#BahagiadiRumah itu Saat Berkarya Bersamamu




Berbicara soal bahagia, ingatan membawa saya pada salah satu quotes favorit :

“Wherever you go, go with all your heart” – Confucius 

Kata-kata itu bagai mantra yang selalu saya doktrin ke isi kepala saya saat mulai menjejakkan kaki di kota yang baru. Maklum, dulunya saya termasuk orang yang nomaden karena tuntutan pekerjaan. Jadinya saya yang berperawakan mungil menurut versi teman-teman kebanyakan, harus selalu ‘siap tempur’ saat tiba-tiba setelah sembilan tahun lamanya merantau di Surabaya, kemudian harus sebulan berada di Jogjakarta, dua bulan di Jakarta, sebulan di Tangerang, setahun di Balikpapan dan kadangkala mengunjungi Samarinda, dua tahun di Semarang, dua bulan di Solo, sampai akhirnya berlabuh di Bekasi. 

Saya berkesimpulan bahwa bahagia bukan soal tempat atau soal kurang piknik seperti asumsi banyak orang sekarang. Tapi soal apa yang ada di dalam hati. Ehm, bukan sok romantis ya, tapi begitulah adanya. Saya sangat percaya saat kita melakukan sesuatu dengan sepenuh hati, dimanapun itu, hati kita akan selalu diliputi rasa bernama bahagia. Tak terkecuali berada di rumah.

Flashback : Titik Jenuh dan Pergolakan Diri

Saya sangat bersyukur memiliki posisi dan pekerjaan yang baik yang saya rintis sejak 2011 hingga November 2015 yang lalu di salah satu perusahaan multinasional bidang advertising yang fokus pada marketing. Selain menulis, passion saya yang lain juga di bidang komunikasi, termasuk marketing. 

Namun, semua orang pasti tahu bahwa semakin tinggi posisi, beban dan tanggungjawab akan semakin berat, tantangan makin besar, dan angin yang berhembus juga semakin kencang. Saya pun tak luput mengalami hal ini. Persaingan saya rasakan makin ketat dan cenderung menggunakan segala cara untuk menyelamatkan perahu bisnis masing-masing. Jika sudah begini, maka orientasi pada hasil adalah yang utama dan paling penting. Sedangkan saya yang banyak bertumbuh di komunitas dan dunia kerelawanan, lebih menghargai apa yang dinamakan proses. Disinilah saya mengalami keresahan yang amat sangat.



Stress berkecamuk


November tahun lalu adalah tepat tiga bulan saya merasakan hawa pernikahan baru yang otomatis juga harus mengatur ritme baru. 

Yang paling berat adalah saya yang biasanya saat masih sendiri selalu bersama tim marketing sampai larut malam untuk mengejar target, atau setidaknya terus berkomunikasi lewat messenger merasakan bahwa kebiasaan ini tak mungkin dilanjutkan. Pulang ke rumah, bukannya ngobrol dengan suami untuk sekedar berbagi cerita hari itu, saya malah asik  memencet-mencet tombol handphone dengan wajah ditekuk dan dahi berkerut.

Baru ketika suami saya bilang, “Pekerjaan kantor jangan dibawa ke rumah, harus bisa bagi waktu...Pulang ke rumah kok kelihatannya malah stress,”, tegurnya.

Saya langsung terperangah dan curhat sejadi-jadinya, meluapkan semuanya, dan akhirnya sampailah pada keputusan yang saya sendiri ragu, berhenti dari karir yang saya rintis hampir 5 tahun belakangan dan berhasil membuat saya survive saat berdiri di atas kaki sendiri. 

Tapi, sekali lagi, akhirnya saya melakukannya, karena saya memilih untuk bahagia, bukan dengan nominal rupiah semata.

#BahagiadiRumah Adalah Saat Bersyukur pada Setiap Momen

Aha, ‘hari kemerdekaan’ saya dimulai pertengahan November tahun lalu. Tak ada ritme terburu-buru harus sampai kantor jam 7 pagi, pulang ke rumah jam 8 malam, dan juga dahi yang berkerut. Walaupun awalnya memang ada pro kontra dalam hati untuk mencoba pekerjaan baru atau kembali pada passion, mengikuti kata hati.

Meski tak mulus dan melewati masa-masa galau, saya mencoba mencari makna dari setiap aktivitas yang saya lakukan. Sepertinya, kembali menyepi dan hanya berkomunikasi dengan diri sendiri, bisa membuat kita lebih obyektif merefleksi apa saja yang telah kita lakukan. Kira-kira sama seperti pertama kali mengenalkan calon pasangan hidup pada keluarga, karena kondisi yang berjarak, kadangkala penilaiannya justru lebih terang :)

Dan, coretan-coretan inilah yang rutin saya buat setelah fulltime di rumah, kembali menemukan jalan yang hilang sebagai seorang penulis lepas yang dulu pernah saya mulai sebelum terjebak rutinitas office hour. 

Hasil evaluasi dari bulan ke bulan

Saat itu, suami saya yang masih bekerja diluar, dan kebetulan jaraknya tak terlalu jauh dari rumah kontrakan mungil kami, malah selalu menyempatkan diri untuk makan siang bersama. Spesial masakan saya yang ala kadarnya. Menu wajibnya apalagi kalau bukan tahu tempe, sayuran, sambal terasi, dan kerupuk.  Kadang ditambah telur atau lauk lain.  Nikmatnya lebih daripada menu restoran bintang lima. Tapi serius, ini bukan lebay :)  Momen seperti ini adalah yang pertama sejak kami menikah. Saya merasa utuh sebagai seorang istri, meski masih banyak kekurangan pastinya. 


Masakan ala kadarnya yang nikmatnya luar biasa

 #BahagiadiRumah adalah Kebersamaan

April 2016, tepat satu bulan yang lalu adalah bulan spesial buat saya dan suami. Bukan saja karena di hari ke-27 saya genap berusia 31 tahun, tapi juga di hari yang sama saya tiba-tiba sakit perut hebat kedua kalinya. Malam itu kami bermalam di rumah sakit.

Keesokan harinya saya didiagnosa hamil di luar kandungan, jabang bayinya berusia kurang lebih satu bulan. Dan ini menjawab rasa penasaran saya tentang pendarahan yang saya alami dan saya kira jatah bulanan itu. Malam itu juga, dokter memutuskan untuk operasi. Perasaan saya campur baur. Di satu sisi, bersyukur Sang Maha Kuasa mempertemukan dengan dokter yang mendiagnosa tepat keluhan saya. Di sisi lain, memasrahkan diri, laa haula wala kuwwata illa billah, tiada daya dan kekuatan selain kekuatan Allah...

Karena ini kehamilan perdana, tentu saja saya masih mengalami banyak kebingungan. Alhamdulillah, selama dirawat di rumah sakit, suami saya termasuk suami siaga. Kami hanya berdua di setiap malam, dan sesudah malam keempat, kami diijinkan kembali ke rumah.

Dari peristiwa inilah, saya dan suami yang memang sedang merintis bisnis berjualan online sejak Desember tahun lalu, berniat untuk memantapkan langkah serius menekuninya lagi. Ia pun mengikuti jejak saya. Mengambil resiko untuk quit dari pekerjaannya di produksi konveksi.

Menjadi serius untuk berwirausaha sendiri tentu tak mudah. Banyak godaan dan pertimbangan. Tapi, kami selalu yakin, semua sudah diatur oleh-Nya. 

Sejak babak baru dimulai, kami bergotong royong menata rumah kontrakan kami yang mungil. Ruangan depan digunakan untuk ruang kerja bersama. Bengkel karya kami. Saya di sisi kanan dengan karpet mungil dan bantal empuk, serta meja kecil, bermain dengan alam pikiran untuk meramu kata-kata menjadi lembar demi lembar tulisan. Suami saya di sisi kiri dengan sebuah meja jahit sederhana dan kursi hijau neon yang segar sibuk merangkai lembar demi lembar kain menjadi sesuatu yang multifungsi seperti tas dan bag cover.


Bengkel karya kami di rumah kontrakan mungil
Setiap pagi sebelum memulai aktivitas hari itu, kami selalu menyempatkan diri untuk berbincang pagi tentang topik apa saja yang kami dapat dari sebuah trending topic, atau dari sumber bacaan ringan tapi bermutu seperti Tabloid Nova. Tak lupa dua gelas teh hangat yang menyegarkan badan dan catatan to do list harian. Ah, bahagianya...


Tabloid Nova dan buku-buku menjadi bahan obrolan pagi

Berkarya bersama membuat saya dan suami benar-benar merasakan makna melengkapi yang sebenarnya. Dan semoga ketika kami dipercaya untuk memiliki anak-anak yang manis kelak, kami pun siap menyediakan waktu sepenuhnya.



Mengungkap makna kebersamaan, membuat saya teringat juga dengan momen NOVAVERSARY  yang memasuki usia 28 tahun. Tentu bukan waktu yang singkat bagi Tabloid Nova hadir di tengah-tengah keluarga Indonesia. Termasuk keluarga saya, dulu saya mengenal Tabloid Nova pertama kali dari mama saya yang selalu membeli dari abang koran langganannya Dan ajaibnya, ternyata keluarga suami saya pun demikian, bahkan resep-resep masakannya rutin dibundel dan dijadikan kliping resep andalan keluarga :)

Saya yakin usia yang sekarang sudah membuat Tabloid Nova cukup matang menyajikan informasi-informasi pilihan. Selamat ulang tahun, Nov!

Tulisan ini diikutsertakan dalam NOVA 28 Blog Competition

Prita HW

11 komentar:

  1. Bagus banget kak Prita. Aku tersentuh dan ikut terbawa suasana :'D ini nih yg selalu aku suka dari tulisannya kak Prita. Tulisannya tulus, intimate, pake hati banget jadi yg bacanya pun kaya mengalami sendiri. Goodluck kakak semoga menang yah aaamiin :))

    BalasHapus
    Balasan
    1. wah wah wah, si Ifa ini bikin yg baca komen jg merinding :D alhamdulillah, iya tujuannya mau sharing, biar pengalamannya nular gitu, hehe..amin amin. btw, aku jg suka tulisan km fa, ada ciri khas nya juga, haha

      Hapus
  2. aihh mba prita... jadi ikut merasakan haru dan bahagia. semoga sukses buat ngontesnya yaa :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. mb Inna, ayo ikuuuttt jugaaaa. seneng banget deh mb Inna udah sempetin baca. Makasi yah :)

      Hapus
  3. Waaahhh aku jadi semakin mantep mau resign dari kantor.. terima kasih atas inspirasinya mbak.. bagus bangettt! Sukses selalu untuk mbak dan suami..

    BalasHapus
    Balasan
    1. wah wah, kompor nih aku jadinya, mbak :) selamat mengalami keajaiban2 baru ya mbak, hehe. Makasi udh baca2 ya :)

      Hapus
  4. Wah itu makanan bikin ngeces. Para suami itu biasanya emang akan suka makan masakan istrinya ketimbang makanan di luar. Suamiku kalau kantornya deket mungkin jg pilih maksi di rumah, tapi krn jauh, palingan bawa bekal hehehe.

    Sukses ya, ngontesnya :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. iyes, pril, rasanya maknyus, karena rasa di lidah dan di hati #haseekkk. tengkyuuu^^

      Hapus
  5. Bahagia di rumah adalah kebersamaan, yup bener banget :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bener bangetttt,mengalami hal yg sama mbak? hehe..makasih udah berkunjung^^

      Hapus
  6. setuju bgd mbk, apalah arti rumah tanpa adanya kebersamaan di dalamnya yak

    BalasHapus