Seharusnya Cikal Bakal Keberdayaan Sosial Berasal dari Kampung, Ini Salah Satu Contohnya

 
“Semua orang itu guru, alam raya sekolahku...” semangat ini yang saya rasakan saat berkunjung ke rumah Mas Riyadi Ariyanto yang juga merupakan homebase komunitas belajar alam raya dan taman baca berbagi happy Jember, tepatnya di Perumahan Pondok Gede ED-12 Tegal Besar, Kaliwates. Masih sekecamatan ternyata dengan rumah orangtua di kampung halaman :)

Sempat memutar dan salah rumah, saya merasakan ketenangan saat mulai menapakkan kaki di halaman homebase alam raya. Sesuai namanya, rumah itu cukup mewakili apa yang kita bayangkan tentang alam raya. Luas, hijau, asri, dan bebas berekspresi. Meski halaman depan alam raya tak cukup luas, hanya di teras depan dan garasi kecil yang disulap menjadi ruang bersama dan taman baca yang asri, namun keluasan visi dari alam raya lah yang mendominasi persepsi saya. Selain pemandangan alam sawah dan gunung yang menyembul kejauhan yang terletak di sisi kanan homebase ini. Adem, tentrem bawaannya (maklum, saya anak sok kota yang katro kalau lihat desa, haha..)  

Jajaran buku yang rapi, gantungan tanaman pot hias yang menjulurkan daunnya tanpa malu-malu, juga perabotan vintage bernuansa alam seolah-olah mempersilahkan masuk dengan ramah. Tatanan ruangan kecil yang memukau dengan segala pernak perniknya. Saya bisa menyimpulkan bahwa yang merawatnya memiliki cita rasa seni yang lumayan kece.

Ruang kecil yang cozy

Pernak pernik bernuansa alam

Kece kan little things nya juga :)
Apa sebenarnya alam raya? Jangan membayangkan bentuk sekolah secara fisik dengan bangku dan lapangan upacara (wah, jadul banget kalau perkiraan kita kayak gitu), karena kita tak akan menemukannya. Alam raya merupakan sebuah sanggar belajar yang sangat luas, ia tidak berbentuk fisik yang tersentral pada satu tempat, melainkan di banyak titik. Dengan tagline “creating a love of nature”, Mas Riyadi sebagai inisiator bercita-cita mendekatkan anak-anak dan generasi muda untuk peduli kelestarian alam untuk kehidupan yang berkelanjutan. Karenanya, alam raya yang sudah berjalan 2 tahun ini memfokuskan diri pada pembelajaran berbasis alam.

Tidak hanya anak-anak kampung dan kompleks di sekitaran homebase saja. Melalui hasil bumbata alias buka mata buka telinga pada lingkungan sekitar, dan juga jejaring relawan yang berasal dari berbagai desa di Jember, alam raya telah menyebarkan titiknya di Desa Ajung dan Gelantangan. Saat ini masih dengan model after school, outing class, dan camp. Artinya, anak-anak yang paginya bersekolah formal, bisa bergabung untuk mendiskusikan dan belajar apa saja sesuai passion mereka disini, terutama di program after school.

Berbagi happy adalah organisasi yang sangat kecil, sudah berjalan 4 tahunan. Kalau hanya berpusat pada taman baca, gerakannya lama, yang baca juga sepi... Karena itulah, saya dan kawan-kawan terus mencari model yang tepat untuk dikembangkan.”, curhatnya di sela-sela obrolan dengan saya di penghujung Ramadhan, 4 Juli 2016 kemarin.

Tak jauh dari rumah tersebut, saya dan suami yang dari tadi sibuk menjepretkan kameranya, diajak ke saung-saung yang juga dijadikan tempat berbagi dan belajar yang menyenangkan. Juga ke sebuah rintisan Warung Kesempatan. Ia adalah usaha sosial yang menggunakan kekuatan bisnis makanan dan minuman untuk memberikan kesempatan anak-anak muda pengangguran membuat masa depan mereka lebih baik. Setiap tahun, Warung Kesempatan merekrut 11 anak muda berumur antara 17-24 tahun untuk dilatih menjadi ahli masakan dan manajemen warung melalui pelatihan dan magang, yang unik dan kreatif. Peserta belajar akan diajarkan bagaimana mencintai dan menghormati makanan, mengeksplorasi segala hal tentang resep tradisi Indonesia sampai kuliner internasional.(FB Fanpage Warung Kesempatan)
 
Lebih jauh lagi, untuk memberikan dampak yang nyata terhadap hasil pembelajaran yang sudah diberikan. Ah, dalam hati saya merasakan gelora yang sama. “Kita harus menciptakan leader. Kalau dari dulu kan sekolah-sekolah kita memang mengajarkan kita untuk menjadi pelayan para tuan...kerja di orang atau menjadi karyawan.”, ungkapnya lagi. Model-model social entrepreneur jarang dipahami banyak orang.

Warung Kesempatan adalah sekolah warung
Salah satu produk Warung Kesempatan di bulan Ramadhan, menerima order murmer untuk yayasan/institusi yang ingin berbagi melalui buka bersama. Sumber : FB Fanpage Warung Kesempatan

Di alam raya, pembelajaran yang menyenangkan tadi berbasis project learning. Artinya, tiap anak ditantang untuk melihat persoalan yang dekat dengan kehidupannya, kemudian mendiskusikan problem solving apa yang akan ia lakukan. Tiap anak kemudian membentuk kelompok, mengajak anak yang memiliki passion sama. Ada tiga passion yang sudah berkarya dan diceritakan mas yang pernah mengenyam pendidikan pariwisata di Bandung ini.

Pertama adalah kelompok anak-anak yang ingin membantu meningkatkan kesejahteraan pengrajin tradisional di Desa Mumbulsari. Tercatat ada 200 pengrajin keranjang yang terbuat dari anyaman bemban atau bamban (donax canniformis), yang rata-rata bisa menghasilkan 1-2 keranjang per hari dan hanya dijual dengan harga Rp. 15 ribu per buahnya. Padahal pengerjaannya cukup rumit dan memakan waktu, belum tenaga yang harus dikerahkan seharian. Saat ini, selain belajar membuat keranjang tersebut tahapan demi tahapan, mereka membantu inovasi desain dan memasarkannya. Mereka membelinya dengan harga Rp. 5 ribu lebih tinggi dari harga semula. Pemasarannya bisa berupa program donasi yang ditawarkan pada publik untuk masjid-masjid di desa-desa Jember, selain untuk hotel, dan sebagainya.

Keranjang keren ini bisa kamu dapatkan di alam raya

Kedua adalah kelompok anak-anak yang sangat mencintai hijaunya tanaman. Ia membuat tanaman-tanaman menjulur di bekas botol minuman yang kemudian dibuatkan talinya untuk digantung. Pot tanaman yang sederhana itu pun dijual, kini ada salah satu rumah sakit di Jember yang memesannya untuk mempercantik koridor-koridor rumah sakit tersebut. Wah, keren kan?

Juluran tanaman yang bikin adem
Ketiga adalah kelompok anak-anak yang ingin bermanfaat mengurangi persoalan lingkungan sekaligus ingin membantu kebutuhan seragam adik-adik yang kurang beruntung. Berikut profilnya yang saya nukil dari fan page WIS SHOP :

"Syahdan bersama teman-temannya, mendirikan WIS SHOP sejak lulus SMP setahun lalu sebagai social project-nya di ‪#Jember‬. WIS SHOP mengumpulkan barang-barang bekas : pakaian, perlengkapan rumah tangga, mainan anak, sepatu, buku dan apa saja yang bisa dijual di toko barang sekennya untuk membelikan seragam anak-anak Jember yang sangat membutuhkan, membantu, mencegah anak-anak putus sekolah karena tak punya seragam sekolah. Syahdan melalui WIS SHOP nya telah mengirimkan lebih dari 80 stel seragam sekolah dalam setahun ini ke anak-anak pedesaan Jember dan telah membantu setidaknya 7 penjahit desa agar tetap bisa berpenghasilan. Keren, bukan?"

Salah satu figur social entrepreneur muda. Sumber : FB Fanpage WIS Shop

Mulai September 2016 nanti, akan ada alam raya yang mengkhususkan diri pada anak-anak usia SMA yang memang pure tidak bersekolah formal. Semacam anak putus sekolah atau dengan background lain yang tak memungkinkan mereka untuk melanjutkan sekolah mainstream itu. Muridnya baru ada 3 orang, begitu informasi Mas Riyadi. “Tapi, 3 orang inilah yang akan menjadi rintisan. Semua orang disini bukan guru, tapi semacam coach. Sama seperti yang after class”, tambahnya lagi.

Social Entreprise dan Crowdfunding

Satu tema seksi yang menarik saya bahas adalah tentang social entreprise (wirausaha sosial). Kalau ada kesempatan kuliah lagi, saya ingin sekali mengambil jurusan ini. Meski memang tak linier dengan jurusan saya di Ilmu Informasi dan Perpustakaan. Tak linier itu kalau dari kacamata untuk profesi seperti dosen. Tapi kalau dalam praktek keilmuannya, menurut saya ya nyambung.

Nyambungnya karena dunia informasi dan perpustakaan sekarang bukanlah terbatas pada institusi formal. Bahkan, saat ini telah mengakar hingga ke kampung, balai RW, kafe, sudut kota, dan celah-celah lain. Informasi bukan barang langka, begitu pula perpustakaan yang diterjemahkan lebih ringan dengan kata taman baca, kafe baca, rumah baca, sudut baca, pojok baca, dan rangkaian frase yang lain.

Jujur, saya mengalami kegelisahan saat mencoba merefleksi langkah saya di dunia kerelawanan sejak 2006 hingga sekarang. Relawan sering diidentikkan dengan seseorang yang sukarela serela-relanya, sampai seolah-olah ia tak berhak dengan yang namanya sejahtera. Sejahtera adalah milik orang kantoran atau PNS barangkali. Sehingga seringkali kalau relawan ingin meningkatkan kiprahnya menjadi social worker atau fokus bekerja di bidang sosial kemasyarakatan, pastilah akan dianggap aneh atau gila. Profesi tak bermasa depan. Atau ungkapan miring seperti, “Masa kerja sosial digaji?”

Sebab itu pulalah yang membuat saya tertarik dengan model social entreprise. Seluruh komunitas dengan inovasinya adalah aset yang tidak cukup hanya dibenturkan dengan kata pahala. Itu sudah prerogatif Sang Maha Kuasa. Namun, yang perlu dipikirkan adalah sustainability (keberlanjutan). Bagaimana seseorang atau sekumpulan orang bisa all out ketika ia tak memiliki keberdayaan ekonomi? Seolah-olah urusan bisnis dan sosial adalah dua hal yang berbeda.

Saya sudah terlalu bosan dengan model-model lama, mengantar proposal, mencari donatur, dan menawarkan pahala. Sebagai seorang yang bervisi besar, kita haruslah melampaui itu dan menciptakan inovasi yang berbeda. Wirausaha sosial adalah suatu cara untuk menuju keberlanjutan itu.


bareng Mas Riyadi Ariyanto
Saya salut dengan upaya Mas Riyadi yang selain mendapat support dari kawan-kawannya, juga berusaha mengembangkan model-model wirausaha sosial dalam skala kecil dan kontinyu. Bahkan, tidak saja anak-anak yang belajar disana yang ditantang untuk menemukan persoalan terdekat dan menjadi problem solver, para relawan pun ditantang untuk melakukan hal yang sama. Sehingga gerakan bisa dilakukan dari kampung dan memberdayakan sumber daya lokal atau penduduk aslinya. Bukan mendatangkan ‘relawan perlente’ untuk keperluan sertifikat misalkan, kemudian tak lama pergi karena merasa pengalamannya sudah cukup. Dampak yang berkelanjutan sesungguhnya adalah warisan yang harus dibagikan. 

Gerakan dari kampung itu bisa dimulai dari survei rumah warga yang mau dititipi koleksi buku dalam skala kecil, dibuat tempat berkumpul anak-anak dan warga, kemudian mencari relawan lokal dari kalangan pelajar untuk ditulari skill yang diperlukan. Itu yang dilakukan alam raya dan berbagi happy, bahkan sumber daya lokal tersebut diberikan insentif Rp. 200 ribu, mungkin setara dengan gaji guru honorer, tapi lumayan untuk menambah uang saku pelajar :)

Tak mau hanya berpangku tangan saja menunggu uluran donatur, outing class pun didesain berbayar terjangkau khusus untuk kunjungan sekolah-sekolah formal dan elit yang ingin study tour.

Yang saya makin jleb adalah saat nalar saya tersadar setelah ngobral ngobrol dengan Mas Riyadi kalau tipe masyarakat kita sangatlah suka dengan berita media yang bombastis dan mengulas sisi kemanusiaan yang dramatis. Mengumpulkan crowdfunding (penggalangan dana rame-rame) untuk pembangunan masjid, membantu kucuran dana si miskin, mengobati orang yang sakit, bahkan menolong pemilik warung makanan yang didatangi dan ditumpahkan makanannya oleh Satpol PP adalah sesuatu yang seksi. Tak ada yang salah memang, bukankah manusia yang paling baik adalah yang memberikan manfaat untuk orang lain?

Hanya, sayang sekali bila kesadaran kita masih sebatas apa yang tampak instan di depan mata. Before after nya jelas. Tapi, bagaimana dengan ajakan untuk sama-sama men-support model pendidikan berkelanjutan supaya mereka mandiri dan berdaya serta nantinya bisa mengentaskan kemiskinan? Jarang sekali masyarakat kita tertarik, sebab dampaknya tak bisa diukur dan membutuhkan waktu yang lama. Bukan saja masyarakat belajarnya yang perlu kita rawat, tapi juga sumber daya pentransfer ilmunya. Kadang di sisi ini, banyak orang gagal paham.

Akhirnya

Membangun sesuatu yang besar, terutama membentuk SDM dengan visi leader tentu bukanlah perkara gampang dan hanya dicapai dalam hitungan tahun saja. Dibutuhkan keuletan dan kesabaran yang lebih dari itu dari sisi pengorbanan waktu dan tenaga. Bahkan mungkin bertahun-tahun. Dana sudah barang tentu menjadi pendukung wajib. Crowdfunding akan terus dibutuhkan tapi tidak menjadi sasaran utama, namun social entreprise adalah tantangan yang harus terus dikembangkan. Supaya gerakan sosial bisa mandiri dan tak mengharapkan belas kasih. Ia harus muncul sebagai keberdayaan ilmu di dunia realita.

Sesuatu yang besar selalu dimulai dari langkah yang kecil dan terus menerus. Saya percaya itu. Tugas utama kita sebagai khalifah di muka bumi ini akan terus berlangsung selama hayat masih di kandung badan. Semoga ini menjadi sebuah reminder bagi kita di penghujung Ramadhan karim ini. Menjadi khalifah dengan tidak melakukan kerusakan di bumi Allah bukanlah tugas parsial, tapi kerja komunal. Wallahu a’lam.           


      

Prita HW

3 komentar:

  1. Semoga dapat menginspirasi banyak orang akan suatu hal yaitu adalah belajar adalah bagian dari hidup kita.

    BalasHapus
  2. Menginspirasi banyak orang sebuah cita2 yang mulia semoga proses kehidupan dapat menuntunnya :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya mbak, semoga kita semua bisa menuai cita2 seperti itu ya, amiennn :)

      Hapus