Menemukan Kembali Indonesia di Rumah Baca HOS Tjokroaminoto : Catatan Menyongsong Zelfbestuur

Mendengar rumah baca, pasti yang terbayang di benak kamu adalah buku dan baca. Kalau iya, berarti kamu masih kuno :) Yap, sekarang sebuah tempat bernama rumah baca pun tak hanya identik dengan buku-buku saja, tapi lebih dari itu. Bahkan, akhir-akhir ini istilah literasitaiment sedang marak diusung. Nah, Malam Apresiasi Sastra dan Budaya yang digelar Rumah Baca HOS Tjokroaminoto pada Sabtu (28/05) lalu boleh jadi dianggap sebagai bentuk perwujudannya.

Ini bukan pentas seni atau sekedar hiburan biasa. Malam Apresiasi Sastra dan Budaya ini dimaksudkan untuk menyongsong Peringatan 100 Tahun Zelfbestuur (1916-2016) yang sejatinya jatuh pada 17 Juni. Menurut penggagas acara yang juga founder Rumah Baca HOS Tjokroaminoto, hm saya memanggilnya Om Agustian, acara sengaja dimajukan karena bulan Juni sudah memasuki bulan puasa. 


Poster acara keren ini

Rumah Baca HOS Tjokroaminoto tak menggelar hajatan spesial ini sendirian, tapi berkolaborasi bersama Rumah Peneleh, Syarikat Islam, dan Sastra Indonesia Raya.

Saya sendiri yang baru awal tahun didapuk menjadi Direktur rumba ~jangan bayangin punya ruangan besar dan meja direktur yang bisa muter-muter itu ya, itu cuma kiasan kok :)~ malam itu tak bisa langsung menyaksikannya. Bukan disengaja juga, tapi ada amanah lain di waktu yang bersamaan. Tapi, saya sangat percaya pada energi kawan-kawan relawan yang kece badai.

Saya cuma bisa membantu persiapan sebelum hari H sambil membantu berdoa sebanyak-banyaknya :)

Sampai kemudian, hati saya benar-benar lega sekaligus bersyukur, girang bukan kepalang saat melihat whatsapp group Rumba HOS Tjokroaminoto dihiasi foto-foto senyum sumringah panitia dan pengisi acara. Meskipun sang Ketua Panitia, Nadhia Ainun bertutur bahwa acara baru dimulai pada 20.30 yang awalnya berniat dimulai pada 19.00 "Maklum, malam minggu biasanya macet, apalagi yang datang orang-orang sibuk di jajaran pengisi acaranya," begitu maklumnya.

Meski bertempat di samping bangunan rumba dan hanya dipisahkan sekat backdrop dengan kawanan lele yang sedang diternakkan, acara yang berlangsung di halaman kompleks Sekolah Alam Anak Sholeh, Villa Mutiara Gading 1, Blok H, Desa Setia Asih, Kecamatan Tarumajaya, Kabupaten Bekasi tersebut berlangsung syahdu. Selain semarak pameran karya foto Kamera Lubang Jarum (KLJ) adik-adik Sekolah Alam Anak Sholeh, juga pameran karya koran keren handycraft yang terbuat dari koran bekas yang kemudian dicat besi dan divernis) dari SMP Terbuka Ilalang. Keduanya adalah sekolah afiliasi Syarikat Islam dan juga jaringan aktif Rumah Baca HOS Tjokroaminoto. Selain stand rumba sendiri tentunya, kabarnya merchandise tote bag nya laris manis. Senangnya...


Salah satu stand pameran karya. Sumber : www.bisotisme.com

Zelfbestuur sendiri merupakan ide pemerintahan sendiri yang didengungkan oleh HOS Tjokroaminoto sendiri pada pidato Konggres Nasional I SI, Juni 1916, jauh sebelum kemerdekaan bangsa ini pada 1945. Berikut penggalannya :

"Bahwa tidak pantas lagi Hindia diperintah oleh negeri Belanda, bagaikan tuan tanah yang menguasai tanah-tanahnya. Tidak pada tempatnya menganggap Hindia sebagai seekor sapi perahan yang hanya diberi makan demi susunya; tidaklah pantas untuk menganggap negeri ini sebagai tempat kemana orang berdatangan hanya untuk memperoleh keuntungan, dan sekarang sudah tidak pada tempatnya lagi bahwa penduduknya terutama pada anak negerinya sendiri, tidak mempunyai hak untuk turut berbicara dalam soal pemerintahan, yang mengatur nasib mereka..."
(Rambe, Safrizal. Sarekat Islam, Pelopor Bangkitnya Nasionalisme Indonesia 1905-1942. Jakarta. Yayasan Kebangkitan Insan Cendekia, 2008)

Jika melihat asal muasal peristiwanya, tentu zelfbestuur erat kaitannya dengan politik praktis, namun acara malam itu berusaha untuk berangkat dari titik yang berbeda untuk memaknainya. Tak heran, bila tema "Menemukan Kembali Indonesia Sesungguhnya" kemudian dipilih. Menurut hemat saya, berbagai karya apreasiasi seni dan budaya yang ditampilkan merupakan ekspresi sekaligus refleksi dalam upaya penemuan kembali rasa ke-Indonesia-an saat ini.

Suasana remang-remang dan backdrop berdesain mewah di ground stage sederhana menambah suasana syahdu dan khidmat malam itu. Para hadirin asik mahsyuk mengagumi tarian, meresapi pembacaan puisi, monolog, penampilan teater, hingga pidato kebudayaan di puncak acara.

Tari Ronggeng Blantek. Sumber : www.bisotisme.com

Acara dibuka dengan penampilan tari Ronggeng Blantek khas Bekasi yang dibawakan tiga siswi SMAN 1 Tarumajaya yang tinggal tak jauh dari lokasi rumah baca. Disusul pembaca puisi pertama, Syafinuddin Al-Mandari dengan karyanya berjudul "Sudah Lama Aku Jadi Tuhan".


Syafinuddin Al-Mandari. Foto : Suwandy

Berlanjut pada puisi "Syair Orang Lapar" karya Taufiq Ismail yang dibawakan apik oleh Valina Singka yang juga Ketua Umum Pimpinan Pusat Wanita Syarikat Islam. Berturut-turut kemudian ada cicit HOS Tjokroaminoto, Aulia Tahkim yang membacakan puisi karyanya, disambung Ella Jagad, dan terakhir puisi "Kepada Arwah HOS Tjokroaminoto" karya Almarhum Buya Hamka yang dibacakan oleh Hj. Aty Cancer yang lebih akrab kita kenal sebagai Emak Ijah dalam film Emak Ingin Naik Haji.

Aty Cancer "Emak Ijah". Foto : Suwandy

Yang tak kalah mengejutkan adalah monolog dan teater persembahan dari JALA PRT (Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga).Teater Praang adalah nama yang dipilih untuk mewadahi aktivitas oleh seni gerak, suara, dan tubuh para pekerja PRT se-Jabodetabek yang dilatih oleh Om Agustian. 

Mereka memerankan dirinya sendiri, PRT yang banyak mengalami perlakuan yang sejatinya melanggar HAM. Namun, sebagian besar dari mereka, seperti yang dikisahkan Om Agustian, banyak yang masih tetap bekerja sebagai PRT karena mereka mencintai pekerjaannya. Dengan adanya kegiatan positif seperti bermain teater ini, diharapkan PRT pun bisa beraktualisasi diri selain terus update tentang literasi profesinya, dan menalin silaturrahim untuk saling sharing dan menguatkan. Luar biasa! Saya sangat salut karena mereka pun mau berlatih demi mempersembahkan penampilan terbaiknya.


Penampilan Teater Praang. Foto : Suwandy

Di malam puncak, seluruh hadirin mendengarkan pidato kebudayaan oleh Hamdan Zoelva yang juga Ketua Umum Lajnah Tanfidziyah Syarikat Islam (SI). Dalam pidato tersebut, beliau mencoba memanggil memori kita tentang sejarah kemunculan zelfbestuur, sosok HOS Tjokroaminoto, dan konteks kekiniannya dengan kondisi bangsa hari ini.Menurutnya lagi, upaya yang dengan susah payah diwujudkan oleh para pendahulu jangan sampai sia-sia. Salah satu upaya menolak kesia-siaan itu adalah dengan berprestasi dengan dasar sikap kalimat HOS Tjokroaminoto, yaitu setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat.


Hamdan Zoelva dan Pidato Kebudayaannya. Foto : Suwandy

 

Selamat untuk panitia!

Special thanks untuk Om Wandi Soe atas foto-fotonya yang bikin merinding.

Prita HW

4 komentar:

  1. Baru tau kalau sosok HOS Cokro aminoto adalah santri dan lulusan gontor

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya bener mas, secara keturunan memang santri, terutama dr keluarga istrinya :)Ada di buku Jang Oetama nih di rumba, mampir2 yah :)

      Hapus
    2. Masa sih kak? missed saya soal Gontor ini :)

      Hapus
  2. Baca tulisan + komentar tulisan ini, jadi pengen main ke Rumba, nih, Mbak. Ajak-ajak ya, hihihi.

    BalasHapus