Sudah Antri yang Bermanfaat ? : Refleksi Diri 2015

Halo semua! Ketemu lagi di awal 2016! What's awal? Hahahaha, meski udah pertengahan kali yah buat yang lain, tapi buat saya yang baru memposting satu tulisan yang juga late post karena kesibukan menghujam, it's deal buat menyebut awal :) ~tetep ngeles

Kali ini, saya pengen sedikit flashback alias refleksi diri sebentar tentang apa aja yang sudah saya alami di 2015. Haduh, aturan mah akhir Desember atau awal Januari banget yah nulisnya. Kan itu udah mainstream, sekarang coba yang sedikit berbeda :D Kinerja presiden atau pejabat aja biasanya dievaluasi di 100 hari pertama kan? ~ngeles nya puasss

***

Refleksi Diri 2015

Saya masih inget persis setahun yang lalu, saya bersama tim di perusahaan direct marketing bidang advertising yang rata-rata masih muda belia sekitar 20-25 an up ~dan saya termasuk yang up~, sedang menikmati kemping ceria di alam bebas, salah satu jalur pendakian menuju Gunung Ungaran, Nglimut, masuk wilayah Kendal. Nggak sekedar kemping juga sih, saya yang dituakan saat itu ~buset dah udah kayak sesepuh~ sempat berbagi satu simulasi tentang real life dan waktu yang kita miliki sebagai manusia normal atau pada umumnya. Maksudnya?

Begini, normalnya manusia di era ini, rentang waktu hidupnya berkisar antara 60-70 tahun. Bahkan Rasulullah Muhammad SAW saja ditakdirkan hingga usia 63 tahun. Boleh dibilang jika kita melebihi 63 tahun, anggap saja sebagai bonus. Nah, saat itu saya mengajak mereka untuk membuat semacam grafik atau apa yah dengan unsur dua garis, garis horisontal yang menggambarkan usia, dan garis vertikal yang menggambarkan jam produktif. Masing-masing orang menyobek kertas, yang sama saja menganalogikan usia yang sudah lewat dan sisa jam produktif yang sudah terpakai. Makin lama, kertas sobekan jadi berbentuk, yang bentuknya masih persegi panjang atau persegi besar, berarti secara kasat mata, dia masih tergolong muda, sisa usianya masih banyak:) Kalau makin kecil kertas, indikasinya, usianya sudah menjelang matang atau dewasa atau tuwir, haha, terserah apalah. Kebetulan saya masih menyimpan rapi kertasnya di dompet.

Refleksi Diri 2015
sisa kertas saya
Tahun lalu, saya berusia 30 tahun, saya membuat analogi bahwa rentang usia maksimal manusia 70 tahun, katakan saya masih punya waktu 40 tahun lagi. Dan, sisa jam produktif saya, 9 jam dalam sehari, dengan kondisi kesibukan setahun lalu. Kesimpulan yang saya tulis di balik kertasnya, waktu tidak bisa diakumulasi, dipinjam, ditabung, dikembalikan, jadi WAKTU lebih berharga daripada UANG. Klise memang, tapi memahaminya, apalagi mengaplikasikannya, tak semudah menuliskan atau membacanya saja. ~noted

Benar, saat itu saya merasakan waktu bergulir begitu saja. Saya yang saat itu boleh dibilang sudah mulai menikmati hasil kerja keras saya sebelumnya, sejak 2011 di perusahaan yang sama, menjalani hari-hari di kantor seperti biasa. Meeting, memikirkan target penjualan, memotivasi tim, kadang stres, kadang galau, kadang juga resah. Sempat saya berpikir, sampai kapan saya menjalani rutinitas begini-begini saja, sedang kawan-kawan saya yang seumuran sudah mulai 'naik level'. Membangun keluarga kecil, menikmati karir. Untuk urusan terakhir, saat itu saya merasa sudah di posisi aman. Tapi, urusan yang pertama? Mulai timbul pertanyaan-pertanyaan dalam hati, apa yang salah sebenarnya?

Blame No One, Expect Nothing, Do Something

Saya dapat inspirasi dari membaca buku seorang sahabat maya yang saya kenal lewat aplikasi tinder, yang belakangan saya ketahui bahwa dirinya seorang ODHA dan sukses mendirikan sebuah lembaga yang juga membantu ODHA yang termarjinalkan dan tersisihkan. Agak jauh sebelum saya membaca bukunya. Judulnya, Melampaui Mimpi, Ginan Koesmayadi, nama sahabat saya itu. Ada satu fave quote yang difavoritkan Ginan untuk melewati masa-masa sulitnya dan sekaligus memantik semangat untuk berbuat lebih, sesuai yang saya tulis di atas : tidak menghakimi siapapun, tidak berharap apa-apa, lakukan sesuatu. 

Memoar Ginan berkali-kali saya buat bahan meeting untuk motivasi tim di kantor, betapa seseorang bisa berhasil dan sukses, bukanlah berasal dari siapa dia dulu, tapi apa yang dia lakukan saat ini dan nanti dengan berpijak pada masa lalunya. Blame no one.

Rasa bosan yang menyergap akibat rutinitas yang business oriented, memaksa saya untuk menyapa lagi rutinitas saya yang dulu, dunia saya yang lain. Bertemu orang-orang yang tulus, jauh dari intrik bisnis, selalu berprasangka baik, dan spirit kebaikan yang lain. Bukan berarti dunia kerja atau bisnis itu tak ada unsur kebaikan yah, cuma saat itu saya merasa lingkungan saya agak tidak sehat.

Saya mendapat kesempatan kenal dengan komunitas-komunitas di Semarang, dua kali saya ikut mereka berbagi ilmu dan bermain dengan adik-adik dari 19 Kepala Keluarga yang tersisa di wilayah Desa Promasan, dua jam trekking dari pos Mawar, dan dua jam menuju puncak Gunung Ungaran. Desa penghasil teh dan kopi, tapi baru beberapa tahun belakangan ini dialiri listrik yang dibantu para relawan. Spirit dari fave quote tadi, representasi dari do something  mengaliri hati dan jiwa saya yang penuh setiap kali selesai melakukan aktivitas berbagi. Itu terjadi kalau tidak salah di bulan Maret.

bergabung dengan komunitas di Semarang
Saya saat kali pertama bergabung dengan komunitas di Semarang

berbagi bersama adek-adek Desa Promasan
Saya saat kali kedua berbagi bersama adek-adek Desa Promasan

Beberapa bulan kemudian, akhir Mei, saya menawarkan diri untuk ikut mengawal workshop yang diinisiasi komunitas tercinta yang bikin saya jadi rajin melongok Bekasi ~yang akhirnya mengantarkan saya menjadi penghuninya~, Jurnal Khatulistiwa (Jurkhat). Disempet-sempetin dari Semarang, sambil membawa koper berat yang isinya dus buku yang saya bawa untuk kawan-kawan Jurkhat yang akan melanglang buana dalam event Ekspedisi Nusantara Jaya. Jujur, berat! Dan membuat bagian bawah koper saya patah, untung sudah direparasi, haha.. Justru, dari mengisi workshop fun writing itulah, Allah kasih kejutan berupa perkenalan dengan seorang imam yang akhirnya menjadi suami saya saat ini. Wah, energi expect nothing ini mah! Pertanyaan apa yang salah sebenarnya dijawab tuntas lewat proses yang saya alami (baca juga : Cinta, Inilah Perjalanan Takdir).

Bulan Juni hingga Agustus, benar-benar waktu deg deg ser buat saya pribadi. Mempersiapkan pernikahan dengan tiga kali pertemuan, bahasanya ta'aruf gitu lah kira-kira. Saya sendiri baru mengalami yang seperti ini. Rasanya macem-macem, tapi lebih banyak senengnya ;D Dulu, saya pikir, sebuah pernikahan adalah hasil dari chemistry dimana saya rasa cinta akan bertumbuh dengan adanya intensitas pertemuan. Jangan percaya yah, pengalaman saya harus menolak itu. Intensitas komunikasi lebih tepatnya. Buktinya, saya ketemuan cuma tiga kali, pertama saat dikenalkan oleh skenario-Nya, kedua saat ia nekat menyusul saya ke Semarang demi mempertegas maksud, ketiga adalah H-1 akad nikah, yang malamnya dijadwalkan untuk lamaran dan berkenalan dengan keluarga. Toh nyatanya jadi juga! Itulah misteri takdir saat kita mengupayakan yang terbaik^^

O yah, sedikit cerita, saat saya mendengar ijab qobul antara papa saya, penghulu, dan calon suami saya saat itu, perasaan saya tak bisa digambarkan bentuknya. Haru dan bersyukur dengan sepenuh-penuh rasa syukur. Lebih dari perasaan saya saat berhasil mendapat reward jalan-jalan ke Thailand pada Januari 2015 dan itu adalah pertama kalinya saya keluar negeri ~sedikit norak~ . Tak tertandingi! Karena apa? papa saya tidak pernah menghadiri pernikahan anak-anaknya yang berjumlah empat orang, kecuali pernikahan saya! Sejak mama meninggalkan kami semua pada 2008, baru Agustus 2015 kemarin rumah saya kembali ramai untuk sebuah hajatan yang sedikit ~meski tidak terlalu~ merepotkan. Dan, tentu rasa syukur atas perjalanan saya dengan suami yang singkat, tapi memberikan makna spiritual yang mendalam. Jadilah saya namakan tema pernikahan itu The Jannah Wedding, pernikahan yang memiliki harapan sebagai pernikahan terakhir hingga masa tugas sebagai manusia selesai dan mengantarkan kami menuju surga. Amiennn.

undangan pernikahan The Jannah Wedding
Kun Fayakuun


Alhamdulillah kehidupan saya yang tak lagi menjomblo ~istilah anak sekarang~ makin berwarna. Membiarkan hal bernama cinta tumbuh subur setelah pernikahan memang nggak ada duanya. It works! ~niru iklan~ Sempat LDR karena jarak tempat kerja dan menyiapkan kepindahan selama sebulan, akhirnya Oktober saya hijrah ke kota yang dulunya saya anggap asik banget buat kongkow bareng temen-temen. Kenyataannya sekarang? Waa, agak shock kalau membandingkan dengan Surabaya, Semarang, dan Balikpapan, kota-kota yang pernah saya singgahi untuk merantau sebelumnya. Biasanya taman kota yang cantik, aura wisata sebuah kota, iklim literasi yang kental, lalu lintas yang lumayan tertib dengan mudah saya dapatkan di kota-kota sebelumnya, meski juga ada kekurangannya sih. Tapi, Bekasi jauh dari perkiraan. Terutama kelangkaan ruang terbuka hijau dan lalu lintas yang semrawut. Saya jadi paham kenapa sempat kota ini di-bully habis-habisan. Ah, stop complaining!

Fase perubahan tiba-tiba terjadi di kehidupan saya berikutnya. Pertengahan November, tepatnya tanggal 14, saya akhirnya memutuskan resign dari perusahaan yang telah memberikan saya banyak pengalaman dan tentu materi. Bukan tanpa alasan sih sebenarnya, sejak saya memutuskan buat hijrah, untuk lebih mengambil Islam sebagai gaya hidup, tidak saja waktu shalat, puasa, atau ibadah ritual lain, tapi juga dalam hal fashion, pola pikir, dan sebagainya. Bahasa kerennya, Islam kaffah atau ber-Islam secara menyeluruh. Ini tentang ideologi, haha, berat! Maksudnya, budaya berprasangka, membicarakan orang lain di belakang yang bersangkutan, menghalalkan segala cara untuk menempati posisi tertentu dan menjaga gengsi, membuat saya risih. Meski dulunya, selama dua tahun belakangan dipercaya membangun tim dan kantor cabang saya sendiri, saya mencoba compromise. Tapi kali ini sangat sulit. Sangat! Sepulang kantor saya selalu mengeluh, kepikiran, beban, dan lainnya. Dan, tak ada pemegang jabatan atau kekuasaan di perusahaan itu yang sepaham dengan saya. Saya dianggap berbeda. Cepat atau lambat, saya sudah feeling kalau ini hanya akan jadi bom waktu.


Suami saya mendukung keputusan apapun yang terbaik. Meski konsekuensinya tentu, saya banyak kehilangan materi. Bahkan saya sempat rugi puluhan juta karena cashflow yang tak sesuai. Akhirnya saya berkesimpulan, sebanyak apapun materi dalam genggaman ketika cara dan lingkungannya agak meragukan, sebanyak itu pula genggaman itu kemudian kosong. Allah sudah merencanakan bahwa saya hanya berhak mendapatkan kesenangan berupa travelling ke banyak kota, Thailand, biaya pernikahan dari kantong sendiri, motor tanpa kredit, dan laptop. Itu hal primer yang saya rasa akhirnya cukup. Saya harus mengikhlaskan tabungan saya. "Jangan tangisi dunia!", pesan suami saya saat saya merasakan gesekan keikhlasan.


Di akhir tahun 2015, saya dikembalikan ke titik nol. Titik dimana lima tahun lalu saya merasakan hal yang sama. Idealisme dan realita selalu bersinggungan. Apa yang terjadi, maka terjadilah ketika Allah berkehendak^^ Tugas kita hanyalah menjalaninya dengan sebaik-baiknya. Mungkin, Allah punya maksud tertentu, suruh belajar kali yah, keluar dari zona nyaman! Dan kembali temui jati diri. Beruntung, saya bertemu Sekolah Raya, jejaring afiliasi yang membuat saya bergairah untuk menghidupkan mimpi saya di komunitas Insan Baca yang tengah mati suri sejak saya move dari Surabaya. Beruntung saya bertemu orang-orang dengan visi yang sama di Bekasi yang banyak jadi cibiran orang. Buka mata kalian, banyak orang-orang baik disini :)

Pada akhirnya, saya harus kembali memenuhi panggilan jiwa saya, passion. Menyisihkan ambisi intelektual. Kadang saya berpikir, untuk apa keilmuan saya ketika itu menjadi barang mewah untuk yang lain? Soal realita materi bagaimana? Saya percaya bakal mengikuti, asal kita mengupayakan keberdayaan dari ilmu yang kita punya. Ini kembali ke soal iman, percaya saja Allah yang akan menjamin rezeki tiap orang, bahkan seekor cacing atau burung atau bakteri.

Dan, saat saya kembali merenung dan mensyukuri setiap aktivitas saya sekarang, saya sadar kalau rutinitas kita yang sekarang hanyalah untuk menunggu. Menunggu apa? Menunggu mati. Sejatinya kita sedang mengantri, tapi entah nomor antrian keberapa. Banyak hal yang bisa dilakukan saat mengantri, jangan sampai membosankan. Semoga mengantri saya dan kalian adalah mengantri yang bermanfaat untuk bekal pulang. Bukan menakut-nakuti loh yah, saya sedang berusaha mengingatkan diri sendiri ataupun orang lain yang merasa diingatkan :)  


Refleksi Diri 2015

Prita HW

2 komentar:

  1. Menunggu mati.... dalam arti yang positif :D
    seperti kata siapa yah... sekali jaya, setelah itu mati.

    BalasHapus
    Balasan
    1. jalesveva jayamahe bukan, om? ~ngasal :D
      yap, we're never know the end, om...

      Hapus