Perpustakaan Ideal : Mendukung Proses Demokrasi, Mungkinkah ?

::Dimuat di Majalah Visi Pustaka, Perpustakaan Nasional RI, edisi Agustus 2010::





Abstrak  
Perpustakaan di era kekinian dimana kehidupan demokrasi semakin menggejala sudah semestinya memiliki tuntutan yang lebih dalam segala hal. Perpustakaan seharusnya dapat menjadi perpustakaan ideal bagi semua lapisan masyarakat, bukan saja masyarakat penggunanya. Perpustakaan umum yang ada di setiap daerah dapat mengambil peran dalam hal ini. Mengapa ? Karena ia memungkinkan untuk diakses oleh masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut. Berbeda dengan perpustakaan nasional yang berada di satu titik saja. Peran perpustakaan yang sudah menjalankan fungsi-fungsi utamanya (menghimpun dan mengelola informasi) sudah harus dikuasai dengan baik. Kini, perpustakaan dapat mengambil peran menjadi penyedia akses setara dalam hal pengetahuan dan ide-ide setiap individu sebagai seorang warga negara, serta dapat ‘mendemokratisasi’ pengetahuan yang dimiliki.  
Kata kunci : perpustakaan ideal, demokrasi, warga negara  

Pendahuluan

Peradaban manusia dari zaman ke zaman membawa perubahan yang terus bergulir hingga saat ini. Ilmu pengetahuan yang membutuhkan wadah untuk berkembang dan disampaikan kepada orang lain mengawali kemunculan berbagai jenis media yang kian lama kian membanjiri kehidupan manusia. Dari sinilah kemudian cikal bakal perpustakaan lahir. Dibutuhkan pengelolaan yang kian kompleks atas berbagai media rekam pengetahuan. Namun, seiring dinamisnya dunia global dewasa ini, peran perpustakaan juga menemukan tantangannya. Perpustakaan dituntut memiliki peran lebih untuk mengimbangi kebutuhan informasi masyarakat luas, tidak hanya masyarakat penggunanya.

Ditambah lagi, penyediaan jumlah perpustakaan di Indonesia sendiri masih amat kurang dibandingkan dengan jumlah penduduk yang lebih dari 220 juta jiwa. Data tahun 1999 menyebutkan bahwasanya di Indonesia terdapat 1 (satu) perpustakaan nasional, 2.583 perpustakaan umum, 117.000 perpustakaan sekolah dengan total koleksi 106 juta buku, 798 perpustakaan universitas, dan 326 perpustakaan khusus. (http://duamata.blogspot.com).

Perpustakaan yang dapat diakses masyarakat secara luas adalah perpustakaan nasional dan perpustakaan umum. Perpustakaan nasional yang merupakan Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) dan menaungi perpustakaan propinsi dan daerah memang berkedudukan di ibukota negara sesuai yang tertera dalam Pasal 21 UU tentang Perpustakaan No. 43/2007. Praktis, perpustakaan nasional tidak serta merta dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat Indonesia yang tersebar dari Sabang sampai Merauke.

Karena itu, seharusnya perpustakaan umum yang ada di tingkat kabupaten/kota atau lingkup yang lebih kecil dapat menjadi perpustakaan ideal bagi masyarakat lokalnya. Kebutuhan informasi lokal dan dinamika yang terjadi di sekitar masyarakat lokal patut menjadi perhatian. Tidak saja kampanye gerakan meningkatkan minat baca dan sebagainya, esensi sebuah perpustakaan lebih dari sekedar itu, malah bisa menjadi alat kontrol terhadap pemerintahan yang sedang berlangsung. Menyongsong itu semua, keberadaan perpustakaan ideal di tingkat lokal juga harus ditingkatkan kapasitasnya sehingga tidak saja menjadi tempat mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan, namun juga bisa menjadi representasi pemerintah lokal dalam upaya mensosialisasikan kebijakan-kebijakan dalam mendukung proses demokrasi yang sedang berlangsung.  

Perpustakaan Ideal
            
Berbicara tentang perpustakaan ideal tentu sangat relatif. Ya, ideal menurut sudut pandang siapa. Bagi saya, perpustakaan ideal tentu menurut apa yang saya impikan. Perkembangan dunia informasi dan teknologi komunikasi telah membawa hawa baru bagi dunia perpustakaan kita. Menjalankan fungsi-fungsi utama perpustakaan seperti menghimpun informasi (mencari, menyeleksi, dan memenuhi perpustakaan dengan koleksi yang memadai disesuaikan dengan kebijakan organisasi, ketersediaan dana, dan keinginan pengguna serta mutakhir), mengelola informasi (melakukan proses pengolahan, penyusunan, penyimpanan, pengemasan agar tersusun rapi dan memiliki sistem temu balik yang memadai, juga termasuk upaya preservasi dan pelestarian bahan pustaka), dan memberdayakan serta memberikan layanan optimal (promosi, publikasi, dan sosialisasi pada masyarakat luas) belumlah cukup dikatakan ideal.          

Fungsi-fungsi utama seperti itu sudah seharusnya dikuasai dengan sangat baik oleh perpustakaan, tentu dengan dukungan Sumber Daya Manusia (SDM) yang unggul dan siap menghadapi perubahan. Kategori perpustakaan ideal adalah yang mampu menciptakan inovasi baru di tengah arus perubahan yang terjadi. Bukan saja perubahan zaman yang terus berjalan tanpa ampun, namun juga perubahan nilai informasi dan perilaku para pencari informasi itu sendiri. Perpustakaan ideal bukan saja terus meningkatkan layanan primanya, namun juga mampu menjadi fasilitator informasi bagi masyarakat. Masyarakat disini dalam artian masyarakat luas, bukan saja masyarakat penggunanya.

Perpustakaan Umum

Menurut UU tentang Perpustakaan No. 43/2007, Pasal 22, perpustakaan umum diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, kecamatan, dan desa, serta dapat diselenggarakan oleh masyarakat. Perpustakaan umum seharusnya dapat menjadi perpustakaan ideal idaman masyarakat lokal. Perpustakaan dapat berperan sebagai pemenuhan kebutuhan informasi warga seperti hal-hal yang berkaitan dengan wacana budaya masyarakat setempat, sampai pada melayani pemerintah setempat, juga sebagai kontrol publik atas pemerintahan yang sedang berkuasa di wilayah setempat, sampai pada memfasilitasi partisipasi politik masyarakat setempat.  

Indonesia Negara Demokrasi

Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut. Indonesia merupakan salah satu negara demokrasi terbesar di dunia. Peristiwa besar di tahun 1998 telah menciptakan berbagai perubahan yang signifikan dalam kehidupan bernegara kita, mulai dari sistem multi partai dan pemilihan umum secara langsung, kebebasan berekspresi secara terbuka, berasosiasi, sampai kebebasan memperoleh informasi. Ironisnya, dengan segala proses perubahan yang terjadi, terjadi pula defisit tentang esensi demokrasi dalam masyarakat kita, yaitu animo dan partisipasi masyarakat yang sangat minim dalam pemilihan umum (yang notabene merupakan pesta demokrasi terbesar negeri ini), politisi yang memiliki komitmen jangka pendek dalam melaksanakan agenda-agenda kerjanya, serta representasi politik yang tidak berlangsung dengan baik.  

Demokrasi dan Peran Perpustakaan

Peran perpustakaan dalam mendukung proses demokrasi menjadi sangat penting. Diantaranya, perpustakaan dapat menjadi penyedia akses yang setara dalam hal pengetahuan dan ide-ide setiap individu sebagai seorang warga negara, perpustakaan seharusnya juga dapat ‘mendemokratisasi’ pengetahuan, dan dalam masyarakat demokrasi, perpustakaan seharusnya berfungsi sebagai pusat pengetahuan bagi semua, bukan bagi kalangan tertentu saja seperti halnya kalangan elit dan para birokrat.

Secara universal, peran perpustakaan dalam upaya mendukung demokrasi adalah memastikan bahwa setiap warga negara memahami hak-haknya sebagai warga negara, sehingga pada akhirnya para warga negara yang terinformasi tersebut dapat terstimulasi untuk melakukan kegiatan mengorganisasi, serta mengembangkan pengetahuan dan kemampuan yang dimilikinya.          

Perpustakaan Ideal dan Masyarakat

Seperti dikatakan sebelumnya, perpustakaan umum merupakan jenis perpustakaan yang bisa diakses masyarakat secara luas, karena letaknya yang potensial di tengah-tengah masyarakat lokal, baik itu di tingkat propinsi, kabupaten/kota, kecamatan, dan desa. Namun, menurut saya, perpustakaan ideal minimal harus dimiliki oleh setiap kabupaten/kota. Mengapa ? Ya, karena perpustakaan di tingkat propinsi juga tidak bisa digeneralisasi sebagai kebanggaan semua kabupaten/kota yang ada dalam wilayahnya. Begitu pula dengan lingkup kecamatan atau desa yang terbatas hanya pada masyarakat setempat. Perpustakaan ideal yang ada di setiap kabupaten/kota bisa dinikmati oleh semua masyarakat dalam wilayah tersebut dan tentu bisa menjadi icon baru kebanggaan kota layaknya sebuah tempat wisata maupun pusat perbelanjaan.            

Bayangkan saja, bila setiap orang selalu bercerita tentang perpustakaan kebanggaannya yang ada di kabupaten/kota asalnya maupun tempat domisilinya, betapa itu menjadi apresiasi tersendiri. Namun sebelum kita melihat geliat itu, tentu dibutuhkan perjuangan melalui upaya-upaya aplikatif. Berkaitan dengan pemenuhan masyarakat lokal (kabupaten/kota), perpustakaan lebih dulu harus melakukan segmentasi terhadap masyarakat di wilayahnya, misalnya dengan segmentasi usia yang umum dipakai (anak-anak, remaja, dan dewasa). Dengan begitu, masing-masing akan merasa nyaman karena kebutuhan informasinya diperhatikan dengan terlebih dahulu memberikan ruang baginya untuk mendapatkan informasi sebaik mungkin. Ini secara tidak langsung dapat meminimalisasi kesenjangan atau jarak antara perpustakaan dan masyarakat.            

Banyaknya fakta-fakta yang terus diungkapkan menyoal minat baca masyarakat yang rendah dapat menjadi doktrin yang berubah menjadi sihir untuk menganggapnya suatu kebenaran mutlak selama-lamanya. Padahal tidak demikian adanya. Minat baca masyarakat tidak benar-benar rendah, memang diperlukan upaya ekstra untuk sedikit demi sedikit mengalihkan animo masyarakat yang sangat gandrung dengan budaya lisan menuju budaya baca. Ya, membaca perlu disederhanakan menjadi aktivitas ringan yang menyenangkan. Membaca apapun. Membaca papan nama jalan, baliho, spanduk, plat nomor kendaraan, petunjuk jalan. Membaca selebaran, booklet, koran, majalah, tabloid, sampai buku. Juga membaca pesan masuk SMS, MMS, email, status dan komentar di situs jaringan pertemanan, mulai friendster, facebook, dan twitter, bahkan membaca tulisan di mailing list, blog, websites hasil penelusuran mesin pencari Google maupun e-newspaper dan e-book. Membaca sangatlah menyenangkan dan beragam, aktivitas itupun sangat lekat dengan kehidupan kita sehari-hari.

Oleh karena itu, sudah selayaknya bila perpustakaan ideal dapat memberikan pelayanan terbaiknya kepada semua kalangan. Seperti yang dicontohkan Binny Buchori saat menyampaikan makalahnya dalam Seminar “Libraries and Democracy”, perpustakaan seharusnya dapat memenuhi kebutuhan dari para ibu rumah tangga yang ingin belajar Bahasa Inggris, polisi yang ingin menemukan referensi tentang isu-isu hukum yang sedang ditanganinya, buruh atau karyawan yang ingin mengetahui hak-hak tenaga kerja, perawat yang ingin meningkatkan pengetahuannya, maupun lembaga penelitian yang ingin mencari literatur studi termutakhir. Dan inilah kenyataan yang sebenarnya, masyarakat kita sangat beragam dan tentu membutuhkan penanganan yang profesional, bukan sekedar disuguhi buku dengan segala fasilitasnya, lalu bingung dan tidak bisa menemukannya. Keidealan tidak hanya dilihat dari standar sarana prasarana, koleksi, kemegahan gedung bangunan, dan fasilitas fisik lainnya. Pelayanan dan kemutakhiran paradigma dan pengetahuan SDM adalah ruhnya. Tentu dengan dukungan para stakeholder yang kompeten.  

Perpustakaan Ideal dan Demokrasi             

Dalam upaya mendukung demokrasi, perpustakaan memiliki fungsi-fungsi utama yang sedikit berbeda dengan fungsi utama perpustakaan dalam paradigma konvensional (Hermann Rosch, 2009), yaitu :

1)      Fungsi edukasi
2)      Fungsi sosial
3)      Fungsi politik
4)      Fungsi informasi

Fungsi edukasi mencakup pendidikan secara umum, pelatihan industri, serta literasi dan literasi informasi. Pendidikan secara umum dapat disamakan dengan maksud yang tertera dalam UU tentang perpustakaan, yaitu dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Tentu, karena sumber ilmu pengetahuan adalah bahan bacaan. Pelatihan yang fokus pada bidang keprofesian memainkan peran perpustakaan sebagai konsultan karir. Seperti yang dilakukan oleh Special Library, sebuah perpustakaan digital khusus menangani para profesional guna mendukung efisiensi kerja mereka. Sedangkan literasi dan literasi informasi merujuk pada paradigma baru perpustakaan untuk menjadi pusat pembelajaran seumur hidup.

Fungsi sosial mencakup dukungan terhadap kaum minoritas, dan emansipasi strata sosial yang terpinggirkan. Perpustakaan harus mampu menjaga dan melestarikan identitas budaya kaum minoritas dan membantu mereka menemukan keseimbangan antara keragaman budaya dan inklusi sosial. Sedangkan dalam ranah emansipasi strata sosial, perpustakaan juga selayaknya dapat mengorganisasikan kelompok sosial yang satu dengan yang lain agar tercipta kesempatan sosial pada strata sosial yang terpinggirkan.

Fungsi politik mencakup penyediaan informasi yang tidak bias, mendukung kampanye mendorong partisipasi politik, mendukung transparansi dan anti korupsi, menyongsong e-government dan e-democracy, serta memelihara warisan budaya dan sejarah nasional. Memang dalam budaya masyarakat kita saat ini, rentan sekali bersinggungan dengan dunia politik, takut dianggap berpihak atau memiliki suatu tendensi tertentu. Namun, kita harus banyak belajar pada negara maju yang telah selangkah lebih maju melakukan ini pada perpustakaannya. Idealnya, perpustakaan harus mampu menyediakan informasi yang tidak bias dan memiliki garansi keamanan dari berbagai pluralisme opini yang terbentuk. Dalam mendukung partisipasi politik, perpustakaan juga seharusnya menjadi fasilitator warga negara agar semua partisipan, baik peserta maupun pemilih dapat terinformasi dengan baik. Dalam upaya mendukung kampanye anti korupsi, tranparansi, perpustakaan ideal seharusnya mendukung Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk membuka pusat konseling dalam rangka memberikan informasi kepada masyarakat atas banyaknya pemberitaan kontroversial yang mereka terima secara terbuka di media.

Fungsi informasi mencakup kebebasan mengakses informasi, demokratisasi informasi ilmiah, koneksi pada dunia informasi global, dan kebutuhan pengorganisasian oleh perpustakaan. Kebebasan mengakses informasi sendiri mengacu pada Universal Declaration of Human Rights yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak untuk berpendapat dan berekspresi. Hak ini mencakup kebebasan memegang teguh pendapat tanpa intervensi dan terus mencari, menerima, dan memberi informasi dan ide-ide melalui media tanpa menghiraukan batas-batas.”. Sementara demokratisasi informasi ilmiah adalah menyediakan informasi ilmiah sebaik-baiknya, sedangkan koneksi pada dunia informasi global adalah menyediakan akses seluas-luasnya, dan kebutuhan pengorganisasian seharusnya dilakukan perpustakaan dalam rangka mengembangkan jaringan sosial dan membangun sistem melalui berbagai kerjasama yang saling menguntungkan semua pihak.  

Penutup

Mengaplikasikan harapan tentang perpustakaan ideal tentu tidak semudah membayangkannya. Anggapan yang mengatakan bahwa kita sebagai negara berkembang sulit menuju hal tersebut, harus pelan-pelan dipatahkan. Bukankah negara-negara maju seperti Amerika, Jerman, Australia, Singapura yang sudah menciptakan sinergitas antar perpustakaan dan pemerintah lewat program-program kampanye yang komprehensif, semisal kampanye nasional seminggu sekali, juga berawal dari metamorfosa negara berkembang ? Tidak ada yang tidak mungkin jika kita mau mengupayakan kemampuan terbaik kita.            

Sinergitas antara perpustakaan, semua elemen masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, dan pemerintah perlu untuk dilakukan dan mengupayakan paradigma baru perpustakaan agar dapat menjadi perpustakaan ideal sebagai pendukung proses demokrasi yang adil di negara kita tercinta ini.  

Referensi

Buchori, Binny, “New Challenges for Indonesian Libraries in the Era of Democratisation” dalam Seminar Libraries and Democracy, 17 Juni 2009, Universitas Kristen Petra Surabaya.

http://www.citylibrary.org.au/.http://pritahw.multiply.com/indonesian_library_user_policy.php http://www.files.pnri.go.id/UU_43_PDF/ 
http://www.nlb.gov.sg/ http://www.pustakawan-kalbar.blogspot.com/ http://www.wikipedia.com/  

Husain, Ahmad, “ "Menjajakan" Citra Perpustakaan Nasional dan Pengembangan Layanan Bagi Khalayak”, http://duamata.blogspot.com/2006/08/menjajakan-citra-perpustakaan-nasional.html  

NS, Sutarno, Manajemen Perpustakaan : Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta :  Samitra Media Utama, 2004.  
Rosch, Hermann, “The Role of Libraries in Democratic Societies” dalam Seminar Libraries and Democracy, 17 Juni 2009, Universitas Kristen Petra Surabaya.  

Wijayanti, Prita Hendriana, Skripsi “Persepsi Pengguna terhadap Strategi Pemasaran Klasik dan Strategi Pemasaran Gerilya (Studi Komparasi di Perpustakaan WALHI Jawa Timur) atas Variabel Brand Image, Packaging Produk Informasi, Manajemen Tata Ruang, dan Taktik Pemasaran”, Universitas Airlangga Surabaya, 2008.      

Prita HW

Tidak ada komentar:

Posting Komentar