Minat Baca diantara Penghargaan dan Pencideraan Buku

Suasana Rumba on deStreet

“Yang penting ada lampu buat anak-anak baca ini, biar terang...”.

Ungkapan seorang bapak yang sedang mengkoordinir rekan yang lain untuk membenahi tambahan penerangan di pinggir jalan yang menjadi ‘lapak’ baca saya dan rekan-rekan rumah baca kala itu sempat membuat hati ini berdesir.

Pasalnya, saya tak mengenal bapak tersebut, tapi saya tahu beliau adalah salah satu warga yang ikut senang dan tertawa sumringah saat tahu anak-anak begitu antusias terhadap buku-buku yang kami jajar sedemikian rupa di atas tikar. Dari ungkapan sederhana tadi, saya yakin itu adalah bentuk dukungan masyarakat setempat atas aksi positif apapun di lingkungannya.

Buku dan Anak-anak

Sore hingga malam itu, Sabtu (14/05), saya dan rekan-rekan relawan menggelar lapak buku yang kami namai Rumba on de Street  atau sejenis perpustakaan keliling dengan model lesehan. Ini adalah kali pertama bagi kami menggelar bacaan di tengah masyarakat kompleks yang berada satu area dengan rumah baca kami. Biasanya malah di car free day yang berjarak agak jauh dari kompleks.

Antusias anak-anak dan beberapa remaja yang langsung mengerumuni kami meski awalnya malu-malu benar-benar di luar dugaan. Mereka menghentikan aktivitas berlarian kesana kemari dan bahkan bersepeda. Seakan-akan buku adalah barang mewah, atau justru aktivitasnya yang mewah. Beberapa ibu-ibu ikut nimbrung, ada yang membaca novel, ada yang membacakan cerita bergambar untuk anaknya. Ada pula seorang remaja yang aktif bertanya-tanya aktivitas kami, selain ada juga yang terlihat membaca buku Raditya Dika dengan tampang serius tapi santainya.    

Sebenarnya, dari beberapa pengalaman pribadi saya ikut menginisiasi komunitas literasi dan aktivitas yang melingkupinya, bahkan sejak saya duduk di bangku kuliah dulu, saya sangat tak sepakat dengan fakta yang menunjukkan minat baca anak Indonesia itu rendah. Seperti data UNESCO, prosentase minat baca anak Indonesia sebesar 0,01 persen, atau dari 10.000 anak bangsa, hanya satu saja yang memiliki minat baca.

Data tersebut boleh jadi benar adanya di atas kertas. Namun saat saya dan mungkin juga sebagian dari kita mengalaminya sendiri dari proses interaksi secara langsung, itu tak sepenuhnya benar. Kalau kita merujuk pada minat, maka kita dapat merujuk pada definisinya menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), yaitu kecenderungan hati yang tinggi terhadap sesuatu; gairah; keinginan.

Sedangkan respon yang paling nyata dan bisa dilihat dengan mata telanjang adalah sikap mereka yang langsung mendekat dan tersedot bagai magnet saat buku-buku berjajar apa adanya, lalu mata yang berbinar-binar saat mulai membuka halaman demi halaman. Tak jarang lalu membacanya sebisa mungkin dengan kemampuan mereka. Apakah itu indikator dari minat baca yang rendah terhadap sumber bacaan? Kita tentu bisa menyimpulkannya. Meskipun tentu untuk mempertahankan mereka menjadi pembaca yang betah dengan bacaannya, harus diselingi dengan berbagai aktivitas kala sifat moody mulai menyerang. Jangankan anak-anak, orang dewasa pun pasti mengalaminya, kan?


Asyiknya membaca

Karena itu, menciptakan interest activity yang berhubungan dengan aktivitas literasi menjadi penting untuk diaplikasikan. Misalnya, dengan menyediakan peralatan menggambar dan mewarnai, permainan edukatif, ataupun membaca buku bersama-sama layaknya taddarus dengan metode saling menyimak. Atau menggabungkannya dengan unsur teknologi kekinian yang kini memang telah menciptakan eranya sendiri, kita bisa ikut menyediakan audio book atau akses internet untuk menjawab rasa ingin tahu yang anak-anak dapat dari bacaan.  

Baca juga : Ibu, Mari Membaca


Pertanyaan kritisnya adalah apa benar minat bacanya yang rendah atau aksesnya yang kurang tersedia? Akses disini bukan saja berarti ketersediaan bahan bacaan, tapi juga seberapa besar dominasi lingkungan keluarga, sekolah, perpustakaan sampai pemerintah mendukung ketersediaan dan menggiring membaca menjadi suatu kebiasaan yang kemudian membudaya.

Buku, Penghargaan, dan Pencideraan

Kecintaan seseorang terhadap buku sering diidentikkan berbanding lurus dengan minatnya terhadap aktivitas membaca. Ya, karena sumber monumentasi pikiran adalah tulisan yang kemudian dirangkum dalam suatu benda bernama buku.

Berdasarkan sejarahnya, tentulah buku menempati posisi yang sangat penting. Kita bisa kembali menilik kejayaan masa lampau, seperti halnya zaman kerajaan, bagaimana para pujangga-pujangga mendapatkan kedudukan yang penting berhubungan dengan keahliannya menceritakan dan menghimpun sejarah kekuasaan raja-rajanya di masa itu. Atau lebih jauh lagi, pada masa kejayaan Islam masa lalu, lembaran-lembaran tulisan di atas media apapun begitu susah payahnya dikumpulkan. 


Sumber : www.pixabay.com

Lalu, jika kita kembali di zaman kita sekarang ini, seberapa besar masyarakat secara umum memandang buku sebagai suatu aset yang perlu dilestarikan? Dilestarikan dalam arti luas. Bukan saja secara jasmani yang sangat bersifat artifisial. Namun juga secara rohani yang memberikan pemahaman yang mendalam. Upaya-upaya menumbuhkan minat baca dari pemerintah dan juga masyarakat yang diwakili dengan kemunculan masif komunitas literasi, adalah implementasi nyata dari pelestarian rohani sebuah buku. 

Baca juga : Indonesia, Buku, dan Budaya Membaca


Lantas, ketika di hari buku nasional yang diperingati setiap tanggal 17 Mei yang jatuh kemarin banyak diwarnai razia dan aksi teror pada sejumlah buku yang dijustifikasi bernuansa‘kiri’, apakah upaya penumbuhan minat baca yang terus dilakukan dari dulu hingga kini tidak menjadi ironi?

Terlepas dari nuansa ‘kanan kiri’ atau ‘kanan terus’, ‘kiri terus’, atau ‘kanan kiri oke’ menurut subyektifitas saya, sangatlah menunjukkan sikap kerdil dari seorang penguasa atau pemerintah. Mungkin karena kata dasar penguasa adalah kuasa, dan kata dasar pemerintah adalah perintah, jadilah turunan dari sikap yang ditampakkan menjadi seperti arti kata dasarnya. Cara-cara yang lebih terhormat dan intelektual tak tampak dalam upaya meluruskan atau meletakkan kembali apa yang mungkin kurang lurus dari suatu peristiwa menurut kacamata Tuan penguasa.


Sumber : www.pixabay.com

Menukil apa yang diungkapkan dalam kolom opini Kompas, 15 Mei 2016, sesungguhnya para bibliokas - para perusak buku - itu tak membenci kertas, tapi membenci ingatan. Ingatan yang kemudian dimonumentasikan oleh buku. Namun, di zaman yang sudah semakin modern ini, silahkan saja menyita buku, karena itu tak berarti apa-apa, karena yang seharusnya disita dan dihancurkan adalah pikiran. Tentu karena bentuk fisik buku bukanlah satu-satunya alat untuk membaca buku.

Tak pelak, banyak aksi yang juga menjadi trending topic di media sosial twitter pada hari kemarin menunjukkan respon kegetirannya terhadap ironi ini. Salah satunya, Masyarakat Literasi Yogyakarta (MLY) yang kemudian merilis tujuh butir #MaklumatBuku yang dibacakan di Kantor Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta dan kemudian ramai dikicaukan di twitter.


Maklumat Buku oleh MLY
 
Buat para orangtua yang awam dengan persoalan ini, atau bagian struktural sekolah yang tak bisa menjelaskan dengan gamblang, atau mungkin anak-anak yang mengetahui sendiri tentang berita-berita aksi teror, razia, apalagi menuju pemberangusan buku, apa yang bisa kita katakan?

Atau yang lebih awal patut kita pikirkan, apa yang ada dalam benak mereka? Katanya buku harus dicintai, buku harus dipelajari, buku harus dibaca, kenapa ada orang yang membenci buku? Alergi atau traumatik seperti apa lagi yang akan kita saksikan di tengah gempita upaya penumbuhan minat baca?

Alangkah baiknya, bila buku dibalas dengan buku, pemikiran dibalas dengan pemikiran dan dialog terbuka. Terlepas dari apapun bahasan sebuah buku, justifikasi tanpa membacanya adalah sebuah pencideraan fatal.

Selamat hari buku nasional.



Prita HW

4 komentar:

  1. perlu banyak taman baca gratis ya, karena gak semua bisa beli buku yg harganya mahal

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mbak,kalo beli sendiri juga,sekali baca udah. tapi kalau kita berbagi,terus ada yg baca :)

      Hapus
  2. Saat ini, masyarakatnya lebih senang nonton dan bermain gadget. Untuk membaca buku memang tergantung mood.

    BalasHapus
    Balasan
    1. yap mbak,makanya perlu ada inovasi bacaan,dan menggabungkan antara text dan digital :)

      Hapus