Seminar Disiplin Positif : Patuh Itu Nanti, Yang Terpenting, Positif!





Seorang guru dengan langkah tegap masuk ke dalam kelas yang penuh dengan murid seusia sekolah dasar. Ia mendorong meja dan kursi, braak, braak, hingga mengagetkan seisi ruangan. Semua murid bergidik. Terutama saat sang guru berkata, “Ini kelas saya, aturan saya, karakter saya. Mengerti?”. Semua murid hanya bisa diam dan menjawab getir, “Iya, Bu”.

Gambaran di atas bukanlah kisah sebenarnya. Adegan tadi muncul sebagai pembuka berbentuk potongan kisah film Matilda pada Seminar Disiplin Positif yang digelar Kampus Guru Cikal bekerjasama dengan Rumah Baca HOS Tjokroaminoto Bekasi. Sabtu itu, 13 Agustus 2016, sekitar 25-30 orang memenuhi ruangan rumah baca di sudut Bekasi, Villa Mutiara Gading 1, Desa Setia Asih, Kecamatan Tarumajaya dengan posisi melingkar dan lesehan di atas karpet merah dan alas duduk puzzle warna warni. Peserta seminar berasal dari guru TK, SD, dan SMP dari Kecamatan Tarumajaya.

Saya yang kebagian membuka acara serasa berbunga-bunga menyaksikan para guru sudah duduk manis dan siap open mind untuk belajar. Maka, untuk semakin menguatkan perasaan itu, saya menambahkan dengan, “Disini saya bukan gurunya, fasilitator yang akan berbagi juga bukan pematerinya. Kita semua sama, disini untuk belajar...”.

Pembuka tadi sekaligus menjadi pemantik diskusi dalam seminar yang dimulai sejak pukul 10 pagi itu. Meskipun judulnya seminar, tapi prakteknya tak seformal itu. Malahan berlangsung dengan cair karena konsepnya melibatkan peserta. Saya sih sangat percaya, karena salah satu orang penting di Kampus Guru Cikal adalah mas Bukik Setiawan, yang saya kenal sebagai alumni vibrant facilitation bersama seorang sahabat dan guru fasilitasi saya, Mas Ridho Saiful dari Cerah Insitute. Cara menyampaikannya sudah pasti asik!



Apa itu Disiplin dan Apa Bedanya dengan Disiplin Positif ?

Potongan film tadi digunakan Bu Didi dari Kampus Guru Cikal yang hari itu menjadi fasilitator, untuk memancing peserta dengan pertanyaan, “apakah benar sikap seorang guru di potongan kisah tadi disebut dengan disiplin? Kalau bukan, seperti apakah disiplin itu?” Dibagi lima kelompok, diskusi dihiasa tawa renyah dan curhatan khas pengajar. Saya waktu itu sebagai pendengar di kelompok :) Dari hasil diskusi, muncullah kata kunci tentang disiplin, yaitu kesepakatan, komitmen, taat, terkondisi, dan tanggungjawab.

Pertanyaan lanjutannya adalah, apa yang harus ditumbuhkan dari kesemuanya itu? Semuanya sepakat bahwa yang harus ditumbuhkan adalah kesadaran diri sendiri. Itulah yang membedakan disiplin positif dengan disiplin biasa. Selama ini, para siswa di sekolah mencoba didisiplinkan melalui faktor eksternal yang terpisah dari dirinya. Contohnya seperti aturan-aturan yang harus ditaati, dan ketika melanggar, konsekuensinya adalah sangsi. Dan, seringkali aturan tersebut tidak berdasarkan kesepakatan sehingga banyak terjadi salah persepsi. Tak heran, kasus orangtua versus murid pun bermunculan beberapa waktu lalu.

Ada contoh menarik dari pengalaman Bu Didi yang ternyata memiliki anak dengan autis dan berusia 12 tahun. Saat di sekolah, ada peraturan yang mengharuskan anak-anak tidak boleh meletakkan kedua tangan dilipat di atas meja. Sedangkan Bu Didi tahu bahwa anaknya tidak nyaman seperti itu. Lalu, dia menanyakan ke gurunya, “Apakah aturan itu sudah disepakati bu? Lalu apa hubungannya tangan dengan proses diskusi? Bukannya badan yang rileks justru lebih santai untuk diskusi?”. Seketika itu gurunya hanya bilang, “Iya juga ya Bu, belum ada kesepakatan kok.”, ucapnya. Ealahhh :)




Apa kabar dengan faktor internal yang berupa kesadaran atau kontrol diri? Peranannya dalam proses mendisiplinkan seseorang memang kurang ditumbuhkan di sistem pendidikan negeri ini. Malahan sebagian besar guru, termasuk para orangtua berpikir saat anak duduk di bangku TK, “ah, masih terlalu kecil untuk menumbuhkan kontrol diri...”. Saat anak sudah memasuki usia SD, SMP, hingga SMA, “mestinya bisa ngontrol diri sendiri, kan udah gede...”. Lalu, salah siapa ini? (bingung mau nanya ke siapa juga, haha)

Saran Bu Didi, kita harus bisa membedakan dan memiliki batas diri sebagai orang dewasa. Mana yang disebut sikap sebagai suatu pelanggaran dan mana sikap yang disebut sebagai tahap perkembangan. Misalkan, saat anak usia TK ga mau diem mendengarkan arahan gurunya, apakah itu pelanggaran? Ternyata bukan, itu adalah tahap perkembangan. Nah loh :)

Jika kita menilik lebih jauh sejarahnya, seorang filsuf Yunani mengatakan disciplinea berarti instruksi atau ilmu pengetahuan. Sedangkan dalam terjemahan Bahasa Inggris, arti dari to disciple... adalah menjadikan murid... atau untuk belajar... Entah seperti apa perkembangannya hingga disiplin yang kita kenal saat ini menjadi beda tafsir. Sedangkan disiplin positif lebih menekankan pada perilaku positif dalam mengajarkan dan menguatkan (reinforce) perilaku yang baik. 




Tujuan disiplin positif seperti yang diungkapkan Bu Didi lewat slide yang interaktif adalah :
  • Kemampuan pengendalian atau penguasaan diri, dan motivasi diri
  • Sikap atau perilaku permanen, bertahan untuk jangka panjang, bukan hanya sekedar menghentikan perilaku yang salah
  • Bukan sekedar patuh, tapi tahu apa yang seharusnya dilakukan dan tahan godaan
  • Harus dibangun sejak anak berusia dini

Mitos-mitos tentang Disiplin

Sesi kedua adalah bagian paling menarik buat saya. Masing-masing kelompok ditugaskan membagi urutan nomor, nomor 1 sampai 5 yang ditunjukkan dengan kesepakatan kelompok. Masing-masing bertugas sebagai manajer diskusi, time keeper, juru bicara, notulen, dan juru ambil barang. Seru sekali menyaksikan ibu-ibu tertawa riang dan bahkan tak bisa berhenti sebelum lonceng bel mini yang dibawa fasilitator dibunyikan :) Terbukti orang dewasa pun terstimulus aktif, apalagi diterapkan pada pembelajaran anak-anak ya :)

Disebutkan ada empat mitos yang sering dianggap kebenaran di masyarakat, yang sebenarnya cenderung salah kaprah, yaitu :

Murid harus takut pada guru agar mereka hormat dan patuh

Mayoritas sepakat tak setuju. Takut tidak berhubungan dengan hormat dan patuh. Apalagi kalau takutnya karena ketegasan guru yang berlebihan seperti di awal film. Ah, lega rasanya saya tahu fakta ini. Guru juga manusia loh :)

Kuncinya adalah ajak anak untuk mengekspresikan emosinya. Terapkan dialog yang menunjukkan emosi seperti, “Seneng kan?” atau “Sedih ga?”. Kalau anak sedang marah, sebagai orang tua atau pendidik, kita bisa berkata, “Kamu marah, marah dulu. Nanti kalau udah ga marah, kita selesein...”. Begitu juga kalau kita sedang marah, sebaiknya hindari dulu dengan berkata, “Ibu lagi marah sekali. Diam dulu.” Setelah tenang, kita kembali untuk mendiskusikan solusinya, bukan mencari siapa yang salah sebagai bahan bullying. Ketika orang dewasa berani mengakui kesalahannya di depan anak, ia akan menganggap salah adalah hal yang wajar dan bisa diperbaiki.

Baca Juga : Nobar The Beginning of Life : Anak Bukan Kertas Kosong, Cari Tahu Pelajaran yang Bisa Diambil Disini

Secara psikologis, penyulut emosi adalah apa yang ada di dalam otak. Saat kita mengeluarkannya berbentuk kemarahan, itu akan tertular. Anak akan menjadi takut dan bagian dari otaknya yang semestinya untuk berpikir akan tertutup dan berpindah ke belakang menjadi otak reptil. Disitulah akan terjadi yang kita sebut lagi blank atau freeze sesaat. Pilihannya ada dua, kabur (flight) atau hadapi (fight).

Anak harus menderita supaya ga cengeng/tahan banting

Ini diskusinya lumayan panjang. Ada yang setuju, ada pula yang tidak setuju. Yang setuju mengatakan, ini penting dimiliki terutama untuk anak laki-laki. Sama seperti supaya bisa berdiri, anak harus jatuh dulu. Lalu, kalau belum ‘jatuh’, apa ‘dijatuh-jatuhin’, Bu? Semua tertawa.

Akhirnya, seisi ruangan sepakat  tentang definisi tahan banting. Yaitu sikap kuat mental dan beradaptasi supaya bisa survive sehingga memiliki dorongan dan motivasi tinggi untuk menjadi lebih baik. Tetapi perlu diingat, yang dibutuhkan anak bukanlah pengalaman menderita, tapi pengalaman sukses.  Sama misal seperti kita para emak atau istri yang berbunga-bunga saat masakannya dipuji suami tercinta, padahal di balik itu udah nyoba berkali-kali dan menurut kita belum standar enak. Apa yang kita rasakan? Langsung semangat bikin lagi, kan? Haha..

Sama dengan anak-anak. Saat mereka selesai bermain dan mainannya masih berserakan misalnya, kita bisa memberi pengertian dan dorongan. Bu Didi mencontohkan pengalamannya lagi saat anaknya mau membereskan mainannya, “Nah, enak ya sudah rapi mainannya, nyarinya jadi gampang...”. Tapi saat si anak ngambek dan memilih ga mau membereskan, ia akan bilang, “Tuh kan, jadi susah nyarinya.. Sini, sini (sambil meraih anak), sedih kamu? Sebel? Tuntasin dulu sedihnya, sebelnya dikeluarin dulu. Baru kita ngobrol ya..”. Sama dengan di atas, ajak anak express the emotion.
Anak kalau dibaikin bisa ngelunjak

Sama dengan mitos sebelumnya, ada pro dan kontra disini. Sebaiknya, terus ciptakan lingkungan yang positif. Lingkungan yang positif tentu saja baik. Me-minimize efek yang disebut ngelunjak, diperlukan tindakan yang konsisten dan tegas. Lebih baik lagi bila aturan yang diterapkan berdasarkan kesepakatan bersama. Semuanya harus jelas, kenapa begini dan begitu, sebab jika begini atau begitu tujuannya bisa tercapai.

Guru tidak boleh salah supaya tidak kehilangan muka

Sekali lagi, guru bukan Tuhan yang mutlak benar ya :) Jadi, jika guru salah, wajar, akuilah seperti yang sudah saya bahas juga di atas. Yang terpenting bukan kesalahannya, tapi solusinya.

Yang perlu diingat, disiplin dalam kekerasan hanya akan menjadi mata rantai. Ia menular begitu saja tanpa kita sadari. Anak yang dibiasakan disiplin dalam kekerasan akan berlaku sama pada generasi selanjutnya seolah-olah menjadi bagian dari ‘balas dendam’. 

Akhirnya, perkara patuh itu nanti. Yang terpenting positifnya dulu. Acara Sabtu yang hanya berlangsung dua jam tapi sarat makna itu diakui terlalu singkat oleh para peserta yang antusias menyimaknya. 




Seminar gratis sebagai bagian dari kampanye pendidikan positif Kampus Guru Cikal ini ditutup dengan sebuah potongan film tentang seorang guru yang menerapkan disiplin positif di kelasnya yang siswa SMA. Anak-anak diajak menyimak pesan dari sebuah lukisan tua tentang sosok-sosok alumni sekolah itu, dan mendorong mereka mendengar pesan tersembunyi dari lukisan tersebut dengan mendekatkan telinganya ke arah lukisan. Padahal, sang gurulah yang berbisik lirih dan menghujam jantung para siswanya dengan pesan : petiklah hari, buat hidupmu berarti. Pesan yang sama yang perlu kita sampaikan ke anak-anak kita. Entah dengan peran kita sebagai pendidik formal ataupun pendidik seumur hidup di tengah-tengah keluarga tercinta.

Prita HW

21 komentar:

  1. diskusinya keren mbak, seandainya semua guru tahu mengenai hal-hal semacam ini ya
    salam kenal mba

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya mbak, semoga dari yg kecil ini bs menyebar..salam kenal balik mbak^^

      Hapus
  2. Sebagai madrasah utama dan pertama bagi anak2 di rumah, ilmu tentang disiplin ini penting banget. Terutama soal mitos, heu.. tfs mb ^^

    BalasHapus
    Balasan
    1. ya mbak bener banget, mitos itu bener2 nampol di banyak pikiran orang2 :D sama2 mb, makasi udh mampir

      Hapus
  3. film itu (yang mendengar lukisan) "dead poet society" bukan ya mbak? kayaknya kok familiar sama kata-kata sang guru. seize the day.

    BalasHapus
    Balasan
    1. yes mbak, bener banget. seize the day :) pengen nonton, aku blm lihat full nya^^

      Hapus
  4. Sikap2 positif memang harus ditanmkan sedini mungkn ya Mbak. Kemudian dibiasakan biar menjadi kebiasaan anak juga dan menjadi karakternya. Acaranya keren ^_^

    BalasHapus
  5. Wah sepertinya saya harus banyak belajar disiplin positif, makasih sharingnya Mbak

    BalasHapus
    Balasan
    1. sama2 sy juga masih byk belajar mb, makasi udah mampir^^

      Hapus
  6. Saya tertohok mbak. Kayanya saya banyak seperti contoh2 itu :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehehe, selamat tertohok mbak, yuk move on, haha:) makasi udah mampir

      Hapus
  7. Wih, saya favorit banget sama film Mathilda, Mbak ��

    BalasHapus
  8. Aku juga suka nonton Matilda :D
    Wah keren seminar2 kyk gtu. Mbok ya sekali2 ngadain di Depok biar hadir aku hehehehe
    TFS Prit :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. wkwkwk, km yg ketempatan ya Pril kl di Depok, tar aku sambung2in :D

      Hapus
  9. Disiplin itu adil menempatkan sesuatu pada tempatnya begitu juga prilaku. Yang penting konsisten, fair dan friendly. Keren dan salam criing bu

    BalasHapus
    Balasan
    1. betul banget :) makasih udah mampir, criing juga :)

      Hapus
  10. Disiplin tentang "tangan di atas meja" juga menganggu saya ketika sekolah dulu. Kalau guru menjelaskan, saya terbiasa "memutar" buka dengan satu jari sambil memperhatikan beliau menjelaskan.. tapi, saya malah dilempar penghapus.. huhuhu.. padahal saya tidak ribut.. mungkin menganggu pemandangan karena buku berputar2 di dekat kepala saya.. hahaha..

    BalasHapus
  11. Sekali lagi saya setuju sama sampean :D heheh

    BalasHapus