Menggapai Puncak Ciremai, Bersahabat dengan Semesta


Menaklukkan gunung tertinggi di Jawa Barat? Tampaknya terdengar begitu heroik. Apalagi jika penakluk itu berasal dari kaum perempuan. Cibiran atau kekhawatiran bisa saja datang sewaktu-waktu, bahkan sejak awal. Terlebih untuk perempuan bertubuh mungil seperti saya. Tinggi saya hanya satu setengah meter kurang dua senti :)

Ukuran fisik ternyata tidak selalu berbanding lurus dengan ketangguhan tekad. Saya sudah membuktikannya. Mendaki gunung pertama kali saya lakukan saat duduk di bangku kuliah, jujur waktu itu sedang demam film Soe Hok Gie yang diperankan apik oleh Nicholas Saputra. Ya, mungkin saat itu saya terbius, bisa jadi :) Niat saya sampai ke puncak Mahameru adalah untuk melihat prasasti petilasan akhir seorang Soe Hok Gie.

Dan, itulah pendakian pertama sekaligus terakhir saya sebagai seorang pendaki betulan. Karena gunung pariwisata berundak tangga seperti Bromo, menurut saya bukanlah gunung ‘betulan’. Entahlah.

Maka, pendakian ke Gunung Ciremai yang masuk kawasan Cirebon, Kuningan, dan Majalengka itu adalah kali kedua mendaki gunung ‘betulan’ versi saya. Bisa dibayangkan, kurun waktu pendakian Semeru pada 2005, sedangkan Ciremai pada 2014. 

Lama vakum dari aktivitas ini sungguh membuat saya grogi. Selain, alat-alat hiking yang dulunya dipinjami teman. Haduh, saya jadi terpaksa sekaligus bersyukur diberi waktu untuk hunting peralatan sendiri kali ini. Dari sepatu, jaket, carrier, hingga head lamp, tak ada yang luput. Kecuali tenda dan alat masak memasak, bisalah berbarengan dengan yang lain.

Perjalanan yang (cukup) Melelahkan

Berangkat saat libur lebaran dari kampung halaman saya di Jember, saya menjejakkan kaki dengan ransel 60 L di bandara Soekarno Hatta, menuju Bekasi. Perjalanan ini memang direncanakan berdua dengan sahabat lama  saya – yang akrab saya panggil Firm – sejak zaman friendster. Kami seperti merayakan reuni kedua setelah sekian lama tak bertemu sejak 2008.

Packing sebentar melengkapi ini itu, kami menuju Pasar Rebo, titik kumpul dimana kami akan bertemu teman-teman yang lain. Pendakian terbuka untuk mengisi libur lebaran, kira-kira begitu tema yang tepat untuk menggambarkannya. Siapa sangka, di titik itu, kami bertemu 14 teman baru, yang semuanya baru saya kenal. Namun, ke-14 teman itu adalah lingkaran pertemanan sahabat saya itu. Wuah, have a nice trip, guys! Dari kaum saya, hanya ada lima orang termasuk saya. 


Kaum perempuan hanya berlima (ki-ka) : Halimah, Nes, Pidi, Ape, saya

Menumpangi bis, kami menuju lokasi Ciremai. Sebenarnya nama tepatnya adalah Ceremai, berasal dari nama sejenis tumbuhan perdu berbuah kecil dengan rasa masam, dan memiliki nama latin phyllanthus acidus. Tapi, kebiasaan orang Sunda melafalkan kata Ci- menjadikan Ceremai berubah menjadi Ciremai. Baru saya ketahui saat itu kalau ternyata Ciremai masih termasuk Taman Nasional Gunung Ciremai dengan luas total 15 ha. Dan, gunungnya merupakan gunung api aktif. Tingginya 3078 meter di atas permukaan laut (mdpl). Selisih sedikit dari Semeru yang 3676 mdpl.

Sumber : https://id.wikipedia.org

Saya bolak balik memberikan sugesti dalam diri bahwa saya mampu, tak jauh dari pengalaman pendakian pertama yang hanya berdua saja kala itu.

Sampai di pos pendakian malam hari membuat kami semua harus menunggu pagi tiba. Musholla yang difungsikan sebagai tempat menginap semalam oleh para pendaki penuh sudah. Saya dan teman-teman akhirnya ngemper di depan toko sekaligus warung nasi ketika pagi. Ngobrol ngalor ngidul dan cekakak cekikik bersama teman-teman baru saya itu terus berlangsung untuk mengusir dingin yang mulai menyergap.

Entah tertidur di jarum jam menunjukkan angka berapa, saya akhirnya terbangun di waktu Subuh. Dan, demi menghangatkan badan yang semalaman hanya dimasuki makanan ringan, kami memesan sepiring nasi dengan lauk telur atau gorengan. Kelar makan, kenyang, proses pengumpulan fotokopi KTP dilakukan untuk mendaftarkan diri di pos pendakian. 

Kami sepakat membagi 16 orang ini dalam dua tim. Tim pertama dipimpin Firm, dan saya termasuk di dalamnya. Dan, tim kedua dipimpin Ayi, yang menyusul di belakang. Keduanya memang pendaki yang rajin wara wiri gunung hampir setiap bulan. Entah sekedar menghirup udara bebas maupun menemani rombongan baru.

Saya berjalan memanggul carrier yang tingginya tiga perempat tinggi badan saya, berjalan beriringan dengan teman-teman di tim pertama. Seingat saya,kaum perempuan semua di tim pertama. Baru menapaki selangkah dua langkah sampai sepuluh langkah ke depan, seorang teman perempuan saya bernama Halimah memberhentikan diri karena merasa degup jantungnya bertambah cepat dan sesak. 

Bahkan, saat itu juga, Hal berkeinginan untuk pulang. “Biasalah itu, bukan lo doang yang begitu, Hal.. Dari jalanan datar ke jalanan nanjak, semua ngerasain sama. Tarik nafas dalam-dalam, tahan sebentar, buang nafas.”, Firm mencoba memberi pengertian. Sepertinya sedang terjadi negosiasi.

Dan, saya terus berjalan, hingga tiba-tiba, huekkk.. Saya pun memuntahkan isi makanan tadi pagi. Dulu, saat ke Semeru juga begitu, setiap menanjak pertama, selalu seperti ini. Saya menangkan diri, minum air sebentar, membersihkan mulut, dan melanjutkan perjalanan. 

Saya mengalihkan pandangan pada hutan pinus dan persawahan menuju Pos mata air Cibeunar di ketinggian 750 mdpl. Disinilah kami mengisi persediaan air berliter-liter hingga penuh dan dibagi ke beberapa orang, terutama laki-laki. 


Sumber : http://dailyvoyagers.com

O iya, kami naik melalui jalur Linggarjati, letaknya dekat dengan berlangsungnya perjanjian Linggarjati yang dulu sering saya hapalkan di pelajaran Sejarah. Jalur ini, konon adalah jalur yang paling sadis. Tikungannya paling menanjak konsisten dan menguji adrenaline siapa saja. Tapi kata Firm, justru ini yang dirindukan. Saya cuma manut. Rencananya saat turun nanti, kami akan lintas jalur melalui Desa Palutungan di Kuningan, jalur yang mudah dan landai, katanya.

Sehabis minum tolak angin yang dicampur ke dalam teh hangat, saya mengumpulkan energi lagi, menghirup dalam-dalam aura pedesaan yang teramat sejuk. Dalam hati saya sempat berpikir, sebenarnya apakah hanya hawa segar sajakah yang dirindukan para pendaki? Atau ada yang lain? Konon juga, sejatinya pertemanan dan kualitas adaptasi seseorang juga bisa diukur dari pendakian bersama. Ya, saya pernah merasakannya, tapi saya lupa persis seperti apa. Saya ingin menguji diri saya lagi.  Kabarnya kami akan melewati 10 pos yang penuh tanjakan mesra. Disebut begitu karena mengundang siapa saja untuk menaklukkannya.

Menanti Fajar di Kuburan Kuda

Menyusuri perkebunan penduduk sampai Leuweung datar di ketinggian 1225 mdpl, saya menikmati saja perjalanan kali ini. Berkali-kali saya takjub dengan tanah negeri yang magis. Bayangkan apa saja bisa tumbuh dengan subur disini.

Saya mengamati beberapa teman. Seorang teman perempuan saya yang lain, ada yang memilih tasnya bertukar dengan seorang teman laki-laki yang membawa daypack. Katanya supaya lebih ringan, semoga saja barang mereka tak tertukar, gumam saya.

Yang paling unik, tentu si Ayi, pemimpin tim kedua. Meski kami di tim pertama berangkat lebih dulu beberapa menit, tetap saja kami tetap berjumpa saat memilih untuk duduk barang sejenak meletakkan beban. Seperti hidup saja, saat merasa letih, beristirahatlah sejenak. Sebab kau akan menguras energi bila dipaksakan. Waktu bisa saja bertambah panjang karena kau tak menikmatinya.

Ayi membawa carrier yang paling berat dalam rombongan, ini saya ketahui saat setiap orang ingin berusaha membawa carrier Ayi. Isinya kalau tidak beras, ya air berliter-liter, selain perlengkapan pribadi. Apa Ayi merasa bebannya berat? Tidak, dia menikmatinya. Cara berjalannya, setapak demi setapak, kadang dia menghitung. Dan hanya mengangguk atau tersenyum saat diajak ngobrol panjang di perjalanan. Keep calm, itu prinsipnya. Beda cerita saat sudah beristirahat, langsung pecah, penat seolah menguap bersama semesta. 

Ayi dan carriernya

Perjalanan masih panjang saat kami memutuskan berhenti di Pos peristirahatan Kondang Amis di ketinggian 1250 mdpl. Kopi dan teh hangat pun diseduh. Tawa dan canda kembali mengiringi. Saat Firm berkelakar dengan gaya puisinya sambil berdiri di tempat kami duduk, semua pun juga ikut terhibur, sekaligus memanjatkan doa. “Kenapa aku suka naik gunung? Karena disinilah jiwa-jiwa kita bertemu diantara bintang-bintang”, selorohnya.


Ngopi dulu di Kondang Amis. Sebelah saya, berbaju biru, Ayi, ketua tim kedua

Firm berusaha tegar dalam mengenang almarhum istrinya yang biasanya menjadi partner perjalanannya dalam mendaki. Kira-kira di saat kami mendaki, istrinya sudah tiga tahun berlalu meninggalkannya sejak melahirkan putri pertamanya, yang kemudian menyusul ibunya beberapa hari kemudian. Tuhan mendengarmu, Firm, mereka ada diantara kita, timpal saya dalam hati.

Tak berapa lama, kami memutuskan melanjutkan perjalanan. Jangan terlampau lama untuk berhenti karena bisa membuat kau terlena dengan riuh tawa dan hilangnya penat. Selalu ingat, perjalanan harus dilanjutkan.

Kami terus berjalan kurang lebih satu setengah sampai dua jam untuk kemudian sampai di Pos Kuburan Kuda. Senja sudah menyapa dan gelap sebentar lagi tiba. Pemimpin tim mengisyaratkan semuanya untuk beristirahat saja dengan menggelar tenda di ketinggian 1450 mdpl ini. Tiga atau empat tenda yang kami dirikan saat itu. Agak merinding juga mendengar nama pos ini berawalan kuburan. Tapi bukankah setiap tanah yang kita pijak adalah kuburan? Dimana sisa-sisa peradaban manusia terus tinggal dan berganti dengan kehidupan yang lain. Semestinya memang kita tidak perlu ketakutan dengan kata kuburan.

Kami menghitung jumlah semua orang, 15 orang. Ada seorang lagi yang ternyata tidak ada dalam rombongan. Abil hilang, begitu ungkap yang lain. Baik Firm maupun Ayi, dan juga Adit, teman yang mengenal betul sosok Abil, meyakinkan yang lainnya kalau Abil tidak hilang. Ia pasti terlalu cepat melangkah, dan saat ini sudah melebihi Pos Kuburan Kuda ini.

Dugaan saya benar. Abil ternyata membawa carrier teman perempuan saya, Nes. Dan, Nes membawa daypack Abil. Setelah dibongkar, isinya ya perlengkapan pribadi khas laki-laki dan sebungkus dua bungkus rokok. Semua mencoba menganalisis, dua kemungkinannya, ia bermalam dengan teman-teman yang baru dikenalnya malam ini. Atau, ia telah tiba mendekati pos awal tempat kami semua akan turun, di jalur Palutungan. Dua orang yang lain ditugasi untuk mencari hingga ke pos berikutnya, kalau tak terlalu gelap. Hasilnya nihil.

Semua menenangkan diri, termasuk Nes yang bingung karena semua barangnya ada disana. Ini catatan pentingnya, jangan pernah bertukar tas seisinya dengan teman perjalanan. Saat terpisah, kau tidak akan pernah tahu apa kebutuhanmu, termasuk untuk urusan survival jika kau tersesat sendirian. “Alhamdulillah, lo nggak sendiri Nes, kita punya tim solid...”, kata saya.

Baiklah, sambil terus bersugesti positif tentang Abil, kami menikmati malam itu dengan menyiapkan santapan makan malam. Mendadak saya jadi kepala dapur. Empat perempuan lainnya ternyata tak biasa mengolah bahan masakan di dapur. Mereka bingung memulai dari mana. Untung, untuk urusan menanak nasi secara manual, ada Ayi dan Botak yang jagoan. Saya angkat tangan. 



Berbarengan dengan itu, saya mengkoordinir teman perempuan lainnya untuk mengupas buah, timun, menggoreng lauk, dan menyeduh teh hangat. Tentu saya terlibat juga :) Saya bahkan sudah menyiapkan sambal yang sudah digoreng dan orek tempe yang sudah dikemas dalam plastik kecil sejak di Jember. Syukurlah semua suka. Pantang bagi kami untuk memasak mie instan kecuali terpaksa. Mie bisa membuat lemas. Energi juga kurang tercukupi.

Sambil menyantap makan malam, barulah malam itu kami murni mengenal satu sama lain dan memandang utuh wajah masing-masing. Istilah sekarang, pas di perjalanan, banyak dari kami yang gagal fokus mengingat nama dan wajah masing-masing teman. Malam itu kami berbaur dan menyiapkan strategi untuk esok harinya. Mengingat, tanjakan-tanjakan yang dinantikan itu akan semakin menjadi-jadi besok.

Persediaan air juga menjadi perhatian ekstra. Ternyata makin ke atas, sampai turun di jalur Patulungan nanti, kami tak dapat menemukan mata air lagi. Kami mulai membatasi porsi minum tiap orang. Dimulai pagi hari. 

Satu lagi, pe er untuk menemukan seorang Abil.

Menaklukkan Tanjakan, Menjemput Bintang di Pengasinan

Kami harus melewati jalanan yang lebar dengan akar pohon yang sangat raksasa yang menantang kami untuk melangkah lebar-lebar.


Sampai kami menemukan Pos Pangalap sebelum menuju tanjakan-tanjakan di depan. Pangalap ini tempat yang paling ideal sebetulnya untuk membangun tenda.

Tak jauh dari situ, ada dua sampai tiga tenda yang belum dibongkar. Semua langsung berteriak dan sumringah saat menemukan Abil ada diantara mereka.

“Abil udah ketemu...”

“Ada Abil disini...”


Dan ekspresi lainnya. Surprise sekaligus sesuai prediksi. Langkah kakinya yang besar memang membuat Abil menjadi lebih sigap. Selain lupa kalau ternyata ia bersama rombongan. Nes akhirnya bertukar tas dengan Abil. Semua memberitahu Abil, kalau rokok sudah ludes semalam. Abil hanya tersenyum tak masalah. 

Dan, takjubnya, semua barang-barang Nes utuh, termasuk semua snack nya. Kata Abil, itu bagian dari amanah. Wow, prinsipnya boleh juga. Semua terkekeh karena merasa tersindir sudah merampok rokok Abil di tasnya. Kami meluapkan kegembiraan sejenak karena semua tim sudah lengkap dengan berfoto bersama dan saling tertawa. Rasa percaya dan kebersamaan diantara kami makin besar saja sejak peristiwa itu. 

Keseruan menemukan anggota tim yang hilang :) Abil di pojok kanan atas menggunakan baju hijau army

Lanjut, perjalanan masih baru tahap awal tanjakan. Kami mengejar waktu untuk tiba di Pos Pengasinan di ketinggian 2750 mdpl sebelum matahari terbenam.

Tanjakannya yang dirindukan, perjalanan seperti ini yang dinantikan. Saya mengingat-ingat perkataan Firm. Sebegitu menggoda jalur Linggarjati ini. Benar saja, sejurus kemudian, kami menemukan tanjakan yang dinilai terberat dan melelahkan. Tanjakan Seruni di ketinggian 1825 mdpl.

Syukurlah akhirnya seluruh tim selesai sudah melewatinya. Apakah saatnya masuk waktu istirahat dan mendirikan tenda? Ternyata belum, kami hanya berhenti sejenak sekedar menyeka peluh dan membasahi kerongkongan yang kering.


Di depan kami, ternyata sudah menunggu Tanjakan Bapatere di ketinggian 2025 mdpl. Sepertinya tanjakan ini berkawan erat dengan Tanjakan Seruni. Sama-sama berat dan melelahkan. Tapi, kami semua yakin jika sudah melewati tanjakan-tanjakan sebelumnya, maka tanjakan ini hanya bagian kecil yang juga harus sukses kami lewati. Satu persatu kami saling membimbing dan benar saja, tanjakannya makin tinggi. Kepala bertemu dengan lutut.

Satu persatu, pelan tapi pasti, masing-masing dari kami melalui tanjakan itu. Minimnya tumpuan pegangan untuk naik ke atas, sempat membuat was-was. Seingat saya hanya ada semacam akar pohon dan tali yang kuat yang terlebih dulu sudah disediakan entah oleh siapa. Untungnya, masing-masing ketua tim kami cukup handal dan sigap untuk membantu masing-masing anggota timnya melewati ini. Beberapa teman kami yang lain di kaum adam pun ada yang baru perdana mendaki. Bisa dibayangkan juga kerepotan sang ketua tim.  



Duhai semesta, sesungguhnya kami bukan sedang menaklukkanmu. Tapi, kami mencoba mengeja dan memaknai perjalanan ini. Apalah kami di tengah alam rimba seperti ini. Selalu saya ingat juga pesan-pesan teman lain yang sudah berpengalaman mendaki. Jangan berbicara sembarangan, berpikir positif, dan jangan tinggalkan apapun kecuali jejak. 

Tentu itu bukan saja larangan tanpa alasan, semua berdasar pengalaman. Saya juga percaya alam selalu memberikan apa yang kita butuhkan, hanya mereka pun akan melihat seberapa bijak kita bersikap. Sesungguhnya dalam pelajaran spiritual yang saya yakini, alam merupakan makhluk hidup layaknya kita. Ia begitu patuh dan tunduk kepada Sang Maha Kuasa. Ini semacam alarm pengendali paling efektif untuk tak semena-mena.

Selanjutnya, kami memasuki Pos Batu Lingga di 2200 mdpl, track bonus karena jalanan cukup datar dan kami bisa beristirahat sejenak. Kemudian menuju Pos Sangga Buana di 2500 mdpl. Kurang lebih sekitar 1,5 sampai dua jaman menuju Pos Pengasinan. Kabarnya pos di ketinggian 2800 mdpl ini merupakan pos terakhir untuk menuju puncak yang dinantikan. Rasa lelah makin bergelayut manja meminta tubuh beristirahat. Tapi, kami haru sedikit bersabar.

Abil dan seorang teman lagi yang cukup gesit dan memiliki langkah lebar ditugasi untuk berangkat lebih dulu mendahului kami semua. Mereka harus mencari lahan kosong untuk tempat mendirikan tenda. Ini merupakan pembagian tugas yang memudahkan dan saling sinergi. Sehingga ketika kami semua sampai, kami tinggal menyiapkan sisa tugas yang lain.

Dan benar saja, saat sampai di Pengasinan, tenda sudah berdiri. Petang sebentar lagi akan menyapa. Seperti biasa, kelar meluruskan kaki dan merebahkan punggung barang sejenak, saatnya menyiapkan asupan energi untuk raga yang rapuh digerogoti lelah.

Saya membagi tugas seperti sebelumnya. Selepas makan malam, Firm, Ayi, dan teman yang lain mengajak kami semua untuk menikmati kerlap lampu kota yang syahdu di keheningan Pengasinan. Saat kau tolehkan wajahmu ke arah langit, ia seolah tersenyum lewat kerlipan bintangnya yang menakjubkan.

Siapa sangka, tempat yang begini indah untuk melihat city scape yang sempurna ini dulunya merupakan tempat pembuangan tawanan perang. Zaman telah berganti, reposisi fungsi segala sesuatu ikut berubah. Lagi-lagi ini hanya soal waktu.

Spectacular view

Sayup-sayup saya dengar dari dalam tenda, para lelaki itu tengah mengkaji ulang perjalanan kami sejauh ini. Mereka tengah membicarakan rencana perjalanan keesokan harinya. Saya mendengar mereka juga salut dan mengapresiasi kami, para perempuan, yang katanya cukup tangguh secara fisik dan mental. Saya hanya mengulum senyum yang tak dilihat siapapun. Terbersit rasa syukur sekaligus bangga pada tim yang baru saya kenal ini. Terlebih pada Halimah yang di awal sempat mengutarakan niat undur diri.

Ketika sunrise menjelang, kami semua bangun. Ada yang melaksanakan shalat, ada pula yang langsung beraktivitas lain menyambut datangnya mentari pagi. Dan, hari itu, 2 Agustus, ternyata Halimah berulang tahun. Wah, tentu ini kejutan. Menurutnya, kado terindahnya kali ini adalah keberhasilannya ikut pendakian sampai sejauh ini. Ia berhasil mengalahkan dirinya sendiri. Kami bergantian mengucapkan selamat dan mengamini harapan dengan doa.  



Selepas selebrasi dadakan itu, kami bersiap packing dan mengisi perut dengan makan pagi ala kadarnya. Selanjutnya, kami bersiap menuju puncak. Tidak seperti pendakian lain, yang biasanya hanya membawa daypack dan barang seperlunya menuju puncak, kali itu kami harus membawa semuanya. Sebab, kami akan melintasi jalur turun yang berbeda sesuai kesepakatan.

Merasakan Aroma Puncak

Siapa yang tak suka dengan aroma puncak? Dalam kehidupan nyata yang fana ini pun, banyak orang berebut menuju puncak. Seakan-akan berada di atas sana adalah segalanya. Banyak orang menghalalkan segala cara untuk menuju tangga kesuksesan itu. Benarkah?

Yang terpenting saat ini, kami berada di puncak ini dengan penuh perjuangan dan kerja keras yang jelas halal. Kami tak akan menyia-nyiakan momen bahagia ini. Setelah tiga hari dua malam kami mendaki, berjibaku di dalam rimba, bercanda mesra dengan alam, maka sambutlah kami semesta di puncak Ciremaimu yang kami nantikan..!

Saya paling bersemangat menuju puncak. Rasa tak sabar, penasaran, sekaligus menuntaskan gairah yang menggebu lebur jadi satu. Track menuju puncak tak kalah terjal. Bongkahan batu batu besar, sedang, dan kecil, berjajar tak beraturan. Mereka seolah-olah menantang kami, “lewati kami dulu untuk sampai ke puncak”.

Kebulatan tekad akhirnya membawa saya menjadi perempuan pertama yang sampai di puncak dari keseluruhan tim kami. Saya bersama Firman dan Botak di atas. Dari sana kami menyaksikan teman-teman yang lain sedang berjuang persis seperti yang kami lakukan sebelumnya. Siulan dan teriakan supaya semangat tak pudar juga kami lontarkan. 





Alhamdulillah, saya berhasil merengkuh keindahan Ciremai di ketinggian 3078 mdpl. Menjejakkan kaki di gunung tertinggi se-Jawa Barat. Nikmat mana lagi yang kami dustakan ya Tuhan Semesta Alam? Perasaan yang lagi-lagi membuat saya de javu saat tiba di puncak Mahameru. Rasa lelah seakan lenyap. Ia terhisap begitu saja oleh rasa takjub dan kebesaran-Nya. Manusia adalah makhluk kecil yang ditugasi menjadi khalifah (pemimpin) di muka bumi. Semoga kami bisa mengemban amanat ini sampai purna tugas nanti ya Rabb... Semoga tanah dan gunung-gunung yang kami pijak kelak menjadi saksi.

Kebahagiaan makin lengkap saat kami menyambut seluruh tim yang baru sampai di puncak ini. Kami berjabat tangan dan berpelukan, saling membesarkan hati dan mengapresiasi. 

Saat di puncak, ingat selalu untuk waspada dan bereuforia seperlunya. Foto-foto dan menghirup dalam-dalam wangi semesta, juga menyisipkan lantunan doa, mampu menjadi penawar hati yang lelah maupun gundah. Tapi selalu ingat, alam mengajarkan kita untuk eling atau ingat. Ketika di puncak, janganlah berlama-lama, tetap waspada, dan haru siap turun. 

Puncak bukanlah tempat untuk berkuasa dan bergagah-gagah. Ia ada sebagai pengingat akumulasi perjuangan yang telah kita lakukan dari bawah dan tertatih-tatih. Kemudian kita akan mengingat orang lain yang sedang melakukan persis seperti yang kita lakukan. Ketika mereka pun menyusul ke puncak, kita harus siap berbagi dan bergeser ke belahan pijakan yang lain lagi.



Seharusnya seperti itulah hidup yang sesungguhnya. Kita harus banyak belajar dan yang paling penting, menerapkannya. Hati-hati kami semua berjalan melewati jalan-jalan yang kecil dan setapak di bibir puncak. Kami harus tahu diri. Puncak bukan cuma milik kami.   

Bersambung ke bagian dua (wait ya)...drama betapa berharganya setetes air dan bagaimana naluri kita sebagai manusia untuk survive muncul secara alami~



Foto-foto : Firman, Benny, Ayi, Botak, Fly Break, Jurkhat

Prita HW

28 komentar:

  1. Wah masya Allah keren, Mbak Prita! Semoga suatu hari bisa kesini.
    Nice article n salam kenal ^_^

    BalasHapus
    Balasan
    1. Salam kenal juga..thanks udah nyempetin baca yah^^

      Hapus
  2. Kl baca cerita begini jd inget dl jaman saya kuliah pernah ndaki gunung. Kl sekarg mah udah tuaaa... Hihihi. Keren.

    BalasHapus
    Balasan
    1. coba lagi kemcer aja mbak, alias kemping ceria :D

      Hapus
  3. mantap, superwomen mba... saya aja sampe skrg blm pernah naik gunung ga boleh sama ibu

    budy | Travelling Addict
    blogger abal-abal
    www.travellingaddict.com

    BalasHapus
    Balasan
    1. hahaha, cobain dongs, kan traveling addict, sekali2 travelling yg kayak gini :p

      Hapus
  4. wah aku tinggal di cirebon arpi belum pernah daki gunung ciremai

    BalasHapus
    Balasan
    1. cobain aja mbak, tapi yg jalur landai aja :) keren banget!

      Hapus
  5. Mbak Prita keren, saya saja baru naik ke bukit setinggi 1 Km sudah ada di ujung nyawa rasanya. :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. masa? naik ke bukit apa coba? kl mau naik gunung beneran, emang kita perlu olahraga dulu lbh rajin dikitan dari sebelumnya, jogging kl aku :)

      Hapus
  6. Mba prita, aku sampai deg2an bacanya, saking focusnya baca kata demi kata ternyata wktu istrahat kerjaku gk ckup buat baca ini semua, aku sampai lanjut pas perjalanan pulang kerja. Subhanalloh, aku blm pernah naik gunung, pasti seru banget ya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. waaaa, how happy I am mbak, ada yg nyempetin baca kata per kata *terharu

      Makasih ya mbak, dan lain waktu hrs cobain yg landai2 dulu aja. dijamin ketagihan, sama temen yg udah pengalaman tapinya ya^^

      Hapus
  7. Jaman kuliah prnh bberapakali mendaki ciremai, baca tulisan ini jd inget masa kuliah hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. nostalgia ya mbak, sekarang bolehlah kemping ceria mbak, ahahaha

      Hapus
  8. Belum pernah kesana :D makasih infonya mbak

    BalasHapus
    Balasan
    1. nanjak lah om, sekalian ngecilin yg perlu dikecilin, wkwk :D

      Hapus
  9. Kak pritaaa emosiku teraduk aduk sisini. Harus biru. Bangga. Deg dega. Excited dll. Kece bgt ih! ��

    AkuUbelum sekuat dan setangguh kakak. Ditunggu cerita bagian 2nya ya kak��

    BalasHapus
    Balasan
    1. wah, aku juga surprised nih ada pembaca yg teraduk-aduk emosinya, makasiiiii ifa cantik :)

      Hm, pasti bisa kok kalo udah di medannya langsung. AKu juga ga tangguh2 amat, ala bisa krn biasa :) Wait ya, masih ditulis^^

      Hapus
  10. Masyaallah Mbak Prita. Saya sampai mana nafas membaca dari atas sampai bawah. Membayangkan Kalau saja saya ikuti rombongan ini, naik tanjakan curam dimana lutut ketemu kepala, saya jadi ikutan sesak napas. Dan alhamdulillah perjalanan tersebut terbayar tunai saat sampai di Puncak ya Mbak. Ikut senang Mbak Halimah tidak menyerah dan sampai juga di puncak :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. wah mbak Evi, makasih udah baca detail ya kisah ini :) iya alhamdulillah mbak, dibayar tunai saat di puncak. Halimah jg 1st time naik loh mb, bisa kan krn tekad, fisik mah ngikuti :)

      Hapus
  11. Aku meski berperawakan kecil, pengen banget mendaki gunung. Apalagi Ciremai, yang kalau pulang kampung ke Kuningan cuma lihat dari kejauhan doang. Pengen juga merasakan seninya bertualang & berjuang mencapai puncak :).

    BalasHapus
    Balasan
    1. hayuk mbak naik Ciremai, apalagi Kuningan kan, deket banget :) tinggal cari temen yg mau ngetrip kesana :)

      Hapus
  12. Naik Gunung Ciremai ini saat dulu kuliah. Sekitar tahun 96-98. Perjalanan yang tak pernah terlupakan. Naik dari jalur Linggajati, turun dari jalur sebaliknya. Tantangan yang berbeda di kedua jalur ini.

    BalasHapus
  13. ahhh serunyaaa... jadi kangen nanjak lagi dehhh.. tapi tau yah masih kuat ato ngga, hihihi

    BalasHapus
    Balasan
    1. nanjak bukit aja lagi mb, baru gunung, hehe..inshaallah mah kuat, mb zata kok :)

      Hapus
  14. Seru ya, Mbak, pake ada acara Abik nyaris hilang :D. Kuat juga Mbaknya dengan tubuh semungil itu sanggup mencapai ketinggian nyaris 3000 meter walopun sempet muntah...Klo aku dengan faktor U ini kayaknya mesti mikir2 dulu, hahaha..

    BalasHapus
    Balasan
    1. hahahaha, niat dan nekad sih ini mbak, yg penting bareng yg udah expert :)

      Hapus