Ini ceritanya persahabatan yang abadi, pak…”. hatiku berdesir saat mendengar Pak Iman menceritakan kekerabatan kami pada seorang temannya yang lain.
Aku
memanggil memori sepuluh tahun silam dalam otakku. ‘Folder’ nya masih
cukup rapi ternyata. Waktu itu aku adalah seorang ABG kelas 3 di sebuah
SMPN Jember. Dan Pak Iman adalah seorang guru, masih persis seperti
sekarang. Meski sebentar lagi beliau akan memasuki masa pensiunnya. Dari
dinas tentunya, bukan pensiun dari berkarya, seperti yang rutin
dilakukannya.
Seperti seorang murid dan guru. Seperti bapak dan
anak. Namun sekaligus juga seperti sahabat. Iman Suligi, begitu nama
lengkapnya. Beliau bukan guru di sekolahku. Aku mengenalnya saat beliau
berkesempatan menjadi seorang juri lomba menulis bagi siswa SMP
se-Jember. Lumrah bagi seorang juri, ketika berkenalan, memberikan no HP
nya pada peserta yang hadir. Waktu itu, Pak Iman mencatatkan no HP nya
di papan tulis ruangan lomba.
Aku yang memang sangat enjoy
menemukan kenalan baru, buru-buru mencatat nomor kontak itu di blocknote
ku. Siapa tahu lain kali butuh bantuan. Begitu pikirku dalam hati.
Benar
saja, menginjak SMA, aku makin rajin mengikuti berbagai macam lomba
menulis. Seingatku, sebulan sekali pasti ada saja lomba yang kuikuti.
Lomba menulis yang paling berkesan adalah karya tulis ilmiahku yang
pertama, antar siswa SMA se-Jawa Timur, dan langsung jadi finalis (ehm
!). Temanya tentang perikanan, karena yang mengadakan adalah mahasiswa
Fakultas Perikanan. Jadilah aku yang lebih suka mata pelajaran sosial,
mengambil topik Sosial Ekonomi Masyarakat Perikanan. Yah, mungkin itu
yang sedikit nyambung !
Minta bantuan ke siapa yah selain guru Bahasa Indonesiaku ?
Aha !
Pak
Iman hadir dalam pikirku. Langsung aku telpon, dan janjian. Seketika
itu juga, Pak Iman sibuk memilih-milihkan referensi tentang kelautan.
Sangat telaten. Mungkin karena naluri jiwanya sebagai penyedia
informasi. Ya, beliau menjadi ‘pelayan’ informasi melalui perpustakaan
pribadinya yang juga sering menjadi tempat anak-anak kampung untuk
membaca, menggambar, atau sekedar bermain.
Lama-lama, hal ini
berlangsung seperti sebuah kebiasaan. Pak Iman begitu banyak
menginspirasiku dengan karya-karyanya. Kecintaannya pada sastra,
dituangkannya dalam puisi-puisi dan karya seni rupa. Puisinya kerap
terpajang di rak-rak buku kayu yang berjajar rapi di Perpustakaan Kota
Jember, tempat dimana aku sering menghabiskan akhir mingguku.
Sampai
aku lulus SMA, aku terus menjalin komunikasi dengan bapak yang kini
rambut putihnya lebih banyak dari rambut hitamnya itu. Memilih jurusan
untuk kuliah pun, aku juga minta saran dan nasehat beliau. Meski aku
berkuliah di Surabaya, selalu kusempatkan sowan ketika aku pulang
kampung. Dan setiap itu pula, kami saling bertukar cerita tentang
aktivitas masing-masing.
Tentang kuliahku. Tentang organisasi
yang aku ikuti. Tentang buku. Tentang impian mengembangkan
perpustakaannya. Juga tentang keluarga tentunya. Tak jarang kami sering
membicarakan apa yang menjadi impian kami masing-masing.
Sampai
facebook mempertemukan kami kembali, dan membuat komunikasi kami makin
intens. Bapak yang usianya kurang lebih sama dengan orang tuaku ini
memang gaul. Usia bukan berarti menjadi penghalang untuk terus mengikuti
perkembangan zaman dan kekiniannya, contohnya ya facebook ini.
**
5 Juli 2010. pukul 20.00.
“Rasanya
ini seperti mimpi. Thanks to many old friends. Jam segini biasanya
saya sudah tidur ditemani suara jangkrik. Tapi, kali ini semua sahabat
dan masyarakat hadiri disini. Banyak sahabat datang… Ada Prita dari
komunitas Insan Baca Surabaya…”, beliau sedang bediri di depan kami semua, para undangan.
Malam
itu aku telah menjadi saksi hidup diresmikannya Kampung Baca di sebuah
sudut kota Jember. Di kampung itulah Perpustakaan Penabur Hikmah milik
beliau berdiri dengan kesederhanaan dan kehangatan yang dimilikinya. Aku
terharu juga mendengar namaku disebut pertama kali. Rasanya, arti
sebuah persahabatan begitu terasa saat kita bisa menemani detik-detik
penting sahabat kita itu. Momen yang berharga.
Selama sepuluh
tahun persahabatanku, kami telah saling berbagi ruang intelektualitas
yang selalu hidup. Nyata. Tak pernah ada basa basi disana. Hadiah-hadiah
berupa buku seolah telah menjadi saksi bisu persahabatan kami. Bukan
saja karena hati kami yang sama-sama tertambat di perpustakaan, tapi
karena Pak Iman selalu memberikan buku-buku untuk kubawa pulang. Aku
masih ingat, dua buku yang diberikan kali pertama untukku. Di sampul
depannya tertulis : Untuk Ananda Prita…
Dan baru
kusadari, aku baru memberinya sebuah buku untuk pertama kalinya, tepat
sebelum acara launching Kampung Baca tertanggal 5 Juli 2010 itu dimulai.
Dengan bangga, kutorehkan goresan tinta berbunyi : For Pak Iman, Perpustakaan Penabur Hikmah, it’s amazing…
Yang
membuatku bangga, buku itu adalah hasil karya pertamaku yang berhasil
diterbitkan, meski dalam bingkai antologi. Anakmu ini sedang berusaha
memindahkan impian ke alam nyata, pak… Menerapkan ilmu-ilmu yang telah
kau bagi… Hingga bisa menjadi seorang penulis, meski jalan itu masih
sangat panjang. Matur nuwun.
Benar katamu, persahabatan ini memang abadi.
9 Juli 2010
For Pak Iman
untuk persahabatan kita.
For Pak Iman
untuk persahabatan kita.
Tulisan ada di antologi Selaksa Makna Cinta, 2010
Hahaha,maksudnya mau komen di post yg lain yah,okkk,thanks for reading yahh, baru tau kl ada komen,warning utk aktif ngeblog ne!
BalasHapus