Pukul 10 pagi, lalu lintas jalan-jalan kota Surabaya
seperti biasa, masih ramai meski tak terlalu sesak. Pagi itu saya
ditemani suami tercinta yang selalu setia mengawal aktivitas saya,
berangkat dari lokasi rumah kami di Rungkut, terus menyusuri kota Surabaya, melintasi Gresik, menuju Lamongan.
Lamongan
terkenal dengan masakan khasnya seperti soto dan tahu campur. Hmm, tak
bisa dipungkiri, niat melahap salah satu masakan khas ini selalu saja
hadir saat kita ada di kota yang hanya 1,5 jam perjalanan dari Surabaya. Alhasil, saya dan suami mampir di depot terkenal spesialis soto lamongan.
Selesai
memenuhi perut, kami pun melanjutkan perjalanan ke Desa Ngangkrik,
tempat salah seorang teman tinggal. Tapi sebelumnya, kami masih mampir
di warnet yang tak jauh dari tempat kami makan.
Selepas maghrib, Desa Ngangkrik adalah tujuan terakhir malam itu. Desa yang satu ini letaknya memang di tengah kota
Lamongan. Namun, jalan masuk sampai ke perkampungan tujuan saya, sempat
membuat motor kami sedikit terseok-seok. Ya, jalan yang saya lewati
memang belum terpoles aspal, masih asli warna tanah, yaitu coklat, dan
sedikit berbatu. Jalannya pun sempit, hanya cukup satu mobil. Yang cukup
sedikit menegangkan, jalanan belum banyak diterangi sinar lampu dan di
kanan kiri jalan hampir semuanya tambak, sungai, dan sesekali sawah.
Wah, dimana ya perkampungannya ? gumam saya sedikit khawatir. Setelah
dua kali nyasar, sedikit tanya-tanya, dan menelpon teman yang rumahnya
akan saya singgahi, akhirnya sampai juga.
Malam
ini saya sudah ditunggu banyak anak muda yang sudah berkumpul di
halaman sekolahan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau setingkat SD. Saya
memang diundang oleh konco-konco muda Karang Taruna Ngangkrik untuk sedikit berbagi dan berdiskusi selepas acara nonton film bareng. Beberapa konco
Ngangkrik memang sudah berelasi dengan organisasi lingkungan tempat
saya beraktivitas, bahkan beberapa dari mereka sudah mengikuti pelatihan
Green Student Environmentalist (GSE).
Keramahan dan totalitas konco
muda Ngangkrik menyiapkan semuanya cukup mampu membuat saya tak begitu
mempedulikan rasa lelah yang mulai merayu untuk sedikit rebahan.
Pukul 20.30 acara nonton film pun dimulai. The Turtle World menjadi
pembuka. Mengisahkan punggung kura-kura yang diibaratkan bumi, yang
pada awalnya banyak dipenuhi tumbuh-tumbuhan, diberkahi hamparan gunung,
dan keanekaragaman hayati yang lainnya. Namun, ulah sekelompok manusia
yang terus berkembang biak-ditokohkan secara pantomim oleh kumpulan kera
kartun 3D-membuat bumi semakin tersakiti. Film yang cukup kocak,
ringan, tapi penuh makna ini ingin mengkampanyekan bahwa bumi tidak
cukup untuk memenuhi keserakahan manusia. Keserakahan disini digambarkan
dengan pembangunan yang berlebihan dan sikap tidak puas dengan apa yang
sudah dimiliki.
Bisa ditebak, akhirnya bumi pun tak sanggup menahan derita, hingga harus tenggelam dan tamat.
Apakah kita akan bernasib sama ? Tergantung upaya dari para penduduk buminya…
Acara
belum usai. Tambak Sidoarjo : Dari Kegagalan Menuju Ke Tambak Organik
jadi film kedua yang jadi pusat perhatian kami. Durasi film sepanjang
22:15 menit cukup membuat konco muda Ngangkrik dan
beberapa bapak tokoh masyarakat yang ikut nonton, menikmatinya. Film ini
memang sangat cocok dengan kondisi Desa Ngangkrik sendiri, potensi
tambak begitu ditonjolkan.
Diceritakan
bahwa dulunya tambak sidoarjo mengalami kegagalan. Sebab para petani
tambak sangat tergantung dengan pakan ternak pabrik, padahal itu tak
sepenuhnya sesuai untuk pertumbuhan udangnya. Seringkali sisa pakan
ternak pabrik malah membuat udang mati. Ini karena masih ada bahan kimia
pabrik yang dikandungnya.
Dari
sini, banyak petani tambak yang memutar otak. Salah satu petani tambak
sukses di Sidoarjo, Ali Ridho Group, berbagi kisah suksesnya. Kegagalan
itu dijadikan pijakan untuk meraih sukses. Tambak organik adalah
jawabannya. Ganggang yang tumbuh di sekitar tambak dijadikan pakan
alami, dan tenaga manusia sangat berperan penting dalam proses
keberhasilan tambak. Kearifan tradisional, seperti kebiasaan berbagi
saat panen, atau memanen rama-rame juga menjadi salah satu kunci sukses.
Hasilnya, usaha tambak udang pun maju pesat dan mampu menjadi sandaran
ekonomi keluarga.
Kalau begitu, bagaimana di Desa Ngangkrik sendiri yah ?
Ternyata dari proses diskusi yang berjalan, banyak juga komentar yang dilontarkan.
Mulai dari besarnya udang yang tidak sama di Sidoarjo dan di Ngangkrik, juga beberapa kebiasaan desa yang hampir sama. Semuanya terlontar dari proses memilih satu kata yang paling memanggil dari teks lagu Ungu ‘Tercipta Untukmu’ yang kami nyayikan bersama untuk memecah keheningan malam.
Selanjutnya,
saya pun berbagi cerita soal berpikir kritis dan beraksi lokal. Saya
mengawali dengan memberikan pertanyaan “Apa yang bisa kita lakukan ?”.
Pertanyaan ini pun membuat banyak cerita terungkap. Salah satunya dari
Anis, cewek manis Ngangkrik yang sekarang bekerja ini bercerita tentang
apa saja yang sudah dilakukan kawan-kawan Karang Taruna-nya, mulai dari
ikut pelatihan GSE, peringatan hari bumi dengan menanam pohon dan bagi
bibit di lingkungan desa. Ia juga bercerita tentang minimnya tempat
sampah di desa, sehingga masih banyak sampah yang dibuang sembarangan.
Purwanto, teman saya yang berkuliah di Surabaya
tapi asli Ngangkrik ini-yang rumahnya akan saya tumpangi- juga
menambahkan, “Dulu, kami juga sempat menerbitkan buletin Karang Hijau,
tapi tidak bisa eksis,” Wah, semangat sekali yah konco-konco ini…
Saya
menyebutkan bahwa upaya yang sudah dilakukan meskipun awalnya kecil,
jika konsisten dan dilakukan secara kontinyu juga bisa berdampak besar.
Yang terpenting adalah bagaimana memupuk pola berpikir kritis, dimulai
dengan mengamati situasi di sekitar kita, ada ga yang
membuat resah ? Kedua, tuliskan uneg-uneg ataupun ide yang bisa
terbersit setiap saat, dan diskusikan dengan kawan komunitas di sekitar
kita, entah itu di sekolah, kampus, atau kampung. Selanjutnya, kita bisa
membuat rencana untuk beraksi lokal. Sip lah !
Ikan
bakar jenis bandeng yang langsung diambil dari tambak menjadi santapan
penutup acara malam itu. Hmm, bau ikan bakarnya benar-benar harum.
Karena sudah ngantuk, saya pun langsung dipersilahkan istirahat di rumah
Pur yang tergolong sangat sederhana. Maklum, rumahnya juga sedang
mengalami renovasi, tak heran bila ibunya berkali-kali bilang, “Ga malu
apa main kesini, rumahnya orang desa…” hehehe…saya hanya tertawa
terkekeh dan bilang kalau saya sudah biasa kok kemana-mana.
Mau tahu kamar menginap saya yang begitu bersahaja ? Saya sangat terkesan dengan kesederhanaannya.
Pagi
menjelang, pukul 6. Saya harus segera pulang, masih ditemani suami dan
juga Pur yang berencana balik bareng. Senang bertemu suasana Desa
Ngangkrik yang begitu alami. Saya pun menghirup udara bersih yang jarang
saya dapatkan di Surabaya dalam-dalam.
Kalau
saja semua orang tahu bagaimana alam begitu memberikan kehidupan bagi
penduduknya, tentu tidak akan ada orang-orang serakah yang mendirikan
industri tanpa memperhatikan sosio culture desa… Tentu tak akan ada Lumpur Lapindo di Sidoarjo, penambangan oleh Freeport, juga pembuangan tailing di Buyat, atau yang lainnya… Kita belum terlambat untuk belajar menghargai alam seperti halnya masyarakat adat menjaga desanya.
ditulis 29-30 Juni 2008, cerita di atas yang dimaksud suami adalah mantan suami saat ini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar