
Peradaban dunia yang telah bergerak semakin modern dewasa ini merupakan hasil peradaban manusia di dalamnya yang terus berkarya dari zaman ke zaman secara berkesinambungan. Begitu pula dengan kemunculan buku, maha karya anak manusia yang tak lekang oleh zaman, yang hingga saat ini masih diakui peranannya sebagai sarana mengembangkan ilmu pengetahuan, wawasan serta sarana perekam peristiwa bumi yang terus berlangsung.
Esensi Penting Sebuah Buku
Buku
yang secara fisik dapat didefinisikan sebagai kumpulan kertas yang
terangkum menjadi satu bagian ini tidak dipungkiri lagi merupakan
sesuatu yang sangat penting dari masa ke masa, begitu pula bagi
perkembangan manusia. Mengapa disebut penting ? Banyak orang yang
mengatakan buku adalah jendela dunia dan jendela pengetahuan, karena
berawal dari buku-lah awal pembukaan cakrawala berpikir untuk masuk ke
dunia yang lebih kaya dan lebih luas. Disebut jendela dunia, sebab hanya
dengan duduk ditemani sebuah buku dan secangkir teh manis kita bisa
menjelajah dunia kemanapun kita mau, bahkan yang belum pernah kita
kunjungi secara fisik pun, dan tentu saja hal ini meminimalisasi batasan
ruang dan waktu.
Diantara
beragam kecerdasan yang dikenal dalam psikologi, seperti kecerdasan
bahasa, logika, visual, auditoris, kinestetis, komunikasi verbal,
spiritualitas, dan yang lain, kesemuanya dapat dirangkum, dimunculkan,
ditumbuhkan, dikembangkan, sekaligus direkam oleh buku. ( Budi Susilo,
Gunawan : Buku dan Budaya Membaca : Indonesia yang tertunda )
Meski
arus global yang banyak memasukkan unsur teknologi saat ini sedang
menggema di mana-mana, sebuah buku yang secara awam terkesan manual
karena masih dianggap paper-based, tetap tidak akan kalah
pamor. Hal tersebut dikarenakan sebuah proses pembelajaran yang panjang
sepanjang masa tidak akan pernah lepas dari kegiatan membaca yang di
dalamnya sangat kental melibatkan peran buku. Sejarah telah bertutur
bahwa di masa lampau, nenek moyang kita dengan sungguh-sungguh
menyempatkan diri untuk menuliskan ilmu pengetahuan ataupun pesan
penting di zaman itu pada batu, kulit binatang, kayu, ataupun daun,
bahkan dibuat prasasti. Hal itu menunjukkan pada kita bahwa peranan
media tulis yang kemudian dibaca banyak orang menjadi sedemikian
penting, sehingga tak heran bila warisan budaya masa lampau sampai hari
ini masih merupakan barang berharga yang mendatangkan added value. Buku
akan tetap berjaya dalam kebudayaan masa kini, bergantung pada
bagaimana manusia menempatkan tataran buku menjadi bagian dari sebuah
kebudayaan modern.
Selain
media buku yang merupakan kanal bagi aktivitas membaca, aktivitas
membaca sendiri ternyata memiliki banyak manfaat yang mungkin secara
ilmiah belum banyak diketahui masyarakat kita sacara universal. Sebuah
studi mengatakan bahwa aktivitas membaca dapat meningkatkan fungsi otak
manusia. Yang melatar belakanginya adalah manusia terlahir dengan 100 –
200 milyar sel otak yang siap dikembangkan secara optimal, sehingga
dapat menentukan intelegensi, kepribadian, dan kualitas hidup seseorang.
Dan dikatakan juga, produksi sel neurogial ( = sel khusus yang terdapat
pada unit dasar otak ) berkembang lebih tinggi karena aktivitas membaca
disebabkan adanya akselerasi proses berpikir. ( Thompson, Berger, Berry
dalam Clark, 1986 )
David C McLelland mengembangkan teori Max Weber, The Protestan Ethic,
yang menguraikan bahwa bangsa Eropa Barat yang kini pun berkembang di
Amerika adalah bangsa yang paling sukses dalam meraih kesejahteraan di
dalam sistem kapitalisme selama ini, dan teori Abraham Maslow, Theory of Hierarchy Needs ( yang terdiri dari the need for self-actualization, the esteem needs, the love needs, the safety need). Ia menelaah lebih jauh lagi, bahwa ternyata tiap masyarakat yang sukses meraih kesejahteraan adalah yang memiliki kandungan need of achievement (n-ach) atau dorongan untuk berprestasi yang tinggi. Dapat ditarik benang merah bahwa dorongan berprestasi (need of achievement) yang tinggi yang terdapat pada masyarakat yang sukses diawali dengan kebiasaan gemar membaca dan memiliki sense of interest dan sense of cares yang
tinggi terhadap masalah buku. Dengan kata lain, tidak ada orang yang
sukses maupun bangsa yang besar yang terlepas dari kebiasaannya
menghargai buku dan membiasakan diri untuk memiliki budaya membaca.
Buku dan Budaya Membaca
Yang
patut dipertanyakan saat ini adalah “ apakah buku dan budaya membaca
menjadi bagian yang penting di negara ini ? “ dan “ dalam tataran
bagaimana bangsa ini menempatkan buku sebagai bagian dari sebuah
kehidupan modern ? “
Negeri
ini patut berbangga bila melihat prosentase angka melek huruf yang
mencapai 87 % ( menurut penelitian Jane Campbell ), namun yang
memprihatinkan dan yang juga harus membuat negeri ini tidak cepat
berbangga adalah kenyataan yang mengatakan bahwa melek huruf pada
masyarakat Indonesia sampai saat ini hanya sampai pada tataran melek
huruf secara teknis, dalam artian mereka hanya tahu bunyi sebuah tulisan
atau rangkaian huruf yang ada untuk dibaca. Padahal, masih terdapat dua
tahapan selanjutnya dalam proses membaca, antara lain : tahapan membaca
secara fungsional, artinya mereka tahu apa yang dibacanya dan tahu
implementasinya untuk pekerjaannya, sedangkan yang berikutnya adalah
tahapan membaca secara budaya, artinya mereka tahu apa yang dibaca dan
lebih kritis, serta dapat memberikan wacana untuk pencerahan. Masih
sedikit sekali bila dilihat dari total penduduk Indonesia yang masuk
dalam tahapan kedua dan ketiga seperti yang tersebut di atas. Kedua
tahapan membaca tersebut sebagian besar masih melibatkan kalangan
intelektual negeri ini, bisa mereka yang mengenyam pendidikan formal
yang memadai, para pendidik, mahasiswa, maupun praktisi. Fakta ini
semakin menunjukkan bahwa pemerintah selaku pembuat kebijakan tertinggi
negeri ini belum mampu berbuat banyak dalam tahapan proses membaca
secara lebih jauh.
Selanjutnya,
masalah yang masih cukup kompleks sekaligus menyedihkan adalah fenomena
minat baca yang rendah pada hampir seluruh masyarakat kita. Mengapa
demikian ? Sudah menjadi fenomena umum di negeri ini bahwa budaya lisan
atau budaya mendengar lebih kuat mengakar dalam tradisi masyarakat
dibandingkan budaya membaca. Hal ini terlihat pada realita yang sering
kita temui di masyarakat, semisal lebih suka mendengar cerita dari orang
lain daripada membaca sendiri, lebih nyaman mengisi waktu luang saat
menunggu ataupun tidak melakukan aktivitas yang berarti dengan ngerumpi daripada menjatuhkan pilihan pada membaca, lebih senang pada tayangan-tayangan yang di-dubbing
daripada harus membaca teks terjemahan tertulis dalam suatu tayangan,
lebih riang menonton versi layer lebar dari sebuah cerita atau
mendengarkan pembacaan puisi ataupun cerpen daripada membaca teks
tertulis atau bukunya sendiri, dan sederet realita yang lain. Mengutip
apa yang dikatakan Gunawan Susilo, norma dan etika sosial masyarakat
belum menempatkan tulisan sebagai bagian dari keberadaban. Menyedihkan
bila mengingat budaya yang seperti ini secara perlahan-lahan pasti juga
akan berimplikasi pada perkembangan budaya membaca generasi selanjutnya,
yaitu anak-anak dan remaja. Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan
keluarga yang sangat menghargai buku dan aktivitas membaca, dapat
dikatakan sangat beruntung mengingat arus budaya lisan yang sulit untuk
ditebas sampai ke akarnya, namun hanya dapat diminimalisir. Sedangkan
bagi yang tidak, mereka harus rela mengikuti pola tradisi orang-orang
terdahulunya, padahal sebenarnya mereka belum tentu ingin dan tahu apa
yang dimaksud. Maklum memang, abak memang cenderung menjadi duplikat
orang yang mendidiknya sejak kecil. Ketika anak menginjak usia remaja,
selain keluarga, pengaruh lingkungan pergaulan dan komunitas
sehari-harinya akan sangat memberikan warna pada pemahamannya pada buku
dan aktivitas membaca.
Dan
lagi, penetrasi media elektronik yang dengan gencar dipublikasikan
dimana-mana semakin membuat media tertulis ditinggalkan. Mulai dari
radio, televisi, play station, media player game, handphone, sampai komputer
sangat memberikan pengaruh yang apabila tidak dapat menempatkannya pada
tataran yang sewajarnya, seseorang bisa saja terjebak ataupun
diperbudak teknologi. Pada dasarnya, teknologi diciptakan dengan tujuan
untuk mempermudah kehidupan manusia, sehingga segalanya bisa
ter-automasi, canggih, cepat, dan efisien. Namun, sekali lagi negeri ini
bukanlah inovator sebagian besar kemajuan teknologi tersebut, sebagian
besar berasal dari negara-negara maju, seperti negara barat, Amerika,
atau raksasa teknologi Asia, seperti Jepang dan Cina. Sehingga bisa
diraba bahwa masyarakat kita tidak siap dengan ledakan yang begitu
dahsyat, mangalir tanpa henti di tengah kegersangan inovasi dan budaya
yang saat ini terjadi. Alhasil, banyak yang menjadi korban teknologi,
berupaya west minded, mem’bebek’ life style masyarakat negara maju, tetapi malahan salah tujuan.
Hal
ini membawa angin segar bagi dunia teknologi di Indonesia. Di saat
minat baca masyarakat rendah, teknologi datang menawarkan sesuatu yang
menarik. Dominasi televisi tampaknya menjadi perhatian tersendiri.
Televisi yang mengalahkan buku dalam menarik perhatian sebagian besar
masyarakat ini sepintas memang tampak lebih menarik, bagaimana tidak,
jika buku hanya menyajikan konsep visual karena harus dilakukan dengan
membaca, televisi menyajikan konsep audio visual. Audio yang cukup
mendukung budaya lisan dirasa tepat, dan secara visual, telavisi
berbentuk gambar bergerak, kaya warna, dan sangat memanjakan penontonnya
dengan tayangan-tayangan yang kebanyakan memuaskan gairah pragmatis dan
memberikan wacana yang tidak terlalu dalam. Dengan konsep yang
demikian, televisi bersifat linier, sejurus, simplistik, pasif, dan
kurang kritis. Selain itu juga menawarkan kreativitas imajinatif dan
perkembangan kognitif yang rendah. Lain halnya buku, yang dengan konsep
visualnya, membuat otak berpikir karena sifatnya yang dua arah
melibatkan pembaca dalam wahana bahasannya, sehingga buku lebih bersifat
kritis, memacu kreativitas, dan evaluatif. Selain televisi,
permainan-permainan elektronik juga cukup memberikan ancaman yang
mengerikan jika terus berlangsung menjadi aktivitas mengisi waktu luang
di kalangan anak-anak. Anak-anak menjadi kurang mobilitasnya, introvert
karena jarang membina hubungan dengan sesamanya, serta sulit untuk
mengungkapkan pendapatnya. Seluruh inovasi teknologi bila tidak disikapi
dengan baik memang pada kenyataannya akan lebih berimplikasi negatif.
Pengikisan hubungan interpersonal dalam pergaulan dengan aling-aling
efektifitas waktu dalam dunia tekonogi, akan dapat memberikan dampak
yang serius, yaitu mengikisnya nilai-nilai kemanusiaan pada seseorang
yang esensinya diciptakan sebagai makhluk sosial.
Lebih
jauh lagi, minat baca yang rendah juga berakar dari daya beli
masyarakat yang rendah. Tingkat ekonomi yang tidak memungkinkan
memikirkan keperluan lain selain sandang, pangan, papan, atau ketidak
tahuan masyarakat tentang masalah buku, atau pula tidak dijadikannya
buku sebagai prioritas atau dengan kata lain tidak pernah terlintas
sedikitpun untuk memasukkan buku sebagai daftar belanja bulanan sebuah
rumah tangga maupun seseorang. Faktor-faktor tersebut bisa jadi menjadi
alasan daya beli masyarakat yang rendah. Mengingat masalah perbukuan di
Indonesia yang mirip benang kusut, penerbit tentu tak mau mengambil
resiko dengan menerbitkan jumlah buku yang belum tentu terjual habis
sesuai waktu yang diperkirakan. Selain itu, penulis yang kesejahteraan
dari profesinya masih terus diragukan, juga menunggu penerbit yang
hendak menerbitkan karyanya. Juga masalah distribusi buku yang tidak
merata di seluruh pelosok negeri sehingga harus mengorbankan sebagian
masyarakat yang harus rela kehilangan akses terhadap buku dan
ketersediaan bahan bacaan lain.
Secercah Harapan di Masa Depan
Sebuah
problema tentu masih menyisakan sebuah harapan yang mungkin untuk
terealisasi bila ada satu langkah pasti untuk memulai langkah yang
panjang dan melelahkan. Siapa pun yang memperhatikan dunia perbukuan dan
kondisi budaya membaca masyarakat kita tentu tak menolak bila harus
menyebut fenomena ini sebagai fenomena yang ‘semrawut’, susah ditemukan
ujung pangkalnya bila tak ada yang menguraikan satu persatu.
Indonesia,
sejak zaman dahulu kala hingga kini selalu menarik untuk menjadi
perhatian publik di seluruh dunia. Faktor utama yang menjadikan negeri
ini selalu menjadi ‘target operasi’ beberapa proyek, entah proyek
sebenarnya atau proyek yang memiliki udang di balik batu, tidak lain
adalah jumlah penduduk Indonesia yang luar biasa melimpah dan masuk
dalam lima besar tingkatan negara berpenduduk terbanyak di semesta ini,
selain kekayaan sumber daya yang banyak tereksploitasi oleh masyarakat
asing demi kepentingan negeri asalnya. Jumlah penduduk Indonesia yang
sampai tahun 2005 terakhir ini mencapai + 200 juta jiwa merupakan pasar
yang potensial, yang dalam kacamata dunia perbukuan dan upaya yang
mangarah pada proses pembudayaan membaca, merupakan sesuatu yang bisa
dikembangkan menjadi pembaca potensial. Hal ini barangkali bisa diawali
dengan gerakan yang gencar untuk merubah image buku yang masih dianggap kuno, manual, berdebu, tidak modern, ataupun nggak gaul dalamn masyarakat kita secara umum. Image buku
bisa dirubah dengan kampanye yang dapat menggambarkan bahwa buku
merupakan bagian dari kehidupan modern, bisa sebagai sarana penjelajahan
dunia, teman di kala luang yang siap memberikan kita kenikmatan luar
biasa, dan dapat meningkatkan daya kreatif serta dorongan untuk
berprestasi di semua aspek bagi semua tingkatan usia, mulai dari
anak-anak, remaja, dan dewasa, bahkan lansia. Tentunya hal ini juga
harus dibarengi dengan peningkatan kualitas buku yang makin menarik,
seperti beragamnya topik dan jenis buku, berkualitasnya isi di dalamnya,
full colour-nya cover, serta icon kampanye yang seharusnya tak kalah dengan icon
iklan fashion atau produk yang digemari masyarakat. Jika perlu buku
dapat menjadi pengganti permainan-permainan yang sedang menggejala
ataupun membaca buku diibaratkan menikmati es krin dan merasakan
kelezatan yang tek terhingga di dalamnya. Sehingga nantinya seseorang
yang akrab dengan buku tidak lagi dijuluki ‘kutu buku’ tetapi lebih pada
istilah yang dianggap modern dan smart dalam pergaulan,
misalnya ‘anak gaul itu suka baca buku !’ Ini bisa jadi suatu langkah
awal untuk dijadikan kunci pembuka menyusuri jalan yang berliku di depan
sana. Paradigma berpikir yang menganut pemahaman kuno tentang buku dan
aktivitas membaca harus diubah terlebih dulu.
Secercah
harapan juga ditunjukkan dengan dimulainya masa reformasi bangsa ini
sejak tahun 1998 hingga kini. Masa ini bisa dijadikan momentum untuk
membuka peluang bagi dunia perbukuan nasional untuk mengepakkan sayapnya
di tengah-tengah masyarakat. Saat masa orde baru, hampir sudah menjadi
rahasia umum bila dunia perbukuan mendapatkan perlawanan di sana-sini,
terutama bila karya tertulis tersebut dikategorikan termasuk dalam
golongan kiri yang dianggap bisa mengancam keberlangsungan rezim yang
berkuasa pada saat itu, sehingga tak ayal banyak buku yang terpaksa
harus ditari dari pasaran, tidak diijinkan terbit, penulis yang
diasingkan, dan lain sebagainya. Setelah rezim orba tumbang,
perkembangan yang cukup menggembirakan adalah maraknya buku-buku
populer, seperti fiksi, kisah-kisah kehidupan, komik, dari dalam maupun
luar negeri, yang seakan membangkitkan gairah membaca masyarakat kita,
terutama anak-anak dan remaja, meski tidak semua, cukup untuk dijadikan
batu loncatan bagi masalah minat baca dan perbukuan di negeri ini.
Setidaknya, peristiwa yang terjadi pada masa orba tidak akan terulang
lagi di masa reformasi seperti saat ini, meskipun problema kini beralih
dalam konteks lain yang juga kompleks. Namun, setidaknya ini bisa
menjadi helaan nafas yang cukup melegakan.
Esensi
buku yang akan terus menyertai proses pembelajaran seumur hidup juga
memiliki keberuntungan tersendiri. Proses belajar tidak akan berhenti,
baik secara formal maupun non formal. Buku akan terus digunakan sebagai
alat rekam proses berpikir dan inovasi manusia, juga berbagai peristiwa,
serta tingkah pola kehidupan, yang nantinya akan menjadi mata rantai
warisan budaya yang terangkum dalam sejarah. Meski teknologi kini sedang
membanjiri sendi kehidupan kita, buku tidak akan ada duanya, mengingat
efek keterlupaan dan error system yang minim, yang biasanya
justru terjadi pada produk teknologi. Namun, preservasi yang baik sangat
diperlukan untuk melestarikan bahan bacaan berbahan dasar kertas
tersebut.
Ketiga
faktor yang telah dikemukakan di atas, yaitu jumlah penduduk yang
merupakan pangsa pasar potensial, masa reformasi yang memberikan angin
segar, serta esensi buku yang akan terus menyertai proses pembelajaran
seumur hidup, disadari atau tidak merupakan potential lost yang
selama ini dimiliki negara kita. Seandainya ini bisa dijadikan cambuk
untuk lebih keras lagi mengeksplorasi harapan-harapan yang tersisa,
bukan tidak mungkin kita akan menjadi sebuah bangsa yang besar dan
sejahtera sebab masyarakatnya berhasil menempatkan buku dan budaya
membaca sebagai bagian dari elemen sinergi ke arah kemajuan tingkat
kecerdasan bangsa.
Gerakan Pembudayaan Membaca dan Menghargai Buku
Untuk
meneruskan langkah awal yang telah ditempuh dalam memulai proses
pembudayaan membaca dan menghargai buku sebagai bagian dari kehidupan
modern, diperlukan suatu upaya yang berbentuk gerakan secara konstruktif
dan berbasis elemen masyarakat secara keseluruhan. Gerakan ini harus
memiliki konsep yang komprehensif sebagai bentuk dari kampanye nasional.
Tidak
ada yang harus menjadi kambing hitam untuk sebuah problema di dunia
perbukuan dan budaya membaca. Namun, seluruh komponen memang harus
melakukan introspeksi dan cepat-cepat berbenah. Seluruh komponen itu
terdiri dari orang tua, guru dan pihak institusi pendidikan, pustakawan
dan perpustakaan, penulis dan penerbit, toko buku, serta komunitas
relawan dan masyarakat secara menyeluruh.
Kampanye
nasional ini nantinya harus melibatkan kerja sama seluruh komponen
tersebut, kebijakan-kebijakan yang dibuat haruslah berkesinambungan satu
sama lain, sehingga tidak ada kebijakan yang bertentangan. Misalnya,
kurikulum pendidikan sekolah yang memasukkan banyak aktivitas membaca
pada konsep joyfull learning, semangat senang membaca haruslah
benar-benar diimplementasikan dalam dunia pendidikan, sejak usia dini
dalam lingkup sekolah, anak-anak harus dibiasakan memiliki tugas
membaca, membuat jurnal sederhana, membuat laporan bacaan atau membuat
resensi buku yang telah dibaca. Bila ini dilakukan, daya kritis dan daya
nalar anak-anak akan terasah sejak dini dan tidak ada kata terlambat
atau penyesalan saat usia mereka menginjak remaja. Kampanye nasional ini
nantinya akan memiliki program-program yang melibatkan masyarakat yang
ingin berpartisipasi secara sukarela, serta melibatkan komunitas relawan
yang sudah ada seperti 1001 Buku, Sanggar Anak Akar, Pustakaloka Rumah
Dunia, dan masih banyak lagi.
Perpustakaan
dengan pustakawannya, toko buku, penerbit dan penulisnya dapat menjadi
panitia penyelenggara acara-acara seperti Book Fair, Cuci Gudang Buku,
Seminar, Kompetisi Membaca, Meresensi, Menulis, Mendongeng, Diskusi
Interaktif mingguan, Bengkel Penulisan Kreatif, Bedah Buku, Pertemuan
Peresensi, Penulis, dan Pembaca, serta sosialisasi masyarakat melalui
pembinaan-pembinaan keluarga yang terhimpun dalam kelompok-kelompok guna
menumbuhkan minat membaca. Sosialisasi perlu dilakukan mengingat minat
membaca akan muncul berawal dari motivasi diri sendiri yang tidak dapat
dipaksakan oleh orang lain. Pembuatan Koran Kecil yang khusus
diterbitkan untuk kalangan anak-anak juga perlu untuk dicoba.
Orang
tua sebagai satu-satunya pember pengaruh terbesar harus juga memanjakan
anak-anak mereka dengan bahan bacaan pilihan, mendongeng untuk anak,
serta mengajari anak membaca secara nyaring sejak dini. Bila saat ini
tuntutan berkarir menjadi prioritas yang lebih penting daripada
memanjakan anak-anak dengan didikan untuk perkembangannya, lembaga
seperti perpustakaan seharusnya peka dengan membuat program mendongeng,
mengajari membaca, dan sebagainya agar anak-anak tidak menjadi korban.
Lembaga juga perlu untuk membentuk Klub Baca tersendiri yang memberikan
fasilitas-fasilitas menarik bagi anggotanya, serta menciptakan suasana sharing antar anggotanya.
Pemerintah
berperan besar dalam pembuatan kebijakan yang di-paten-kan seperti
Gerakan Wajib Belajar 9 Tahun atau Program KB yang bisa dibilang cukup
sukses. Promosi melalui media massa, seperti surat kabar, radio, tevisi,
dan internet perlu dilakukan dengan membuat iklan layanan masyarakat
dengan menampilkan image buku dan budaya membaca yang baru, segar, dan fun.
Kesimpulan
Esensi
buku yang sangat penting dalam membuka wawasan, pengetahuan, serta
cakrawala berpikir, dan pendamping proses pembelajaran seumur hidup,
hendaknya dipahami sebagai suatu penghargaan yang tinggi dalam
menempatkan buku dan budaya membaca sebagai suatu bagian peradaban dari
kehidupan modern dewasa ini. Apalagi ditambah dengan mengingat manfaat
membaca yang sangat baik dalam melatih sel-sel otak menuju pribadi yang
selalu bersemangat untuk menjadi lebih baik dan membuahkan prestasi yang
lebih tinggi. Membaca dapat pula memberikan manfaat dan nilai guna yang
semata-mata bukan hanya demi meningkatkan indeks melek huruf, melainkan
juga melengkapi aspek kerohanian masyarakat Indonesia. Aspek rohani
inilah yang nantinya akan menjadi sumber energi bagi intelektualitas,
sikap hidup, dan kepribadian manusia yang positif.
Pertanyaan
sampai sejauh mana buku dan budaya membaca menjadi bagian yang penting
dalam masyarakat kita, agaknya harus membawa kita untuk menganaliasa
ketertinggalan negeri ini dalam hal tersebut. Yang melatar belakangi hal
tersebut adalah : (1) masih banyaknya angka melek huruf penduduk
Indonesia, yaitu 87 % berada pada tahapan membaca secara teknis, belum
masuk pada tahapan membaca secara fungsional, apalagi secara budaya, (2)
budaya lisan yang mengakar lebih kuat dalam tradisi masyarakat
ketimbang budaya membaca, (3) penetrasi media elektronik yang masuk
seiring dengan rendahnya sense of interest masyarakat pada
aktivitas membaca, dan (4) daya beli masyarakat yang rendah, yang banyak
melibatkan kebingungan antara masyarakat yang mengabaikan buku,
penerbit yang takut gulung tikar, penulis yang tidak terwadahi dengan
baik, dan distribusi buku yang tidak merata.
Secercah
harapan yang muncul di tengah problema yang kompleks ini bertolak dari
potential lost yang banyak tidak disadari, diantaranya : (1) jumlah
penduduk Indonesia yang mencapai + 200 juta jiwa yang merupakan pangsa
pasar potensial untuk diubah menjadi pembaca potensial, (2) masa
reformasi yang cukup memberikan hawa segar badi dunia perbukuan dan
minat membaca masyarakat dengan terbukanya akses bahan bacaan tanpa ada
pencekalan, dan (3) buku yang masih akan menjadi rekan setia proses
pembelajaran seumur hidup yang mengenyampingkan aspek keterlupaan dalam
perekaman peristiwa kehidupan dan tidak adanya efek error system disbanding media elektronik, namun tetap diperlukan preservasi yang memadai.
Terakhir,
akan terasa lebih melegakan bagi kita semua bila Gerakan Pembudayaan
Membaca dan Menghargai Buku benar-benar direaliasaikan dengan konsep
yang jelas dan secara signifikan didukung oleh seluruh komponen, mulai
dari orang tua, guru dan pihak institusi pendidikan, pustakawan dan
perpustakaan, penulis dan penerbit, toko buku, serta komunitas relawan
dan masyarakat secara menyeluruh. Langkah awal bisa dimulai dengan
merubah image buku yang kuno, tidak modern, dan statis menjadi icon baru
yang menyatakan buku sebagai suatu yang gaul, modern, dan dinamis.
Referensi
Anthon, Tonggo, “Untuk Apa Bersastra?”,
http://www.indomedia.com/poskup/2005/07/13/edisi13/1307pin1.htm
Budi Susilo, Gunawan, “Buku dan Budaya Membaca :http://www.indomedia.com/poskup/2005/07/13/edisi13/1307pin1.htm
Indonesia yang Tertunda”, Mata Baca Volume 2, No. 12, Agustus 2005.
Bukhori, Ahmad, “Menciptakan Generasi Literat”
Bunanta, Murti, “Menjadikan Anak Pembaca yang Baik”, Kompas 2 Mei 2004.
Faqih HN, Ahmad, “Sekilas tentang Motivasi Berprestasi”,
http://www.google.com/search?hl=id&q=need+of+achievement+%28n-ach%29+&btnG=Cari&lr=lang_id
http://www.google.com/search?hl=id&q=need+of+achievement+%28n-ach%29+&btnG=Cari&lr=lang_id
Pustakaloka, Kompas, 17 April 2004.
Pustakaloka, Kompas, 22 Mei 2004.
Sukur, Silvester G, “Benang Kusut Distribusi Buku di Indonesia”, Mata Baca Volume 2, No. 12, Agustus 2005.
*dimuat di Buletin Perpustakaan Universitas Airlangga, Mei-Juni 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar