Pengalaman Perdana ke Museum Kebangkitan Nasional yang Perlu Kamu Tahu

Kalian pernah ke museum ? Selamat, berarti kalian termasuk jenis manusia yang menghargai peradaban :) Seperti yang umumnya kita tahu, berkunjung ke museum itu sama sekali bukan minat utama tujuan berwisata, terutama di Indonesia. 

Makanya, nggak jarang banyak dari kita yang juga akhirnya ikutan malas pergi ke museum karena banyak yang nggak keurus dalam pelestarian dan pengelolaannya. Tapi, nggak semua museum kok begitu. 

Dulu, saya pernah berkunjung ke museum tuh saat ada mata kuliah Museologi, semacam membandingkan dua museum yang dikelola pemerintah dan swasta. Umumnya, di depan kita diminta untuk membeli sejumlah karcis dengan nominal tertentu, ada juga yang menyediakan jasa guide, ada juga yang nggak. Kalau di Museum Kebangkitan Nasional gimana ya ? Penasaran, kan ?


Muskitnas tampak depan. Sumber : www.1001malam.com
***

Baiklah, kalau yang kali ini mau saya ceritakan adalah pengalaman perdana, asli pertama banget ke Museum Kebangkitan Nasional, yang jaraknya katanya nggak terlalu jauh dari Stasiun Senen. Loh kok katanya ? Iya, saya waktu itu sebenarnya ada agenda kopdar begitu lah dengan teman-teman komunitas. Tempatnya di perpustakaan komunitas Buku Berkaki, Muskitnas, begitu museum ini biasa diakronimkan. Bayangan saya udah asik aja, sekalian pelesir.


lorong yang adem dan agak gelap

 Nah, dengan commuter line dari Bekasi, hari itu weekend, kalau nggak salah, Sabtu, 5 Maret 2016. "Turun dari Senen, nanti langsung ke kanan ya setelah pintu gerbang, tar nyebrang aja, langsung ke atrium Senen, lalu jalan kaki deh ke Muskitnas", begitu pesan singkat yang saya terima.

Tapi dasar saya ini sering nggak banget menerjemahkan arah dan peta, ya bisa ditebak, saya berhasil nyasar. Keluar dari pintu gerbang utama, saya ke kanan, berjalan menyusuri Pasar Senennya, lalu lurus terus hampir ke lampu merah, sampai akhirnya masuk gang, nyebrang, jalan lagi, lalu baru nembus ke arah Kwitang, sampai di depan RSPAD Gatot Soebroto, saya sempat menggunakan gmaps. Hahaha, parah pokoknya.

Saat kaki ini menapaki jalanan aspal, tiba-tiba terlihat gedung tua yang dulu disebut Gedung Stovia, dengan tulisan MUSEUM KEBANGKITAN NASIONAL, hati ini rasanya luegaaaaaaa, dan meminta kaki ini untuk segera duduk selonjoran dan menghela nafas.

Sekilas parkiran motor dan mobil terlihat penuh, dan tulisan GRATIS begitu mencolok di baliho besar. Saya kira tiketnya gratis, ternyata ada latihan menari gratis untuk segala umur. Dap, dap, dap, saya pede aja nyelonong memasuki lorong yang di kanan kirinya disambut foto-foto tokoh pergerakan Boedi Oetomo. Adem sih, tapi kok ada yang aneh ya? Masa saya nggak disambut siapa-siapa sih ? 

Tiba-tiba, "Mau kemana, mbak ?", suara tegas menyapa saya, sekaligus ada nada kepo yang agak menyelidik. Mungkin karena saya langsung foto-foto lorong tadi kali ya. 

Saya jawab aja, "Mau ke Buku Berkaki, Pak. Tapi sebelumnya, saya mau ke museum dulu", saya jawab apa adanya. Memang saat itu saya mau kopdar disana. Tapi karena masih ada beberapa jam, saya mau memanfaatkan waktu untuk berkeliling museum ceritanya.

"Loh, yang jelas mbak ini mau kemana ? Kalau ke Buku Berkaki di belakang, nggak usah bayar. Kalau ke museum, beli tiketnya disana.", satu jawaban yang menurut versi saya kok kayak jawaban eror komputer ya, ketika dijawab A campuran B, jadinya nge-hang dan bikin bete. 

Saya sampai berpikir, apa museum ini nggak bisa ya menyediakan jasa customer service yang mengucapkan selamat datang dan mempersilahkan pengunjung. Yang saya temui, cuma dua pria berseragam gelap yang seolah bodyguard di garda depan museum, semacam security begitulah.

Saya sambil bersungut juga menyahut, "Bapak biasa aja, tiketnya dimana ? Saya emang mau jalan-jalan dulu kok malah jawab bentak-bentak gitu" . Kombinasi rasa lelah di kaki, nafas yang butuh asupan air mengaliri tenggorokan, membuat mata saya jadi berkaca-kaca, lelah sangat dan sambutan tak ramah! Akhirnya saya ke loket yang tak bertanda itu, dan membayar saja, Rp. 2000.

Entah alur begitu pengunjung masuk itu seperti apa, saya langsung berjalan acak menuju tempat yang sepi, lewat jalan samping kanan. Yang saya cari adalah tempat duduk, selonjoran, dan meneguk air mineral di botol minum yang saya bawa. Dan menghirup nafas dalam-dalam di lingkungan museum yang cukup sejuk itu. Untuk menghibur diri, tiketnya saya foto sebagai penanda kalau saya udah sampai disini.


Tiketnya murah banget

Seusai kepala saya agak dingin, saya mencari sumber suara yang mengajarkan anak-anak menari tradisional. Ah, sebaiknya saya mengabadikan aktivitas weekend ini sajalah, gumam saya dalam hati. Sambil throwback, teringat masa lalu pas saya sempat les menari saat SD sampai SMP, bahkan mendapatkan uang perdana dari bayaran menari massal di hadapan Bupati Jember, hehe...


Anak-anak semangat belajar menari

Kemudian, saya melangkah lagi ke ruang sebelahnya yang mirip aula pertemuan, masih sama, disitu juga ada latihan menari. Bedanya, pesertanya adalah ibu-ibu yang masih semangat untuk belajar olah gerak kreatif ini. Wah, salut ya... Sedang di sisi-sisi taman dan di atas ubin Muskitnas yang bersih, beberapa ibu-ibu asik ngerumpi sambil menunggu anaknya berlatih. Sementara bapak-bapaknya ada yang merokok sambil memainkan gadget atau duduk-duduk bengong. 


Ibu-ibu tak kalah atraktif

Oke, sekarang saya penasaran dengan lokasi perpustakaan komunitas Buku Berkaki yang menempati salah satu ruangan di Muskitnas ini. Cukup lega dengan karpet merah. Tapi, saat saya kesana, terlihat masih riuh dengan aktivitas anak-anak yang belajar angklung. Wah, senangnya... Lagi-lagi throwback, inget-inget dikit dulu pernah sehari belajar angklung bareng Saung Mang Udjo yang terkenal di Bandung itu. Dan baru ngeh kalau tiap angklung punya not nada yang berbeda-beda :)


suasana perpustakaan komunitas Buku Berkaki
 
Lambat laun, saya mulai tenang dan menikmati suasana. Asri, banyak aktivitas pelestarian budaya, dan cukup tenang untuk sekedar minggir dari rutinitas. Saya mencari tempat duduk lesehan untuk membuka notebook sambil membunuh waktu menuju jam 1 siang. Maklum, saya sampai sana sekitar jam 10 pagi. Lagi rame-ramenya :)


Salah satu lorong yang menjadi tempat lesehan pilihan saya

Penasaran, saya searching deh sejarah Muskitnas yang dulunya ternyata adalah sekolah kedokteran yang didirikan oleh Belanda dengan nama School tot Opleiding van Inlandsche Artsen disingkat STOVIA atau Sekolah Dokter Bumiputra, yang kemudian bertransformasi menjadi Sekolah Dokter Jawa pada 1851. Alamat lengkapnya adalah Jalan Abdurrahman Saleh No.26, sebelum RSPAD Gatot Subroto, Jakarta Pusat. Untuk melihat lebih jelas sejarahnya, langsung saja meluncur disini ya.

Bosan lesehan, saya mencoba cari tempat duduk dan stop kontak untuk men-charge HP saya yang baterainya memang lagi soak-soaknya. Aha, cafenya mulai agak kosong nih. Jangan bayangkan cafe dengan menu lengkap ya. Ini cafe seadanya dengan pilihan utama adalah snack dan mie instan, juga aneka minuman kemasan. Ya lebih cocok untuk mengganjal perut seadanya lah...

Disitulah baru saya terlibat obrolan dengan mbak penjaga cafe yang juga karyawan Muskitnas dan bapak yang melayani penjualan tiket tadi. Curhatlah saya dengan berapi-api, dan untungnya si bapak ini juga bisa bahasa Jawa, jadi cerita pun mengalir.

Rupanya, setelah membeli tiket, alur pengunjung adalah ke kiri, kemudian akan ada guide yang memberikan brosur dan memberikan pensil gratis, untuk kemudian dipersilahkan melihat-lihat koleksi museum di beberapa ruangan. Menurut referensi Wikipedia, seluruh koleksi museum mencapai total 2.042 buah, berupa bangunan, mebel, jam dinding, gantungan lonceng, perlengkapan kesehatan, pakaian, senjata, foto, lukisan, patung, diorama, peta/maket/sketsa, dan miniatur. 

Saat itu saya tak lagi tertarik melihat-lihat, rasanya energi sudah habis, hehe.. Jadi saya menikmati obrolan saja sambil sesekali melongok ruangan yang dimaksud si bapak dan mbak, dimana koleksi tersebut tersimpan. 

Saat saya protes tentang penyambutan tadi, katanya security nya memang lagi sensi, ~ealah
Lah kok nggak profesional sekali ya, masa pengunjung yang butuh perjuangan untuk menemukan gedung ini macam saya hari itu, harus memaklumi ke-sensi-an seperti itu ? Gimana kalau nanti menyambut pengunjung yang lebih banyak, tamu penting, dan orang awam lain yang mungkin tujuannya dobel seperti saya...

Kalau mereka mah katanya hanya mengikuti manajemennya. "Susah mbak, kalau ganti pimpinan, ya ganti lagi aturan-aturannya... Mulai dari cleaning service, dan lain-lain...".

Hmm, ya sudahlah, semoga aja Muskitnas yang dulu diurus Pemprov DKI Jakarta dan sekarang beralih ke Kemdikbud ini, menurut penuturan si bapak, akan lebih memiliki manajemen yang lebih baik lagi. Cukup saya deh yang jadi korban :)

Next time, saya tetep mau kesini kok, untuk melihat secara langsung koleksi-koleksi tadi. Ya, harapannya dengan sambutan yang lebih baik. Kalau kamu gimana ?

Prita HW

2 komentar:

  1. Wahh... museumnya dekat dari kantor. tp blom pernah kesana

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ayo mbak kesana lagi, kita explore barenggg, hehe

      Hapus