Ada rentetan hal yang sama yang kuamati, kulakukan, dan kuresapi sejak semalam dulu, pas ngetren filmnya ini. Aku pun nonton Negeri 5 Menara. Misinya sih compare dengan bukunya yang lumayan banget untuk ukuran nilai resensi buku, bintang empat deh!
Yang
aku suka dari karya A.Fuadi ini, ada satu ‘mantra’ yang disampaikan
berulang-ulang dan terus menggelora hingga akhir cerita, man jadda wa jada, yang berarti siapa yang bersungguh-sungguh pasti
akan berhasil. Ini yang menjadi berbeda dengan karya lain yang mengambil tema
serupa, seperti Laskar Pelangi misalnya. Kalo buatku pribadi sih, tema-tema
pendidikan, perjuangan anak manusia meraih mimpi nggak akan pernah basi untuk
dijadikan bahan cerita. Kenapa? Karena kita mesti menghargai berbagai
pengalaman orang lain dan belajar dari sekian banyak kisah anak manusia itu.
Sumber : id.wikipedia.org
Kembali
ke soal film, menurutku sih sudah cukup mewakili bukunya, tapi tetep deh grade nya masih lebih bagus bukunyaJ Menurutku, peran Alif di film
itu terlihat kurang partisipatif. Meski memang sosoknya pendiam, tapi dia
pemikir. Pergelutan batinnya bisa ditangkap jelas di bukunya, tapi tidak di
filmnya. Hm, ada beberapa hal tambahan yang tidak ada dalam buku, seperti bikin
genset bareng-bareng, sampai
kepergian Ust.Salman. Aku rasa itu improvisasi aja sih, tapi tetep nggak
mengurangi urgensi cerita.
Improvisasi
yang paling aku suka adalah obrolan antara sahibul
menara, santun tapi tetep kocak. Rupanya penulis skenarionya jeli. Karakter
tokohnya yang diceritakan berasal dari berbagai daerah, tergambar jelas,
pemainnya juga pas.
At least, bayangin bikin film, pasti
susah juga yah! Harus ‘merangkum’ isi buku yang biasanya diceritakan secara detail,
dan dituangkan ke layar lebar hanya dengan durasi waktu 1,5 sampai 2 jam. Hmm,
yang terpenting, pesannya bisa ditangkap!
Adegan
yang paling berkesan memang saat Ust. Salman meneriakkan berkali-kali ‘mantra’
itu yang diawali dengan simulasi memotong dahan kayu dengan susah payah karena
dilakukan dengan parang berkarat yang tidak begitu tajam. Kalo nggak salah,
dialognya seperti ini, “Yang terpenting
bukan benda yang paling tajam, tapi dengan usaha yang keras dan
bersungguh-sungguh pasti akan berhasil. Man
jadda wa jada!”
Karya
A. Fuadi ini juga memuat unsur procol alias promosi colongan, hehe… Maksudnya
promosi bahwa kehidupan pesantren itu nggak sepenuhnya kolot dan nggak banget.
Tapi, justru sebaliknya! Modern tapi tetep menjunjung nilai-nilai agama.
Buktinya, para santrinya bisa menaklukkan 5 menara… Sayangnya, suasana pondok
pesantren yang riuh dengan belajar, seperti metode belajar Bahasa Arab dan
Inggrisnya, ngantri mandi sambil pegang buku, sampai suasana menyambut ujian
yang penuh dengan spanduk-spanduk semangat, kurang ditampilkan.
Tapi,
aku tetep mau nonton kalo Ranah 3 Warna juga difilmkan, hehe^^
At
least, membandingkan dua hal selalu saja ada kelebihan dan kekurangan. Tinggal
bagaimana kita bisa mengambil nilai-nilai positif dari keduanya. Dan keuntungan
yang lain adalah kita tetep bisa berimajinasi dan menjadi sutradara atas apa
yang kita persepsikan sehabis membaca bukunya. Kapan saja, tinggal putar saja
‘film’ ala kita itu. Hehehe…^^ (‘thil)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar