Suatu siang
di teras yang lumayan menyejukkan, aku berbagi cerita dengan seorang bapak yang
ternyata juga udah lumayan makan asam garam kehidupan.
Sang bapak
adalah kepala sekolah sebuah sekolah dasar yang diperuntukkan bagi anak dhuafa,
yang ia dirikan bersama beberapa koleganya yang punya kekhawatiran sosial yang
sama. Tentu, semuanya dilakukan sukarela, sesekali si bapak ini juga mengajar
di beberapa tempat lain.
Sumber : twitter.com/masmono08/
Cerita
dimulai, saat aku berbagi, “Saya baru mengundurkan diri, pak. Sebelumnya saya
di manager marketing. Bidangnya periklanan. Saya beban, ternyata selama ini
waktu saya hampir habis semuanya tersita, cuma mengurusi soal target, 24 jam.
Pekerjaan sampai dibawa ke rumah, kepikiran... Lama-lama di sekeliling saya,
melakukan apapun, asal target terpenuhi”.
Tanpa
diduga, ternyata si bapak juga punya pengalaman yang serupa tapi tak sama,
“Saya juga dulunya pernah di manager HRD. Seharusnya ada anak yang saya coret
karena nggak lulus, tapi ternyata uangnya sudah diterima orang dalam. Lah, saya
kan nggak tahu menahu. Akhirnya, saya disuruh nyingkirin satu orang supaya yang
tadi saya coret itu bisa masuk. Wah, nggak bener pikir saya. Capek juga
lama-lama...”
Hm,
ternyata dunia kerja dimana mana sama, kesimpulan sementaraku berkata demikian.
Manusia sudah nggak peduli nilai. Jangankan nilai agama, mungkin beberapa
merasa terlalu tinggi atau terlalu dalam, atau terlalu ribet, atau entahlah
apa... Nilai moral saja sudah banyak orang lupa. Doktrinnya, don’t care others, go ahead. Kalau
dimaknai positif, bagus buat pengembangan diri, punya prinsip. Tapi praktiknya
lebih banyak negatif. Sampai aku ingat dulu, kalau di pekerjaanku yang lama,
rekan seprofesiku pernah bilang, “Ngapain sih Prit hal-hal yang nggak bikin
duit lo pikirin, sekarang apa yang jadi duit, dipikir, yang nggak jadi duit,
ngapain lo pusing..” Kata suamiku sih, itu sama saja dengan pengikraran.
Aku
berseloroh lagi, “Saya juga beban, Pak, masa duit cash nggak saya pegang, tapi saya ngakunya pegang di depan orang-orang.
Duit kita disimpen head office, di-saving sih katanya. Tapi kan saya beban,
pak. Membohongi diri sendiri dan juga yang lain. Makan jabatan. Saya cuma boleh
ambil berapa kalau butuh...”
“Udah bener
kamu keluar. Itu namanya pembohongan. Sekarang kita cari berkahnya aja. Makanya
sekarang saya milih ngajar..”, komentar si bapak menanggapi curhatanku.
Aku
bernafas lega. Bersyukur ternyata aku tak sendirian. Berjalan di jalur yang
benar saja menurut nilai yang kita anut, sekarang sedikit banyak sudah bisa
dikatakan sebagai jalan sunyi. Lah, sebenarnya kita ini mau kemana? Aku
garuk-garuk kepala meski tak gatal.
Obrolan
siang itu singkat, tapi bermakna dalam bagiku. Aku memulai babak baru
kehidupanku. Pertolongan Allah akan selalu ada, itu namanya iman. Mempercayai
apa yang tidak kelihatan. “Inshaallah kalau udah nikah mah, rejeki pasti ada, “
tutup si bapak meyakinkan saat aku berpamitan pulang. Ya, aku mengimani itu.
Tadi pagi
ini, suamiku bilang di tengah-tengah diskusi kami tentang macam-macam. “Kan
memang dibilang, jangan letakkan dunia di hati, tapi letakkan di tangan.”
Ya A’, semoga Allah selalu membimbing langkah
kita. Meski terjal, berbatu, atau kadang membuat kaki berdarah, tak apa, asal
kita selalu bersama dan Allah menjaga kita. (‘thil.22.12.15)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar