Sekolah Pencopet, Ladang Berbagi Sarjana Pengangguran

Awal mula film, biasa saja, ga ada sesuatu yang istimewa. Si pemeran utama yang bernama Pulung – diperankan Reza Rahadian – terlihat hanya lalu lalang tak tentu arah, menyusuri jalanan Jakarta, pasar, rel KA, tanpa tujuan yang jelas. Ternyata ia seorang job seeker yang ironisnya sangat susah mendapatkan pekerjaan dengan titelnya yang seorang sarjana manajemen.


                                                           Sumber : id.wikipedia.org

Sementara itu, sang ayahanda Pulung yang diperankan Dedy Mizwar yang juga si empunya ide cerita film ini, selalu berbantah-bantahan dalam obrolan santainya dengan teman sejawatnya di kampung, yang diperankan Jaja Miharja. Dan seoran kawan yang menjadi penengah diantara mereka, diperankan Slamet Rahardjo. Yang mereka ributkan adalah soal antara pentingnya pendidikan dan tidak, berdasarkan pengalaman anaknya masing-masing. Satu celetukan yang menyentil, “Kalo berpendidikan, tak punya koneksi, sama aja boong!”… Hahaha, saya jadi inget apa yang orang bilang kebanyakan, bahwa pendidikan bukan segalanya, tapi skill, modal, dan koneksi bisa berkata lain. Ya, itu tergantung bagaimana kita memandangnya saja sih kalo menurut saya.

Kisah semakin seru saat Pulung memulai petualangannya untuk berkenalan dengan dunia copet yang ‘lumayan’ rapi. Berawal dari aksi pencopet pasar, berkenalanlah ia dengan si ketua pencopet pasar. Masih anak-anak. Ternyata mereka semua berkumpul dan tinggal di satu rumah tak berpenghuni yang menyisakan puing untuk sekedar ditinggali sebagai tempat untuk melepas lelah. Ada geng pencopet pasar, pencopet angkot, dan pencopet mall. Semuanya di bawah koordinasi seorang laki-laki bertampang keras dan garang yang diperankan apik oleh Tio Pakusadewo. Saat ditanya, apa tujuan Pulung datang ke tempat mereka. Jawaban Pulung adalah “Mau presentasi”, lalu dijawab dengan sengit, “Presentasi apa, MLM?”. Ia  pun tak gentar menjawab, “Bukan. Proposal kerja sama.”  

Tahu apa kerjasama yang dimaksud? Mengorganisir anak-anak geng pencopet tadi supaya bisa memanajemen ‘penghasilannya’. Tujuannya mulia. Demi mengentaskan mereka dari profesi pencopet. Yang asik juga adalah saat ditanya oleh ayahandanya, Pulung mengaku bekerja di kantor, bagian Pengembangan SDM. Hm, cukup keren, kan?

Dibantu dua orang temannya yang membantu mengajar pengetahuan secara umum semisal pengetahuan sosial dan pendidikan kewarganegaraan, juga pengetahuan agama, lambat laun anak-anak pencopet yang ‘budiman’ tadi berhasil belajar membaca, menulis, berhitung, juga shalat. Bahkan, menghasilkan sebuah sepeda motor untuk ber’dinas’ si Pulung, tabungan dan ATM sejumlah 21 juta. Termasuk gaji Pulung cs tentunya.

Meski, perjuangan Pulung cs untuk bisa mengajari mereka macam-macam itu harus melewati berbagai rintangan, seperti ditolak, anak-anak yang susah diarahkan, dan sebagainya. Lihat sindiran sederhana namun mengena soal beda copet dan koruptor. “Kalo kamu jadi copet, paling top hidupmu ada di penjara. Setelah keluar dari penjara, miskin lagi. Kalo koruptor, setelah keluar dari penjara, mereka masih kaya. Tau kenapa? Karena mereka SEKOLAH!”

Klimaks dari film ini adalah ketika para ayahanda Pulung cs yang teman sejawat ingin melihat ‘kantor’ pengembangan SDM yang dimaksud. Saat itu suasana ‘kelas’ sedang merayakan peresmian acara yang bertema “Mencopet adalah masa lalu, mengasong adalah masa depan”… Meski sempat terheran-heran, dan juga sedikit bersuka cita, akhirnya para ayahanda sadar bahwa dalam darah mereka pun mengalir darah haram, karena apa yang mereka makan berasal dari penghasilan mencopet, meski tidak secara langsung. Karena kesadaran bakti akan orang tuanya lah, akhirnya Pulung cs kembali menjalani hidupnya masing-masing seperti sedia kala. Pengangguran, pengikut kuis-kuis demi menjajal keberuntungan nasib, dan bermain gaple.

Melihat semuanya, saya rasa film ini pantas untuk dijadikan bahan renungan untuk kemudian mengambil langkah yang bisa kita lakukan di lingkungan terdekat kita. Semua orang saya rasa punya kewajiban untuk jadi penggiat sosial, bukan saja soal wilayah kerja Pemerintah ataupun LSM, dan ormas tertentu. Dan yang terpenting, seharusnya bekal pendidikan yang sudah dikantongi para sarjana dapat menjadi bekal untuk mereka melakukan sesuatu, selain memikirkan nasib perut sendiri.

Hmmmm, memang lucu negeri ini, film ini membikin kita ngeri sekaligus bergidik, terutama pas melihat ending-nya. Pulung harus ditangkap Satpol PP saat membela kepentingan anak-anak yang sudah beralih profesi menjadi pedagang asongan yang sedang menjajakan dagangannya di lampu merah. Alasannya  klise, mengganggu ketertiban lalu lintas. Lantas, bagaimana dengan bunyi Pasal 34 ayat 1, UUD’45 yang berbunyi : Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara…

So, buat saya pribadi, film ini membuat saya berkaca, setiap orang perlu untuk mengambil peran masing-masing, selain menunggu sistem negara menjadi lebih baik tentunya. Kata kakak saya yang seorang aktivis Islam, kalo ga pake hukum Allah yah semuanya akan terus begitu. Wallahu A’lam… Buat saya, film ini memberi saya energi untuk terus berbagi di tengah crowded-nya kesibukan saya, bagaimanapun caranya. Karena kebahagiaan abadi adalah saat kita bisa membuat orang lain bahagia, tentunya dengan tujuan dan cara yang halal J Saatnya kamu, menentukan pilihan dan mengambil peran. (‘thil)

Prita HW

Tidak ada komentar:

Posting Komentar