Skripsi dan Wisuda untuk Mama



“Selamat hari ibu, ma. Andai mama masih disini, tentu akan kulakukan yang terbaik untuk membahagiakanmu. Sekuntum bunga, kue tart, atau ajakan jalan-jalan kini tak perlu lagi. Yang kau perlukan hanyalah doa dari anakmu yang rindu ini…”

***

Januari 2008.

“Ikut berbela sungkawa, Prita. Sekalian mengabarkan kalau kamu dapat jadwal sidang skripsi lusa. Persiapkan yang terbaik ya”, suara dosen pembimbing saya tiba-tiba mengagetkan di ujung sambungan telepon dari Surabaya ke Jember itu.

Hari itu adalah hari ke-7 pasca wafatnya mama tercinta yang telah berjuang melawan kanker mulut rahim (serviks). Belum usai rasa kehilangan, ternyata saya harus mempersiapkan momen menjelang kelulusan yang juga sangat berharga.

Saya bertekad melakukan yang terbaik yang saya bisa. Menempuh perjalanan 4 jam dari Jember menuju Surabaya, fokus mempersiapkan sidang dengan menekuri lembaran skripsi, melipat, memberi penanda, merancang jawaban atas kemungkinan pertanyaan, dan tak lupa menggenapinya dengan doa.

Alhamdulillah, Allah menggerakkan semesta. Argumen saya membuat dosen penguji manggut-manggut kala itu. Nilai A pun berhasil saya raih. Semua untuk mama.

April 2008.

“Papa ga bisa dateng ke wisudamu tanpa mama. Biar eyang putri yang mewakili, Prit..”, ungkap papa. Baiklah. Tepat di hari ke-27, saya genap 23 tahun dan dihadiahi kado terindah dalam hidup. Wisuda.

Duduk menunggu prosesi ke depan, pikiran saya terus mengingat potongan kisah bersama mama. 

Bersama mama sebelum merantau untuk kuliah di Surabaya

Masa-masa skripsi yang sangat menguji kualitas mental. Wara wiri rumah sakit, berjalan dan jatuh saat menyeberang jalan akibat kelelahan yang amat sangat. Pertengkaran yang dahsyat dengan papa karena menuntut saya mengurus mama full, padahal saat itu saya sudah tercatat sebagai staf di sebuah NGO.

Saya pula yang harus menandatangani surat persetujuan pengambilan tindakan rumah sakit. Saluran kencing mama tak lagi berfungsi, sel kanker telah menutupinya, sehingga harus dilakukan tindakan operasi pembuatan lubang saluran kencing permanen di perut.

“Mama ini kayak orang cacat, masa nanti pergi-pergi bawa kantong pipis…”, ungkap mama saat itu.

“Ga usah mikir gitu, ma. Kalau ga dikeluarin, malah jadi racun pipisnya. Nanti mama pake gamis, kantong pipisnya diselipkan di celana dalam. Mama bisa jalan-jalan sama aku. Mau makan bakso dan es degan (kelapa muda)?”, hibur saya.

Saya menunggui mama operasi saat masa ujian semester tiba. Saya masih ingat saat menyapa dan menjemput mama ke ruang operasi sendirian.

Setelah masa dramatis itu, saya pula yang mengantar mama ganti kateter setiap dua minggu sekali ke RS. Meski saya bukan anak tunggal, memang saya satu-satunya anak yang stay di Surabaya.

“Prita Hendriana Wijayanti dengan predikat sangat memuaskan”, tiba-tiba suara pengampu acara wisuda nyaring terdengar. Lamunan saya buyar, berganti rasa haru dan bangga mengingat semuanya. Meski saya tak berhasil meraih gelar cum laude, saya percaya telah melakukan yang terbaik.

Belakangan baru saya tahu bahwa mama telah memesan gaun hitam anggun untuk dipakai di acara wisuda saya, yang sampai kini masih tergantung di lemari dan tak pernah dikenakannya.

22 Desember 2017.

Waktu terus berjalan hingga episode dimana saya sedang dipercaya Allah untuk mempersiapkan diri menjadi seorang ibu dan sedang menunggu kelahiran buah hati tercinta.

Saya jadi ingat untuk selalu menjaga kata-kata. Dulu, sebelum mama dinyatakan menderita kanker serviks pada 2006, saya pernah menjenguk ibu seorang teman di salah satu RS di Surabaya.

Saat itu teman yang menjenguk bersama saya bilang, “Makanya Prit, mumpung papa mamamu masih sehat, lakukan yang terbaik. Nanti kalau udah sakit, kita ga tau loh.”

Apa jawaban saya? “Ah, ga mungkin. Keluargaku aja ga pernah ke dokter khusus, ga pernah sakit berat-berat. Kalau sakit, paling demam biasa.”

Dan, itulah kuasa-Nya. Allah menguji saya dengan apa yang saya ucapkan. Lisan adalah doa, begitu juga harapan dan impian. Momen hari ibu setiap tahunnya memang tak harus menunggu 22 Desember. Selagi masih mampu melakukan upaya terbaik, maka lakukan.

*Teriring doa untuk mama tercinta


 Artikel ini diikutsertakan dalam



Salam Dunia Gairah,

Prita HW

5 komentar:

  1. turut berduka cita yaa mba...insya Allah, almarhumah ibu sudah ditempat yg terbaik

    BalasHapus
    Balasan
    1. makasih mbak, amien Allahumma amien, insyaallah. Iya mbak lagi baper kl di momen hari ibu nih :)

      Hapus
  2. Turut berduka cita ya, Teh.
    Semoga selalu tabah, dan terus bisa menjalankan apa yang sudah dinasehtin mama. Btw, semoga menang lombanya ya, Teh.. aamiin..

    BalasHapus
  3. Selalu terenyuh mendengar kisah soal ibu. Aku yakin kamu sudah bikin bangga beliau. Aku pun begitu, pas memutuskan pindah ya khawatir ga menangi ibu untuk menyenangkan beliau. Kalau nunggu sukses dalam pengertian umum, ya bisa-bisa menyesal seumur hidup deh nanti.

    BalasHapus
  4. Duh, bener kata mas rudi mbak, sepertinya seorang Ibu memang yang terbaik. Namanya selalu ada dalam setiap doa, karena perjuangannya yang amat besar. Semoga ditempatkan di sisi yang layak di surganya. Aminnn

    BalasHapus