Menunggu Kehadiran Sang Buah Hati dan Titik Rawan dalam Pernikahan



Pernikahan. Satu kata yang sering membuat banyak orang senewen. Untuk yang masih single, tentu kata pernikahan membawa kegalauan sekaligus impian tersendiri. Untuk yang sedang mengarungi bahtera rumah tangga yang baru berlangsung, pernikahan adalah romantisme. Lain lagi, arti kata pernikahan bagi pasangan suami istri yang telah lama hidup bersama sebagai partner. Bisa jadi, pernikahan adalah bentuk monumen kebanggaan dari sekian banyak tujuan hidup.

Namun, di balik kata pernikahan yang dipersepsikan indah dan romantis pada awalnya, siapa sangka juga menyimpan banyak kisah perjuangan mempertahankan sebuah hubungan ataupun kisah yang lebih pilu dan berakhir pada perpisahan.

Hm, saya sebenarnya juga bukan orang yang sudah menjalani sebuah hubungan pernikahan dengan segala suka dukanya. Saya masih terus belajar menyelami arti sebuah komitmen ini. Mengingat, saya dan suami tercinta yang ditakdirkan sebagai jodoh hingga ke Jannah (insyaAllah) merupakan komitmen pernikahan saya yang kedua. Tentu, saya tak ingin terjerembab dengan kisah pilu pernikahan seperti pernikahan pertama yang ditakdirkan Allah untuk lebih belajar makna menjalani kehidupan dan mencari jalan hidup yang telah ditakdirkan.

Kalau bukan karena tema collaborative blogging Mak Liza yang membahas Fakta Anak dan Titik Rawan dalam pernikahan, mungkin saya tak pernah berpikir untuk menulis tema ini :)

Kalau Mak Liza lebih membahas persoalan fase-fase usia anak yang bisa menjadi pemicu titik rawan pernikahan, saya mungkin sedikit berbeda. Karena pengalaman pribadi yang belum dikaruniai anak, baik di pernikahan pertama maupun kedua, maka saya memilih untuk membahas titik rawan pernikahan dalam masa menunggu sang buah hati tercinta hadir di tengah-tengah sebuah pasangan.




Alasan saya berpisah di pernikahan pertama, tentu bukan karena soal anak ya maks :) Tapi lebih ke persoalan pribadi yang memang tidak bisa dipertahankan. Sedangkan untuk pernikahan kedua, saya pernah mengalami kehamilan ektopik sekitar hampir satu tahun yang lalu.

Jujur, saya amazed dengan kehamilan saya itu. Karena dalam bayangan saya, dikaruniai sebuah kehamilan berarti persiapan yang matang seperti honeymoon tersendiri, program kehamilan yang harus konsultasi dengan dokter atau ahli kehamilan, atau kecukupan gizi yang takarannya seimbang.

Terlalu teoritis? Saya akui iya. Justru lewat kehamilan ektopik itulah saya ‘ditegur’ untuk tak menalar semua ke-Maha Kuasa-an Allah yang tak membutuhkan analisis panjang seperti yang dipikirkan manusia. Kuun fayakuun. Jika Allah berkehendak, maka jadilah.

Nah, balik ke soal titik rawan dalam masa menunggu sang buah hati, ada beberapa kisah yang saya ingat dari potongan-potongan kisah saya mendengarkan cerita teman, sahabat, maupun orang yang tidak sengaja saya temui di perjalanan, seperti :

  • Pasangan yang menjadi risih karena tekanan pertanyaan tentang buah hati dan harus saling menguatkan

Namanya manusia, pertanyaannya pasti tak pernah habis untuk selalu dilontarkan. Ada saja yang     muncul untuk mengkritisi sesuatu. Termasuk pertanyaan umum seperti “kapan punya anak?”. Pertanyaannya mungkin wajar ya, tapi kalau ditanyakan lebih dari sekali dua kali oleh orang yang  sama, atau ditanyakan berkali-kali oleh banyak orang, tak jarang ini menimbulkan rasa stres tersendiri.

Bayangkan kalau semua pertanyaan itu diambil pusing. Waaa, pasangan suami istri bisa saja saling menyalahkan satu sama lain. Dan bisa saja tak hanya melibatkan individu pasangan, tapi juga dua keluarga besar. Kalau kita sebagai makhluk Allah, tak bisa benar-benar sadar akan keadaan ini, perpisahan mungkin saja menjadi pilihan. 

  • Pasangan yang telah mencoba berbagai cara program kehamilan sampai pada titik tidak ingin ‘mendzalimi’

Ini juga kisah nyata yang pernah saya dengar. Akumulasi pertanyaan seperti kasus pertama sudah terlampau sering menghinggapi pasangan ini. Hingga pada satu titik, setelah segala upaya dilakukan, sang suami mengajukan pertanyaan, “apakah masih ingin bersama dengan keadaan ini?” Si suami bermaksud baik sih, karena kekhawatiran yang besar akan istrinya yang ‘mungkin’ merasa terdzalimi karena belum adanya keturunan hingga tahun kesembilan. Tapi, alhamdulillah keduanya menyadari bahwa setiap pasangan sudah dijanjikan Allah keturunan laki-laki ataupun perempuan, atau bahkan tidak keduanya.

  • Pasangan yang setelah berusaha mati-matian tidak juga dikaruniai buah hati, dan saat mencoba pasrah, keajaiban justru datang menghampiri 
Lain lagi dengan kisah teman seperjalanan saya pas di atas kereta api ini. Si mbak yang hanya berdua dengan si buah hatinya yang kira-kira berumur 1,5 tahunan itu melakukan perjalanan mudik dari Jakarta menuju Jawa Timur. Ternyata, buah hatinya itu adalah penantian panjang. Setelah di tahun pertama hingga kesembilan tak dikaruniai buah hati, di tahun kesepuluh, pasangan itu tak melakukan upaya apapun yang disebut sebagai program kehamilan. Tapi, siapa sangka, justru sikap berserah itulah yang membuahkan hasil di tahun kesepuluh itu.

Setelah kehadiran sang buah hati, sang suami yang seorang TNI AL, harus dipindah ke Jawa Timur, dan jadilah sang istri yang berprofesi sebagai guru mengurusinya seorang diri. Dengan bantuan day care, si mbak pun berhasil melakukan tugasnya sebagai ibu dan juga ayah yang notabene sedang bertugas.

Pantesan, si kecil nemplok terus ke suami saya saat itu, juga ke penumpang lain yang laki-laki muda. Mungkin, begitulah ia merindukan kasih sayang ayah yang tak sempat ia temui sejak masih balita.




Iyap, itu mungkin hanya beberapa contoh dari kisah yang ada betapa ketidak hadiran seorang anak juga ternyata membawa titik rawan dalam pernikahan.

Tapi kalau boleh ditarik lebih jauh, sebenarnya bukan kehadiran atau ketidak hadiran anaklah yang membawa pernikahan berada dalam titik rawan, tapi lebih pada kemawasan diri seorang suami dan istri yang sudah berkomitmen hidup bersama dalam suka dan duka. Sesungguhnya masing-masing dari kita ada untuk saling melengkapi kelebihan dan kekurangan masing-masing. Kemudian, dari situlah, kita bertanggungjawab untuk memenuhi amanah sebagai khalifah di muka bumi.

Jika masing-masing dari kita sadar, bahwa amanah hidup ini akan dipertanyakan nanti, saya rasa pernikahan juga menjadi salah satu ladang ibadah yang harus kita perjuangkan. Bagaimana pendapat temen-temen? 

Prita HW

14 komentar:

  1. Setuju Mak. Komitmen is number one. Punya atau ga punya anak, komitmen harus tetep dijunjung tinggi. Jadi keduanya bisa terus saling dukung :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul mak, kalau ga siap komitmen kan brarti harus mikir dari awal pas mau nikah yah :D

      Hapus
  2. Kebahagiaan itu tidak diukur dengan hadir atau tidaknya seorang anak dalam rumah tangga. Melainkan seberapa besar rasa syukur suami istri dalam menjalani kehidupan.

    Nice article, mbak Prita. Love it!

    BalasHapus
    Balasan
    1. betul mak, masing2 ada ujiannya ya, makasihhh loh mak udah memulai menulis tema ini :*

      Hapus
  3. Ikut mendoakan semoga doa2nya diijabah Allah swt. Kompak selalu yaa bersama pasangan...

    BalasHapus
  4. Adek saya udah masuk tahun ke 5, udah ikhtiar macem2, juga belum dikasih momongan Mbak. Tapi alhamdulillah mereka saling menguatkan :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. alhamdulillah mbak, saya juga yakin setiap pasangan sdh digariskan sendiri2 ya mbak :)

      Hapus
  5. Sibhaballoh Mbak, saya pernah merasakan gak enaknya ditanya kapan punya anak. Seandainya mereka baca tulisan ini, semoga Mbak shalihah segeea dikaruniakan penyejuk hati dunia akhirat aamiin ya Alloh

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya mbak, bagi bbrp orang mungkin pertanyaan biasa ya, tp bagi bbrp yg lain jadi luar biasa :D amien amien mbak, makasihhh

      Hapus
  6. Setuju, mba. Jangan jadikan ketidakhadiran anak sebagai alasan dalam pernikahan

    BalasHapus
  7. luar biasa mba, istri saya juga sering nangis sendiri kala di tanya sama temennya "kapan punya anak?"

    Alhamdulillah dengan do'a dan ikhtiar, Alloh berikan yang baik untuk kami

    BalasHapus