Bullying pada Anak, Mata Rantainya Harus Diputus!



Pernah mendengar bullying? Saya bersyukur dari kecil saya tak pernah merasakannya. Lingkungan sekitar saya dipenuhi oleh apresiasi, termasuk dari lingkungan keluarga di rumah. Sampai sekarang, saya merasakan betul dampaknya, saya tumbuh menjadi pribadi yang percaya diri.



Tapi, tentu tak semua orang bernasib beruntung seperti saya. Saya paham itu. Karena itu, saya ingin mengajak kita semua untuk sejenak berpikir di titik ini. Bila saya yang sejak kecil dipenuhi iklim apresiasi dan tumbuh menjadi pribadi yang percaya diri, bagaimana dengan anak yang sejak kecil tumbuh dalam lingkungan yang kurang suportif? Bahkan mengalami bullying? Membayangkannya gigi saya jadi tambah nyilu :(

Disadari atau tidak, sebenarnya bullying termasuk dalam sebuah kekerasan simbolik. Ya, kekerasan tidak hanya soal fisik, tapi juga non fisik. Ungkapan perkataan lebih tajam daripada pedang memang ada benarnya. Kalau fisik – meski juga sangat tidak disarankan – , menimbulkan luka yang bisa disembuhkan dengan pengobatan intensif. Tapi, kalau non fisik, lukanya sulit unuk disembuhkan. Makanya sampai muncul istilah sakitnya tuh disini (sambil nunjuk dada) :) Artinya, membekas banget. Terlebih pada anak-anak, alam bawah sadarnya akan merekamnya dengan jelas.
Apalagi berdasarkan data pengaduan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), ada beberapa bentuk  kekerasan terhadap anak, diantaranya anak yang berhadapan dengan hukum (167 kasus), masalah pornografi dan cyber crime (67 kasus), bidang agama dan budaya (45 kasus), serta bidang trafficking dan eksploitasi (33 kasus).  

Kenapa Bullying Bisa Terjadi? 

Hm, kita memang tidak sedang mencari siapa yang salah dan yang benar ya, hanya mencoba untuk menelusuri kira-kira apa yang bisa diselesaikan di ranah akar. Dalam kasus bullying, bisa jadi itu kembali pada diri kita sendiri sebelum menjadi korban bullying mentah-mentah.

Selain lingkungan sekitar yang kurang positif, diri kita bisa jadi faktor penyebabnya. Kok bisa? Ya, karena kita menonjolkan kekurangan kita di depan publik tanpa mengimbanginya dengan kelebihan. Mungkin karena sedikit-sedikit minder, malu, cupu, atau hal-hal lainnya. Nah, kalau ini terjadi pada anak-anak, pastilah orangtuanya yang harus suportif.

Anak yang tumbuh dengan caci maki dan kekerasan simbolik lainnya  tentu lebih memilih untuk diam, pasif, dan menjadi nobody. Sebaliknya, anak yang tumbuh dengan apresiasi, akan lebih mampu menjadi aktif, berani mengemukakan pendapat, dan menjadi somebody.


Selain itu, saat ini pengaruh media elektronik seperti TV dan teknologi informasi seperti konten-konten yang makin membanjir di lini massa, juga menjadi salah satu faktor penyebabnya. Padahal, saat ini setiap konten yang masuk memang perlu dilakukan cek dan ricek lebih dulu. Tapi, kalau dilihat anak-anak? Mereka akan melihatnya sebagai suatu kebenaran. Ya wajar memang, emosinya belum stabil, pencarian jati dirinya belum final, begitu juga pembentukan karakternya yang masih dalam tahap proses.

Lalu, Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Rantai kekerasan simbolik termasuk bullying pastinya harus segera diputus. Kalau tidak, ya kita hanya menciptakan bom waktu yang siap meledak kapan saja. Kita akan kehilangan generasi terbaik dari segi perilaku, pola pikir, dan tindakan.

Untuk memutus rantai bullying, juga bukan kerja semalam atau one man show saja. Perlu kesadaran berbagai pihak untuk bisa mewujudkan ini semua, seperti :

1 Pemerintah

Sosialisasi dengan bentuk kekinian tentang bahaya bullying dan kekerasan simbolik lainnya. Bekerjasama dengan dinas terkait untuk mengadakan sosialisasi ke sekolah-sekolah. Dan juga, menerapkan aturan yang tegas terhadap pelaku kekerasan pada anak, termasuk kekerasan simbolik seperti bullying dengan tingkatan tertentu.

2 Keluarga

Orang tua adalah peran terpenting dalam tumbuh kembang seorang anak. Jangan sampai justru orang tua lah yang sebenarnya menjadi ‘pelaku’ bullying aktif secara tidak sadar. Seperti tidak mengetahui potensi anak dengan baik sehingga anak sering merasa dipojokkan karena ketidak bisaannya. 



Orang tua yang suportif akan selalu melibatkan anak dalam setiap pengambilan keputusan yang berkaitan dengan tumbuh kembang anak, seperti memilih sekolah, menawarkan les atau kursus tambahan, mengarahkan hobi, mengarahkan dalam memilih teman, dan sebagainya. Yang paling penting, saat emosi negatif melanda orang tua, pisahkan diri dari anak-anak dan katakan bahwa kita butuh waktu untuk tidak diganggu dan menyendiri.

                                     Baca Juga : Patuh Itu Nanti, yang Terpenting Positif!

Satu lagi, orang tua juga harus sadar bahwa sekolah bukan satu-satunya tempat pembentukan karakter yang harus disalahkan ketika terjadi sesuatu yang tidak kita inginkan.

3 Sekolah

Sekolah seharusnya bisa mengaktifkan lagi bimbingan konseling dengan kesan yang baru, sehingga segala persoalan yang terjadi diantara anak-anak ataupun ABG yang duduk di bangku SMP dan SMA bisa terselesaikan dengan baik. Sekolah yang memiliki peran sebagai fasilitator akan sangat mudah mengatasi konflik-konflik yang terjadi diantara mereka.

Pertemuan dengan orang tua dengan kemasan yang baru semacam family gathering juga perlu untuk dilakukan sehingga sekolah dan orang tua memiliki visi dan misi yang sama untuk pendidikan anak-anaknya.



O iya, satu lagi, jangan sampai sekolah justru menjadi pelaku kekerasan utama atau justru mencontohkan bentuk kekerasan – baik simbolik maupun tidak – terhadap anak didiknya. Sangsi yang tegas tentang ini juga perlu diperhatikan oleh penguasa negeri ini lewat peraturan-peraturan yang diterbitkan dan ditaati.

4 Masyarakat

Masyarakat ini dalam arti luas ya. Bisa masyarakat di lingkungan rumah, sekolah, atau yang lebih luas, seperti pelaku dunia industri. Lah, apa hubungannya? Banyak! Dari kesan dan sikap yang dibentuk dan dilakukan oleh masyarakat inilah terbentuk sebuah budaya yang nilainya diambil oleh keluarga-keluarga. Seperti tulisan seorang teman saya, Diajeng Witri, bullying bisa terjadi karena budaya atau bahkan tradisi. Gila kan?

Pelaku industri yang saya soroti disini terutama adalah pelaku media, penghasil konten-konten yang menjadi referensi masyarakat sehari-hari. Sudah semestinya sebagai bagian dari masyarakat yang bertanggung jawab yang juga memiliki anak-anak sebagai masa depannya, profit oriented tetaplah harus mengedepankan edukasi dan penyaringan konten sesuai tingkatan usia. Karena bagaimanapun, pelaku industri kreatif termasuk digital creator akan sangat memberi pengaruh jangka panjang terhadap generasi. 



Semoga dengan kerjasama berbagai pihak yang sadar tentang dampak jangka panjang yang ditimbulkan oleh bullying atau kekerasan pada anak lainnya, bisa konsisten untuk melakukan sebuah langkah kecil yang akan menjadi pemantik sebuah cita-cita besar. Kalian memang tak pantas mendapat perlakuan kekerasan, bahkan semacam bullying, anak-anakku :)      




Prita HW

Tidak ada komentar:

Posting Komentar