Awal mula film, biasa saja, ga ada sesuatu yang istimewa. Si pemeran utama yang bernama Pulung – diperankan Reza Rahadian – terlihat hanya lalu lalang tak tentu arah, menyusuri jalanan Jakarta, pasar, rel KA, tanpa tujuan yang jelas. Ternyata ia seorang job seeker yang ironisnya sangat susah mendapatkan pekerjaan dengan titelnya yang seorang sarjana manajemen.
Sementara itu, sang
ayahanda Pulung yang diperankan Dedy Mizwar yang juga si empunya ide cerita
film ini, selalu berbantah-bantahan dalam obrolan santainya dengan teman
sejawatnya di kampung, yang diperankan Jaja Miharja. Dan seoran kawan yang
menjadi penengah diantara mereka, diperankan Slamet Rahardjo. Yang mereka
ributkan adalah soal antara pentingnya pendidikan dan tidak, berdasarkan
pengalaman anaknya masing-masing. Satu celetukan yang menyentil, “Kalo
berpendidikan, tak punya koneksi, sama aja boong!”… Hahaha, saya jadi inget apa
yang orang bilang kebanyakan, bahwa pendidikan bukan segalanya, tapi skill, modal, dan koneksi bisa berkata
lain. Ya, itu tergantung bagaimana kita memandangnya saja sih kalo menurut
saya.
Kisah semakin seru
saat Pulung memulai petualangannya untuk berkenalan dengan dunia copet yang
‘lumayan’ rapi. Berawal dari aksi pencopet pasar, berkenalanlah ia dengan si
ketua pencopet pasar. Masih anak-anak. Ternyata mereka semua berkumpul dan
tinggal di satu rumah tak berpenghuni yang menyisakan puing untuk sekedar
ditinggali sebagai tempat untuk melepas lelah. Ada geng pencopet pasar,
pencopet angkot, dan pencopet mall. Semuanya di bawah koordinasi seorang
laki-laki bertampang keras dan garang yang diperankan apik oleh Tio Pakusadewo.
Saat ditanya, apa tujuan Pulung datang ke tempat mereka. Jawaban Pulung adalah
“Mau presentasi”, lalu dijawab dengan sengit, “Presentasi apa, MLM?”. Ia pun tak gentar menjawab, “Bukan. Proposal
kerja sama.”
Tahu apa kerjasama
yang dimaksud? Mengorganisir anak-anak geng pencopet tadi supaya bisa
memanajemen ‘penghasilannya’. Tujuannya mulia. Demi mengentaskan mereka dari
profesi pencopet. Yang asik juga adalah saat ditanya oleh ayahandanya, Pulung mengaku
bekerja di kantor, bagian Pengembangan SDM. Hm, cukup keren, kan?
Dibantu dua orang
temannya yang membantu mengajar pengetahuan secara umum semisal pengetahuan
sosial dan pendidikan kewarganegaraan, juga pengetahuan agama, lambat laun
anak-anak pencopet yang ‘budiman’ tadi berhasil belajar membaca, menulis,
berhitung, juga shalat. Bahkan, menghasilkan sebuah sepeda motor untuk
ber’dinas’ si Pulung, tabungan dan ATM sejumlah 21 juta. Termasuk gaji Pulung
cs tentunya.
Meski, perjuangan
Pulung cs untuk bisa mengajari mereka macam-macam itu harus melewati berbagai
rintangan, seperti ditolak, anak-anak yang susah diarahkan, dan sebagainya.
Lihat sindiran sederhana namun mengena soal beda copet dan koruptor. “Kalo kamu
jadi copet, paling top hidupmu ada di penjara. Setelah keluar dari penjara,
miskin lagi. Kalo koruptor, setelah keluar dari penjara, mereka masih kaya. Tau
kenapa? Karena mereka SEKOLAH!”
Klimaks dari film
ini adalah ketika para ayahanda Pulung cs yang teman sejawat ingin melihat
‘kantor’ pengembangan SDM yang dimaksud. Saat itu suasana ‘kelas’ sedang
merayakan peresmian acara yang bertema “Mencopet adalah masa lalu, mengasong
adalah masa depan”… Meski sempat terheran-heran, dan juga sedikit bersuka cita,
akhirnya para ayahanda sadar bahwa dalam darah mereka pun mengalir darah haram,
karena apa yang mereka makan berasal dari penghasilan mencopet, meski tidak
secara langsung. Karena kesadaran bakti akan orang tuanya lah, akhirnya Pulung
cs kembali menjalani hidupnya masing-masing seperti sedia kala. Pengangguran,
pengikut kuis-kuis demi menjajal keberuntungan nasib, dan bermain gaple.
Melihat semuanya,
saya rasa film ini pantas untuk dijadikan bahan renungan untuk kemudian
mengambil langkah yang bisa kita lakukan di lingkungan terdekat kita. Semua
orang saya rasa punya kewajiban untuk jadi penggiat sosial, bukan saja soal
wilayah kerja Pemerintah ataupun LSM, dan ormas tertentu. Dan yang terpenting,
seharusnya bekal pendidikan yang sudah dikantongi para sarjana dapat menjadi
bekal untuk mereka melakukan sesuatu, selain memikirkan nasib perut sendiri.
Hmmmm, memang lucu
negeri ini, film ini membikin kita ngeri sekaligus bergidik, terutama pas
melihat ending-nya. Pulung harus
ditangkap Satpol PP saat membela kepentingan anak-anak yang sudah beralih
profesi menjadi pedagang asongan yang sedang menjajakan dagangannya di lampu
merah. Alasannya klise, mengganggu
ketertiban lalu lintas. Lantas, bagaimana dengan bunyi Pasal 34 ayat 1, UUD’45
yang berbunyi : Fakir miskin dan anak
terlantar dipelihara oleh negara…
So, buat
saya pribadi, film ini membuat saya berkaca, setiap orang perlu untuk mengambil
peran masing-masing, selain menunggu sistem negara menjadi lebih baik tentunya.
Kata kakak saya yang seorang aktivis Islam, kalo ga pake hukum Allah yah
semuanya akan terus begitu. Wallahu A’lam… Buat saya, film ini memberi saya
energi untuk terus berbagi di tengah crowded-nya
kesibukan saya, bagaimanapun caranya. Karena kebahagiaan abadi adalah saat kita
bisa membuat orang lain bahagia, tentunya dengan tujuan dan cara yang halal J Saatnya kamu, menentukan pilihan dan mengambil peran.
(‘thil)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar