditambah, yang menabrak juga berboncengan lapis 3.

Itu terjadi di Bekasi.

Lain lagi pas saya hijrah ke Jember.

Kali ini lebih parah. Saat asik-asiknya lagi ngobrol sambil jalan pelan-pelan di suatu daerah dekat kampus Unej, braaak! Tiba-tiba dua anak berseragam SMA jatuh pingsan di tengah jalan dengan motor yang juga sama terlentangnya.

Untungnya, masyarakat yang menyaksikannya langsung sigap dan gotong royong menyelamatkan mereka. Dan, tandem tabrakannya, truk yang kaca spionnya hancur, dan sopir truk yang tangannya kebetulan menjulur keluar dan berdarah.

Oke, stop.

***

Dua kejadian live di depan mata saya itu langsung memperkuat kesimpulan saya tentang resiko berkendara motor bagi anak-anak yang belum cukup umur. Memang sih, pemerintah sendiri ada regulasi tentang kepemilikan SIM yang minimal berusia 17 tahun. Tapi kenyataannya, itu ga terlalu berdampak banget kecuali saat ada operasi tertentu di jalan raya. Sedih? Banget!
Negeri kita memang doyan yang beginian. Bikin regulasi secara parsial. Ga menyelesaikan masalah, tapi justru membuat sedikit lebih kompleks urusan lain yang masih satu benang merah.

Meskipun sekarang juga musimnya otonomi daerah, ternyata tetep aja kan, pemerintah daerah juga belum punya aturan yang tegas tentang ini.


Peraturan kecil seperti ini pun sering dilanggar. Regulasi yang lebih besar juga sulit diwujudkan. (via ar-rahman.byethost7.com)


Kalau gitu, ga usah mengandalkan regulasi dong. Bergerak aja dari diri sendiri!

Yes, pilihannya memang akhirnya jadi begitu. Meskipun, saya sih percaya kalau kita bergerak dari akarnya, yaitu memperbaiki sistem dan regulasi yang bener-bener dijalankan, barulah permasalahan akan berkurang banyak.

Kalau hanya mengandalkan kesadaran, memang akhirnya cuma akan jadi tambal sulam.

Wajar kan, namanya manusia, makhluk yang paling susah untuk konsisten melakukan sesuatu kalau ga diingetin secara kontinyu.

Konteks ini saya maksudkan terutama untuk para orang tua si anak-anak yang dibiarkan untuk berkeliaran di jalanan dengan motor yang mungkin masih kredit atau entahlah. Dan mirisnya, lagi-lagi persoalan kepemilikan sepeda motor juga makin dipermudah oleh pemerintah.

Orang tua memang berjenis macam-macam ya. Ada yang paham dan sadar dengan sendirinya. Ada yang memang karena melakukan ijin berkendara bagi anaknya karena alasan kemandirian dan justru mempermudah tugasnya untuk mengantar jemput anak, dan sebagainya. Yang lebih parah lagi, kalau sampai mengijinkan anaknya berkendara motor karena urusan gengsi. Macam perlombaan membelikan anak-anak gadget.

Salah satu screenshot komentar di tulisan anak kecil naik motor damarojat.com (link di bawah ya)

Mungkin, sebagian dari kita pernah dengar celetukan yang datang dari para orang tua semacam, “saya kasihan ke anak saya, masa temen-temennya udah punya gadget, bawa motor ke sekolah, masa anak saya ga saya kasih. Kayak saya ga mampu aja…”

Duarrr! Itu semacam celetukan yang bagi saya mirip petir di siang hari yang terik. Sedemikian berhargakah gengsi daripada nyawa dan masa depan anak sendiri?

Wahai Para Orang Tua, Anak-anakmu Bisa Mengendara Motor, tapi Mereka Belum Bisa Mengelola Emosi Saat Mengendara Motor

Temen-temen pasti setuju ya kalau remaja, apalagi ABG atau malah setengah ABG (kelas 5-6 SD yang mau ke jenjang SMP), disebutnya sebagai masa-masa pencarian jati diri. Masih bingung sebenernya mereka itu siapa, masuk fase apa, dan harus bersikap gimana.

Jadi ya wajar banget kalau kita sering liat ABG yang suka cari-cari perhatian lewat sikapnya yang ekspresif. Itu salah satu bentuk dari keinginan untuk diakui dan seolah-olah ingin berkata pada semua orang : “woi, aku udah gede loh. Bukan anak-anak lagi!”

Nah, semangat ini juga yang akhirnya membuat mereka belum cukup untuk mengelola emosi saat berkendara di atas motor. Nyetir sih bisa ya! Itu kan ilmu teknis yang bisa dipelajari kalau tekun. Tancepin kunci, nyalain motor, dan tancap gas. 

Tapi soal rambu-rambu, kenyamanan pengguna jalan lain, ah masa bodoh aja lah, begitu mungkin pikir mereka. Apalagi banyak jargon yang sering kita dengar, kalau suatu aturan atau rambu-rambu itu memang dibuat untuk dilanggar. Eits, ini kayaknya sudah mendarah daging sih di beberapa kalangan. Hiks :( 

Maka, ga heran ya, kalau kita sering meringis di jalanan pas ketemu dengan ABG-ABG bermotor ini bukannya apa-apa, cara nyetirnya yang ugal-ugalan, dibarengi canda tawa dan cekikian barengan ma temen-temennya yang ga jarang lapis 3 dalam satu motor. Cara mereka berkendara, ya itulah emosi mereka, cara mereka berekspresi.

Hm, andai ya para orang tua ini paham tentang psikologis seperti ini. Makanya, regulasi yang jelas dan dipatuhi itu mutlak PERLU! Termasuk himbauan dan peraturan sekolah yang mengijinkan siswanya membawa motor di sekolah.


Selain itu, lingkungan juga berpengaruh besar. Bayangkan kalau dalam satu kompleks saja, para orang tua yang tergabung dalam satu RT atau RW sepakat untuk saling mengingatkan atau menegur anak-anak yang belum cukup umur berkeliaran. Lama-lama pasti juga akan terbentuk rasa malu dari norma yang mereka sepakati bersama itu. Seperti tulisan anak di bawah umur naik kendaraan sendiri ini yang mencoba berandai-andai kalau saja budaya malu ini ditumbuhkan sejak dini. Juga tulisan Anak Kecil Naik Motor : Fenomena Kebodohan Orang Tua yang memuat kisah saling peduli antar tetangga.

Sekali lagi, ketika regulasi pemerintah tak tegas tentang hal ini, selamanya akan tetap menjadi tambal sulam. Tapi daripada tidak berbuat apa-apa dan jadi penonton, tak ada salahnya ikut membangun kesadaran diri sendiri dimulai dari keluarga dan tetangga. Semoga ya kejadian live di depan mata saya di pembuka tulisan ini tadi makin berkurang :)  

Prita HW

12 komentar:

  1. Yang paling penting emang kesadaran sendiri ya mak?

    BalasHapus
  2. yap anak kecil belum tahu apa itu bahaya. masih slanang slonong aja kalo naek motor.
    ma boyz jg ga bakal kukasih ijin pake motor sbl punya sim. biarin aja tetangga koar2 bangga anak sdnya udh bisa naek motor. yg penting keselamatan nomor satu

    BalasHapus
    Balasan
    1. bener mak, cuek is the best demi jangka panjang ya

      Hapus
  3. Yap. Ngandelin kesadaran itu ga gampang. Karena masing-masing beda. Tapi setidaknya kalo udah ada peraturan dari pemerintah, mungkin masyarakat jadi lebih takut untuk ngasih anaknya berkendara :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. he eh, perlu waktu kl untuk menumbuhkan kesadaran, kl dibarengi dgn regulasi, makin mantap kan ya

      Hapus
  4. anak saya, klas 2 SD; lihat tetangga masih kecil dah naik motor, katanya, "enakeee naik motor."

    trus tanya saya kenapa anak itu dibolehkan naik motor.

    kata saya, "ya, orang tuanya ngizinkan."

    trus dijawab, "tapi aku nggak mau. kalau sekolahnya jauh nanti diantar aja."

    semoga pendiriannya tetap seperti itu.

    saya juga kalo pas bareng anak-anak dan lihat anak kecil naik motor sendiri sebisa mungkin saya tunjukkan ekspresi tidak suka dan mengkritik, biar anak paham betul bahwa ibu mereka tidak suka yang seperti itu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya mak, ekspresi ga setuju kita juga bs jadi kontrol sosial secara ga langsung kan, jd biar ada rasa malu juga anak2, apalgi ortunya

      Hapus
  5. Suka sebel kalau lihat anak di bawah umur bawa motor. Iya memang kadang orang tuanya yang mengizinkan.

    BalasHapus
  6. emang sebel bgt liat bocah udah berani bawa motor, ntar klo kenapa2 meringis deh minta empati :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. begitulah mbak, tapi kl ortunya tegas sih, mrk bisa nurut sebenernya :)

      Hapus
  7. ngeri juga kalau dijalan lihat anak kecil sudah mengendarai motor, emosi masih labil dan kesadaran keselamatan berkendara juga masih kurang.

    BalasHapus