Ketika Tulisan Adalah Doa

Menulis adalah bekerja untuk keabadian – Pramoedya Ananta Toer


Menulis terdengar begitu agung ketika kita membaca ungkapan Pram yang populer dan sampai sekarang terus didengungkan itu. Seseorang yang menulis berarti sedang melakukan rekam jejak atas pijakan perjalanan yang telah dilaluinya. Begitu juga saat saya menulis tentang perjalanan saya dan dunia menulis itu sendiri.


saya dan menulis


Jujur, saya tak tahu persis kenapa awalnya saya begitu saja masuk terhisap di dunia tulis menulis ini. Seingat saya, eyang putri lah yang dulu mendorong saya untuk mengarang kisah pengalaman liburan yang diadakan sebuah majalah anak-anak yang nge-hits sampai hari ini, Bobo. Waktu itu saya hanya ogah-ogahan, sampai batas waktu lewat, akhirnya eyang putri lah yang mengarang dan mengirimkannya. Tulisan tangannya dipersis-persiskan tulisan tangan saya, dan hebatnya, menang sebagai pemenang hiburan.

Dari kisah masa kecil itulah, saya jadi sadar bahwa menulis itu seasyik itu dan seserius itu sampai bisa mendatangkan hadiah. Sampai rela membuat eyang putri saya menirukan tulisan tangan  saya, hanya karena saya pemalas. Sejak itu, saya merasa termotivasi. Saya menyukai pelajaran yang ada mengarangnya. Termasuk rajin menulis diary maupun coretan di kertas-kertas yang berceceran.

Dari hobi menulis diam-diam itulah, saya merasa ada perasaan lega, plong, dan puas setelah selesai menulis. Buat saya, menulis itu menyembuhkan. Ungkapan rasa untuk menyampaikan sesuatu. Berekspresi lewat tulisan membuat saya lebih leluasa dan bisa lebih tenang untuk tidak gegabah dan responsif. Ini saya rasakan terus menerus sampai saya memasuki jenjang SMP, kemudian saat SMA, saya menuliskan cita-cita saya adalah penulis saat berhasil masuk seleksi nasional ajang Cita Citra bersama Majalah Gadis. Begitu pedenya, padahal saya tak tahu berapa penghasilan yang bisa didapatkan dari hanya menulis.

Adakah Kutukan Menulis?

Hingga saat ini, waktu demi waktu saya lalui, dan saya terjerembab masuk ke dunia tulis menulis yang makin panjang rentetan ceritanya.

Meski saya pernah meninggalkan dunia menulis dan menjadi tidak produktif dalam jangka waktu kurang lebih lima tahun, akhirnya takdir membawa saya untuk kembali. Saya merasa ada bagian dari diri saya yang hilang dan terenggut oleh rutinitas.

Apa saya stuck tidak menulis saat itu karena terkena kutukan menulis dan traumatik seperti yang ditulis Mbak Liza, atau murni karena saya meninggalkannya? Tidak, saat itu saya hanya terjebak rutinitas dan terlalu fokus pada dunia kerja saya di bidang marketing.

Tidak, saya tidak percaya ada kutukan menulis. Bagi saya, menulis sama dengan berucap.  Ia memang harus dipertanggung jawabkan, terutama kelak saat dipertanyakan oleh-Nya. Maka, sebelum ter-publish, pasti saya akan mengkaji dan bergumam sendiri, 

“Apa tulisan ini layak dibaca orang?”

“Apa tujuan saya menulis ini?”

“Sebenarnya, apa pesan yang ingin saya sampaikan?”

“Efek apa yang timbul setelah tulisan ini dibaca?”

Jadi, buat saya, menulis bukanlah soal traumatik karena adanya kutukan menulis. Kutukan itu seperti merasa bahwa apa yang kita tulis, tiba-tiba terjadi pada diri kita sendiri, terlebih yang tidak kita inginkan. Hanya karena sugesti kita meyakini hal itu berkaitanlah, yang membuat timbulnya istilah kutukan.

Nyatanya, empat pertanyaan yang biasa saya ajukan ke diri saya sendiri sebelum mem-publish tulisan, saya rasa ampuh untuk mencegah atau menghindari hal yang disebut orang sebagai kutukan menulis. Kalau menulis itu menyembuhkan, mana mungkin membawa traumatik? Ini logika saya. Tiap orang tentu berbeda.

Saya lebih memilih menuliskan kejadian yang sudah saya alami atau kisah yang saya dengar secara sengaja ataupun tidak, untuk diambil hikmahnya. Jika saya rasa kajiannya kurang mendalam, maka saya harus melakukan studi literatur atau mewawancara pihak yang pernah merasakan pengalaman sama. Intinya, saya tak mau mengarang-ngarang bila saya tak memahami betul apa yang saya tulis.


saya dan menulis


Seperti tulisan saya Obrolan Remeh Temeh tentang Iman dan Cerita Kehamilan Diluar Kandungan yang Mengejutkan Itu. Semua saya tulis, karena saya mengalaminya. Dan, berharap, orang lain tak perlu mengalami apa yang sudah saya alami. Dan kalaupun mengalami, bisa mengambil pelajaran dari peristiwa yang lebih dulu ada.

Kalau penulis fiksi? Berarti traumanya makin besar dong?

Nope. Fiksi hanyalah alat untuk menyampaikan pesan lewat tokoh yang dipilih. Tujuannya sama, ia pengganti ucapan yang ketika diucapkan secara gamblang keluar dari seseorang seperti kita yang apalah kita ini, tentu tak semua orang menerimanya.

Lihat saja ungkapan Dee, penulis fenomenal era ini, dalam buku My Life as A Writer ia mengatakan, “Sebagai penulis, aku berbicara lewat bukuku.” Saya setuju. Fiksi atau non fiksi, itu hanyalah soal cara dan pilihan.

Saya lebih suka menyebut tulisan sebagai reminder atau pengingat diri. Saat kita menulis, kita sedang secara otomatis membaca langsung apa yang kita tulis. Alam bawah sadar akan merekamnya, dan saat kita meyakininya, terbentuklah menjadi action. Persis seperti teori psikologi, dari ucapan mulut kita, terdengar oleh telinga kita sendiri yang notabene jaraknya paling dekat dengan mulut, lalu melalui perekaman alam bawah sadar dan menjadi tindakan.


saya dan menulis


Maka, sama seperti ucapan, tulisan adalah doa.

Menulis dan Proses Kekinian

Kini, saya bertekad menjadikan menulis sebagai bagian dari nafas saya. Tak menulis, berarti tak bernafas. Saya merasa berhutang budi dan di saat yang sama berdosa sudah membiarkan diri saya terkungkung dalam proses berpikir yang tak direproduksi menjadi karya beberapa tahun silam.

Saat stuck dalam menulis sudah pasti ada. Tapi, kesetiaan terdalamlah yang mendorong saya untuk tetap menulis.

Kesetiaan itu muncul saat saya merenungi sekali lagi, untuk apa saya menulis dan kenapa. Harus ada alasan yang kuat. Saya menyadari saat ini saya menulis karena cinta. Ada input dan output. Ketika inputan pengetahuan dari pengamatan sehari-hari, bacaan, dan tontonan tak ter-ouput dengan baik, maka yang terjadi adalah menjadi tidak waras. Saya tentu menghindari itu.

Ada seorang kawan penulis yang sangat saya ingat ketika saya stuck menulis di saat-saat tertentu, dan sekarang saya usahakan sekali untuk me-minimize hal semacam ini. Katanya, “menulislah karena kamu bahagia, Prit. Bukan karena deadline, bukan juga karena dikejar editor...”

Itu menampar saya keras-keras. Saat saya tak menemukan kebahagiaan dalam menulis, lalu apa artinya...


saya dan menulis


Akhirnya, menulislah karena ingin menulis. Ketika tulisan adalah doa, maka yakini, ia adalah investasi.


“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan) nya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrah pun, niscaya Dia akan melihat (balasan) nya pula” [QS. 99 : 7-8)




Prita HW

6 komentar:

  1. hehe...eyang putri sungguh berjasa. jadi ingat tante saya yang ngirim TTS pakai nama kakak saya dan dapat hadiah. padahal waktu itu kakak saya juga ngirim tapi malah ga lolos. kok tau? iya, soalnya cara nulis alamatnya ada beda dikit :-)

    suka sekali dengan wejangan "menulis bukan karena DL dll."

    BalasHapus
    Balasan
    1. baru nyadar belom bales2 komen, hehe :) iya mbak, awalnya begitu, tapi justru melecut scr langsung :)

      Hapus
  2. "menulislah ketika kamu bahagia.... " kok saya belom bisa ya, apalagi kalau nulis fiksi, pasti dapet ide kalau lg galau. Hahaha...
    Nice post mbak Prita ��

    BalasHapus
  3. dan apa yg dikatakan teman mbk prita, juga menampar saya,
    makasih sdh mengingatkan ya mbk :)

    BalasHapus
  4. Eyang Putri sungguh baik sehingga menjadi pelecut Semangat Prita agar menyukai dunia literasi, terutama menulis. Walau memang kurang bijak karena ada unsur rekayasa. Yang penting sekarang Prita terus menulis dan menghasilkan karya yang bermutu dan bermanfaat. Saya pun menulis karena ingin menulis--terdorong untuk menebar manfaat alih-alih hendak meraup atau membayangkan popularitas. Menulis yang kita kuasai dan tidak mengarang, saya suka bagian itu. Dan seperti kutipan ayat yang menutup tulisan ini, saya kadang bebrpikir lama sebelum melahirkan sepenggal tulisan saja. Bukan khawatir disebut jelek, tidak waswas bakal diremehkan, tapi takut tidak mampu mempertanggungjawabkan isinya di akhirat kelak. Memang susah, memang susah....Aku bahagia, maka aku menulis--atau aku menulis maka aku bahagia, dua skenario ini memang tak selalu ideal. Dan untuk itulah kita terus menulis, untuk menemukan diri dan mempertegas identitas.

    BalasHapus