Membaca Peran, Memaknai Ibu



Oleh Prita Hendriana Wijayanti*)



Membaca Peran, Memaknai Ibu
Dimuat di Radar Bekasi, Jurnalisme Warga, 23 Desember 2015

Kata yang paling indah di bibir umat manusia adalah kata ‘ibu’, dan panggilan paling indah di bibir umat manusia adalah ‘ibuku’. Begitu ungkap Kahlil Gibran yang menggambarkan betapa agung kata yang mewakili sosok seseorang yang sangat dekat dengan masing-masing kita sebagai individu ini. Ibu.

Sebenarnya, kata ibu merupakan julukan bagi seseorang yang sudah memiliki anak secara biologis, atau lebih luas secara sosiologis. Namun, tentu kata ibu, bunda, emak, mama, ummi, mom, seharusnya bukan cuma dipakai untuk menggugurkan status saja. Karena peran yang ada dalam sosok seorang ibu begitu besar, diikuti oleh tanggung jawab yang tak kalah berat. 

Pernah dengar ungkapan yang ternyata juga salah satu bunyi hadist Rasulullah SAW, bahwa “surga ada di telapak kaki ibu”? Sebenarnya kata tersebut adalah kiasan. Coba saja kita bayangkan apa yang ada di dalam benak ketika membayangkan surga? Tercukupinya lahir batin dengan segala kebaikan, tanpa keburukan barang nila setitik pun. Kira-kira begitu gambaran sederhana untuk mengagungkan sosok ibu. Betapa menjadi seorang ibu adalah sesuatu yang berharga, dan menjadi anak yang memiliki seorang ibu pun, harus senantiasa menjaganya agar kita pun mendapat keagungan surga.

Kompleksitas Peran Ibu

Sekompleks apa? Dimulai dari sejak menjadi seorang istri, ia sudah bersedia mengabdikan dirinya bagi suami dan keluarga kecil yang akan dibangun. Katanya, di balik pria hebat, pasti ada sosok perempuan hebat. Ketika dipilih rahimnya sebagai tempat persemaian dan kemudian melahirkan titipan Illahi, ibu yang cerdas sudah menjalankan peran mendidiknya sejak dini. Sejak mengandung dan membawa jabang bayinya kemanapun ia pergi selama 9 bulan lamanya. Setelah melahirkan, tugasnya pun bertambah, menjadi baby sitter tangguh, penyedia ASI yang handal, ditambah harus menjadi ahli gizi hebat, atau koki yang cekatan supaya kebutuhan gizi keluarga terpenuhi.

Belum lagi saat memastikan tumbuh kembang anak, terutama di usia balita yang sering disebut golden age. Segala literatur dibaca, semua pertanyaan dikumpulkan untuk mencari informasi pada yang lebih kompeten dan berpengalaman, kesibukan sehari-hari dikalahkan. Ibu mulai mencari metode untuk menanamkan nilai-nilai, seperti agama, moral, dan hal-hal baik yang selayaknya diajarkan untuk mempersiapkan generasi idaman. Bahkan, si ibu akan menjadikan dirinya dan suami sebagai prioritas kedua setelah kebutuhan sang buah hati terpenuhi. Betapa mulia. 

Tak hanya itu, seorang ibu juga dituntut menjadi manager keuangan yang handal. Mengelola jerih payah suami dalam menjalankan tugasnya sebagai pencari nafkah utama. Atau membantu meringankan beban suami dengan mencoba mengaplikasikan ide-ide kreatif. Mengatur ritme sirkulasi keluar masuk kas keluarga. Yang jelas pengelolaan keuangan berada di tangan sang bendahara rumah tangga, yaitu ibu.

Peran apalagi yang belum? Peran sebagai psikolog yang selalu menerima dan memberi masukan bagi sikap dan perilaku anaknya dari waktu ke waktu, sejak anak-anak hingga remaja, dan memasuki usia dewasa. Luar biasa. Rata-rata, para ibu sering disebut memiliki ikatan batin yang sulit diterjemahkan antara dirinya dan buah hatinya. Begitu pula, peran ibu di bidang sosial kemasyarakatan, seperti bersosialisasi dengan tetangga sekitar, atau menyalurkan bakat untuk sekedar aktualisasi diri.

Wow, bila ditelaah satu persatu, rasanya kompleksitas peran yang dijalankan seorang ibu tidak bisa dibilang main-main. Ibaratnya sekolah atau kuliah, hitung saja berapa jurusan yang harus diambil untuk menjadi seorang ibu yang menjalankan perannya dengan baik.

Literasi untuk Ibu 

Karena kompleksitas itulah, dulu saya pun sempat berpikir, rasanya harus ada sekolah khusus ibu rumah tangga. Bukan apa-apa, setelah membaca peran ibu, profesi ini tentunya harus dibekali dengan skill yang mumpuni di berbagai bidang yang menjadi tugasnya. Bila tidak, maka kita pun akan banyak melihat berjejernya fenomena yang kita temui, seperti kasus gizi buruk, ekonomi yang terpuruk karena tak punya perencanaan yang matang, pendidikan anak-anak yang ala kadarnya, atau anak dengan segala kemewahan akses tapi tak kunjung kita temui menjadi orang hebat, bahkan sebaliknya. Atau yang lebih heboh lagi, seperti ibu yang tak punya hati nurani ketika menyakiti buah hatinya sendiri sehingga berakhir tragis, tingkat stres yang tinggi menghadapi persoalan rumah tangga, dan masih banyak lagi.

Peran ibu pun harus diedukasi. Ditingkatkan lebih profesional, mungkin. Seperti layaknya peran dan tanggungjawab profesi pada umumnya. Ya, literasi untuk ibu menjadi perlu. Literasi berasal dari kata literate yang secara harfiah berarti ‘melek’ atau bisa diartikan keberaksaraan. Seorang ibu mutlak untuk literate dalam memahami perannya. Karena tingkat literasi yang mumpuni lah yang akhirnya membawa pada keberdayaan. Literasi untuk ibu bisa dimulai dari pendidikan untuk anak-anaknya. Karena input-an pengetahuan itulah yang akan diterjemahkan sebagai output pada karakter anak-anaknya.



Bisa dimulai dengan literatur tentang parenting, resep masakan berkualitas, psikologi yang saat ini sudah lebih mudah diakses melalui media, terlebih teknologi informasi seperti internet. Banyak bertebaran pula komunitas yang mengkhususkan diri pada persoalan parenting dan yang berhubungan dengan itu. Salah satunya adalah komunitas Ibu profesional yang cukup unik dengan memiliki Institut Ibu Profesional, yaitu ‘sekolah’ online untuk para ibu dan calon ibu dengan kurikulum yang didesain sedemikian rupa. Ini mungkin representasi jalur informal yang saya sebut sebagai sekolah ibu rumah tangga di atas.

Ke depan, semoga pemerintah lebih memperhatikan tingkat pendidikan dimulai dari kampanye pendidikan keluarga, madrasah pertama bagi kehidupan. Mungkin menghidupkan jalur RT dan RW yang semestinya bisa diedukasi lebih dari sekedar arisan dan ajang ngerumpi yang banyak diidentikkan dengan habit para ibu. Sudah saatnya perempuan dan juga ibu tidak sekedar menjadi konco wingking atau teman di belakang bagi sosok suami atau ayah. Tapi lebih dari itu. Selamat hari ibu.  

*Pegiat literasi di Jejaring Sekolah Raya. Bermukim di Bekasi.    



Prita HW

2 komentar:

  1. Mantabs Mbak. Senangnya bisa bertemu blogger yang juga pustakawan, meski saya sebenarnya ga punya background pendidikan perpustakaan he3
    Saat ini pustakawan dituntut untuk lebih banyak yg menulis, sayang masih banyak yang belum tertarik.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Berarti mas, dirimu temannya si siapa lupa namanya, yg menikah dengan Dian Anesti, pustakawan Unair, adek kelasku:)
      Wah,kalau untuk nge-blog baru belajar serius sekarang2, hahaha... berarti Mas Ihwan bisa jadi pelopor pustakawan yg menulis, mas. Atau kapan meng-create sesuatu bersama.

      Saya senang juga ketemu blogger yg sehari2 nya berprofesi sbg pustakawan^^

      Hapus