Nobar The Beginning of Life : Anak Bukan Kertas Kosong, Cari Tahu Pelajaran yang Bisa Diambil disini

Apa yang biasanya umum dilakukan pada hari Minggu? Berolahraga ringan, jalan-jalan, nonton film berkebun, atau hobi yang lain? Nah, Minggu. 7 Agustus 2016 kemarin saya nonton film yang tak biasa. Maksudnya, bukan di bioskop, bukan pula sambil bermalas-malasan di rumah, tapi kali ini nonton film bareng (nobar) yang digelar (masih) dalam rangka hari anak 23 Juli bulan lalu. Filmnya bertajuk The Beginning of Life dan bertema Anak Bukan Kertas Kosong. Roadshow nobar ini diinisiasi oleh Ashoka dan TemanTakita.com. Kemudian disambut oleh beberapa temen-temen komunitas. Di Bekasi, adalah GaraTive (Garasi Creative) yang menggelarnya.

Nobar Anak bukan kertas kosong

Nobar kali ini bukan dilaksanakan di markas GaraTive sesuai namanya, sebuah ruang garasi milik Utami dan suaminya yang dimanfaatkan untuk aktivitas yang bermanfaat bagi banyak orang, khususnya emak-emak dan anak-anaknya :) Nobar film dokumenter berdurasi 1,5 jam tersebut dilaksanakan di rumah salah seorang pegiat GaraTive juga, Virni Erwe, yaitu di Kampung Bulak Perwira, RT 04/RW 17, No.55, Kelurahan Perwira, Bekasi Utara. Lumayan lah dari tempat saya di Kec.Tarumajaya, 40 menitan kira-kira dibantu google maps, dan arahan sang tuan rumah, meski sempat nyasar-nyasar dikit :)

Memangnya tentang apa sih? Berjudul The Beginning of Life, film dokumenter ini ingin mengupas tentang a new beginning for humanity atau sebuah permulaan bagi kehidupan manusia. Dalam film ini, kita disadarkan bahwa memiliki seorang anak dan ada di tengah-tengah mereka sebagai bagian dari kehidupan sosial secara menyeluruh adalah sebuah anugerah yang luar biasa. Nikmat yang tak pernah tergantikan oleh apapun. 

Film dan Pesan di Dalamnya

Penggalan-penggalan film menampilkan potret keluarga-keluarga di sebagian besar belahan dunia, seperti di benua Amerika, Eropa, Asia, juga Afrika.  Tidak saja dari keluarga profesional, kelas pekerja, tapi juga keluarga di tingkatan kelas bawah yang berada dalam kemiskinan yang nyata. Mereka bercerita tentang bagaimana perasaan kasih sayang terdalam kepada seorang anak begitu natural muncul dari dalam, dan tak ada yang bisa menyainginya. Dalam berbagai bahasa, hampir seluruh ibu-ibu maupun bapak-bapak tadi mengungkapkan hal yang sama dengan bahasa yang berbeda-beda.

Fakta kemudian dibalut dengan berbagai dasar paparan teoritis yang disampaikan pakar-pakar pendidikan anak, tumbuh kembang, seperti Harvard University dan sebagainya. Ditambah, pengalaman berpartisipasi dan menggagas berbagai kolaborasi dari organisasi yang menyuarakan hak anak dan NGO (Non Government Organization) seperti UNICEF, Terry Children Foundation, Fruitful Talent Center, dan lain lain. 

Nobar Anak bukan kertas kosong

Menurut para pakar tersebut, kadang banyak orangtua di dunia ini bahkan kita sendiri yang tidak menyadari betapa pentingnya anak menjadi bagian dari kehidupan. Maksudnya, tidak sekedar status yang berubah menjadi ayah atau ibu, tetapi lebih dari sekedar itu.

Lazim kita temui saat ini, banyak orangtua yang berpikir dengan pola pikir orang dewasa saat menangani anak-anak mereka. Bahkan sejak mereka masih balita. Pernah menemui anak-anak yang duduk di kursi plastik khusus agak tinggi saat kita makan di restoran? Coba amati, apa yang anak-anak lakukan? Ia akan menjatuhkan apapun barang-barang yang ada di dekatnya, bisa sendok, garpu, dan kemudian orangtua mengambilnya kembali, kemudian dijatuhkannya lagi, hingga berulang aktivitas yang sama. Kalau kita di posisi orangtua, apa yang kita lakukan? Apakah berteriak histeris, “Jangan nakal, Nak, kok semua dijatuh-jatuhin. Ga suka mama...” , sambil melotot mungkin? Hahaha, artinya kita masih termasuk tipe orangtua yang sekedar berubah status.

Para pakar menyebutkan, bayi adalah manusia pembelajar terbaik di semesta. Merekalah ilmuwan terbaik yang pernah ada. Bahkan diyakini bahwa anak bukanlah kertas kosong. Sebagai orang dewasa kita harus belajar dari mereka. Merekalah jenis manusia yang pantang menyerah, yang belajar dari proses pengulangan berkali-kali atas apa yang mereka cobakan dalam ‘laboratorium’ mereka. Seperti saat menjatuhkan barang, mereka senang hanya karena penasaran untuk mengenal bunyi jenis apa yang mereka dengar dari benda tersebut. Kedengarannya seperti bermain memang, namun jangan salah. Memang bermainlah sarana belajar utama anak-anak. Ada semacam dorongan dari lahir untuk menguasai sesuatu. Saya jadi teringat dengan tagline every child is special di film Like Stars on Earth. 


Respon orangtua dalam merespons semua aktivitas ke’ilmuwan’-an anak tadi sebenarnya juga merupakan bahan feedback untuk anak-anak. Mereka menciptakan persepsi dalam dirinya saat melihat orangtuanya marah atau senang dengan perbuatannya itu. Dan ini yang secara tidak langsung tertanam dalam alam bawah sadarnya saat usia yang sering kita sebut sebagai golden age. Disebutkan juga, bahwa apa yang anak-anak lihat, alami, dan rasakan saat itu akan menjadi struktur emosi terpenting dalam hidup.

Nobar Anak bukan kertas kosong

Dipaparkan pula bahwa keluarga profesional dan kelas pekerja lebih mampu untuk membentuk struktur itu lebih baik sebab tingkat pengetahuan dan pengalaman mereka. Sedangkan dalam keluarga kelas bawah dan miskin, tidak demikian. Sebuah penelitian mengungkap fakta bahwa kata yang dikeluarkan anak-anak saat usia 4 tahun di keluarga miskin 30 juta lebih sedikit daripada kata-kata yang diungkapkan anak-anak usia yang sama di keluarga profesional. Ini karena perbedaan dialog yang diciptakan orangtuanya.

Saya terkesan dengan cerita seorang ibu keluarga miskin dari Afrika yang saat berusia 37 tahun telah memiliki 12 anak. Bahkan ia sempat berada dalam pengaruh obat-obatan saat mengasuh anak-anaknya itu. Sampai kemudian ia tersadar saat pernyataan anak pertamanya memprotes kelakuannya itu. Ternyata, si ibu mengalami depresi berat karena gambaran masa kecilnya dulu, dan memaksanya memilih pergaulan yang salah. Bayangkan, sejak masih kecil, ia sering melihat ayah ibunya bertengkar. Ayahnya sering memukul atau menampar ibunya hanya karena senang melihat darahnya menetes. Ia mengingat lekat peristiwa itu hingga sekarang...

Kerjasama Ayah dan Ibu

Seorang ibu tentu memiliki peran yang berbeda dengan seorang ayah. Satu sama lain saling melengkapi. Meski memang ibu diberikan hak prerogatif yang amat spesial karena dalam rahim seorang ibulah, sebuah kehidupan dimulai. Dan ialah yang dipilih untuk merasakan semua proses yang ajaib itu. 

90 %  keluarga-keluarga di Amerika dikatakan menginginkan merawat bayinya sendiri, namun tercatat hanya 16 % yang merawat bayinya sendiri. Ini menjadi sebuah dilema. Apalagi ketika sang ibu menjadi single parent. Satu cuplikan juga berkisah, bagaimana seorang ibu bercerai dengan suaminya lantaran ia lupa menjadi seorang wanita bagi suaminya. Ia terlalu totalitas memikirkan anak-anaknya. Biasanya ia bekerja di siang hari, namun karena anaknya bercerita ke guru privatnya bahwa ia kehilangan ibunya di siang hari, si ibu trenyuh dan mengubah jam kerjanya menjadi malam hari. Siang, ia bisa menemani anak-anaknya, dan malam ia langsung gunakan untuk bekerja, tanpa jeda atau waktu istirahat khusus.


Nobar Anak bukan kertas kosong

Ada juga dikisahkan pasangan lesbian yang mengadopsi anak-anak dan mengasuh mereka dengan menjalankan fungsi ayah dan ibu. Khusus yang satu ini, tentu tak masuk kriteria sudut pandang kita sebagai seorang muslim ya :)

Meski disebutkan oleh salah seorang pakar, “Bahkan seorang ibu bisa mendidik sendiri anak-anaknya hingga menjadi sangat sukses...”, tentu berbagi peran adalah yang terbaik. Ayah adalah makhluk yang mengajarkan pada anak-anak bahwa ada dunia luas diluar sana selain dunia ibunya. Kasih sayang seorang ayah bisa ditunjukkan dengan hanya kehadirannya saja. Bayangkan, bila lebih dari itu. 

Nobar Anak bukan kertas kosong

Yang menjadi persoalan, kadang-kadang hubungan ayah dan ibu menjadi tidak setara saat si ibu merasa hanya ada satu cara merawat anak, yaitu caranya sendiri. Maka, tak heran sering ada pertanyaan seperti, “Bisa bantu aku untuk....?”. Padahal ini bukan perkara siapa membantu siapa, tapi lebih pada kesadaran partnership. Uniknya, satu cuplikan keluarga di Denmark menuturkan, di negaranya, ayah juga diberikan ijin cuti yang sama seperti ibunya saat baru memiliki seorang anak, yaitu selama 4 bulan. Wah...

Apa yang kita Pelajari dari Film ini ?

Sebagai seorang perempuan dan calon ibu yang biasanya banyak berjibaku dengan anak-anak secara non formal, tentu ini menjadi referensi penting buat saya. Pastinya bagi temen-temen yang lain juga ya :) Karena, film ini tidak bisa didapatkan secara cuma-cuma sebelum roadshow nobar dan diskusi berakhir pada akhir Agustus nanti. 

Nobar Anak bukan kertas kosong


Dari hasil diskusi bersama sekitar kurang leboh 10 emak-emak dan beberapa diantaranya mengajak sang suami, ini dia intisari pelajaran dari film yang bisa saya bagikan :
  1. Sebagai orangtua, kita harus mulai menyadari bahwa anak adalah bagian kehidupan yang penting, dan mereka bukanlah kertas kosong.
  2. Anak adalah ilmuwan terbaik dan pembelajar terbaik di semesta. Ia menciptakan persepsinya sendiri pada berbagai ‘percobaan’ nya.
  3. Golden age adalah masa penting untuk membangun struktur emosinya. Apa yang ia lihat, alami dan rasakan akan tertanam dalam alam bawah sadar seumur hidupnya.
  4. Bermain adalah sarana belajar utama anak-anak karena mereka memiliki dorongan dari lahir untuk menguasai sesuatu.
  5. Dukungan orangtua adalah hal terpenting untuk anak.
  6. Ciptakan dialog bersama anak-anak dalam segala situasi, seperti menciptakan kegiatan bersama yang menyenangkan dan berbeda. Misalnya, saat kita memasak di dapur, berikan ia kepercayaan untuk memiliki ‘dapur’ nya sendiri; masuk dan bermain peran bersama anak-anak dalam dunia imajinasi mereka, seperti bermain dokter dan pasien, guru dan murid, dan sebagainya.
  7. Kata-kata, kasih sayang, dan waktu bermain adalah sumber daya gratis yang harus diberdayakan orangtua. Bukan yang lain, seperti kemampuan orangtua menyediakan atau membelikan mainan bagus dan baru.
Akhirnya, pertanyaan Einstein saat diwawancarai wartawan, yang saat itu menantangnya untuk melontarkan satu pertanyaan dalam hidup, yang dipikir bakal berbentuk pertanyaan yang rumit adalah : apakah alam semesta ini ramah? Pertanyakan itu pada diri kita sendiri, apakah sebagai orangtua atau pendidik seumur hidup, kita telah mendorong alam semesta ini menjadi ramah bagi dunia anak-anak dan imajinasinya...?



Prita HW

4 komentar:

  1. wah bagus banget ya dokumenternya, cari ah, pengen nonton juga. Makasih ya artikelnya mba Prita, lengkappp...

    BalasHapus
    Balasan
    1. makasih mb Zata udah baca2. Boleh mbak kl mau ngadain nobar n diskusinya bareng komunitas mbak Zata, CP ny ada di aku :)

      Hapus
  2. Penasaran juga sama film ini, d bandung udh bbrp kali jg liat iklan nobar, tp blm ad kesempatan buat ikut nonton. Aaaah jd tambah penasaran.. tfs mba, salam kenal ^^

    BalasHapus
    Balasan
    1. wah mbak, iya di Bandung ada yg ngadain nobarnya, aku sempet liat. Hehe, selamat penasaran ya mbak :)

      Hapus