Judul : Tamasya ke Masjid
Penulis : Jaya Komarudin Cholik
Penerbit : Gong Publishing, Juni 2010
Tebal : 150 hal.
Membaca judulnya mungkin sebagian dari kita langsung
mengeryitkan dahi, tamasya kok ke masjid ? Nggak ada tempat lain apa ?
Lalu, apa sih sebenarnya yang bisa kita dapatkan dari membaca buku ini ?
Pertanyaan itu sebenarnya juga ada di benak saya saat
pertama kali melihat tampilan bukunya yang menampilkan sebuah masjid
berlatar awan biru. Jujur, buku ini tertarik untuk saya pindahkan ke
keranjang belanja buku saya karena rekomendasi dari seorang kawan yang
terpercaya. Hehe… Cara ini ternyata memang promosi paling efektif untuk
membuat saya tergiur. Hm…
Sekilas, buku ini terlihat
biasa-biasa saja, namun menjadi istimewa saat ada endorsement dari Gol A
Gong, si empunya penerbit buku ini. Apalagi ‘embel-embel’ ‘memoar
penggugah jiwa’nya. Selain itu, latar belakang penulisnya yang seorang
buruh migran juga menjadi magnet tersendiri buat saya. Menulis dari
pengalaman sendiri buat saya setidaknya dapat memberikan gambaran
seutuhnya, karena sang penulis mengalaminya sendiri.
***
Kisah
dimulai dengan flashback Jaya saat membangunkan kedua putranya yang
memang berpesan dibangunkan saat adzan subuh berkumandang. Tujuannya,
tak lain tak bukan untuk pergi bersama-sama menunaikan shalat di
masjid. Spontan, ia pun teringat masa kecilnya di kampung.
dok.pribadi |
Ia
yang dengan susah payah berangkat bersama bapaknya di pagi-pagi buta.
Ia yang begitu bergeliat melihat hamparan karpet hijau, hingga segala
tingkah pola anak-anak membawanya menjadi ‘liar’. Berguling. loncat,
kayang, lari 10 putaran, main engklek dengan media ubin masjid, sampai
puncaknya setiap selepas maghrib pada hari-hari berikutnya, masjid
berubah menjadi event area pergulatan anak-anak. Benar-benar seru !
Sampai
kemudian, pengalaman badungnya di masjid membawanya berkelana dari
masjid ke masjid. Dalam Bab I sampai Bab III, Jaya bertutur tentang
masa kecilnya hingga menjelang remaja yang berkesan dengan sebuah
tempat bernama masjid. Layaknya anak-anak dan ABG masa kini, Jaya
sebenarnya sangat ingin menikmati waktu berleha-leha di dalam kamar dan
bermain bersama teman-teman, tapi semuanya pupus saat adzan tiba.
‘Paksaan’ sang ibunda lah yang membuat dirinya harus belajar
berdisiplin sejak dini, termasuk berupaya menunaikan shalat berjama’ah
setiap saat. Memasuki masa remaja, Jaya memilih cara unik untuk
menumpahkan hasrat cintanya kepada seseorang yang memanggil-manggil
hatinya. Bukan melalui puisi, surat cinta, atau penyaluran lazimnya
remaja lain. Ia memilih menyelinap di bilik mihrab untuk sekedar
memandang jendela pujaan hatinya. Cara lain, ia memilih menjadi muazin
untuk menarik perhatian bunga hatinya.
Pada bab-bab
selanjutnya, cerita-cerita Jaya menarik untuk dinikmati. Bahasanya yang
mengalir dan tidak menggurui mengantarkan pembaca selalu penasaran
dengan peristiwa apa lagi yang akan dialaminya, dan apa hubungannya
dengan masjid ?
Babak baru dimulai.
Dari
Serang, petualangannya berlanjut menuju negeri para nabi dan rasul,
jazirah Arab. Ruwais adalah kota pertamanya. Yang menarik, pengamatannya
tentang masjid selalu berlanjut pula. Dibandingkannya keadaan masjid
di negeri sendiri dan di negeri tempatnya berpijak kala itu. Hingga ia
menemui pengalaman berinteraksi dengan warga benua lain yang begitu
mengapresiasi Indonesia sebagai negeri berpenduduk muslim terbesar.
Namun, apresiasi itu disertai keheranan saat melihat banyak perempuan
Indonesia yang dilepas menjadi TKW tanpa muhrim dan rentan menjadi
korban trafficking. Apa jawaban Jaya ? “Ya..It’s just a look like !”
(hal.78) Hehe…
Tak berhenti disitu, Jaya juga meneruskan
pengamatannya di tempat persinggahan berikutnya. Dari Abu Dhabi, Rub al
Khali, sampai tinggal di kamp anak bangsa. Rupanya, apa yang dialaminya
bertahun-tahun silam di kampung halamannya, seolah-olah menjadi
cerminan atas apa yang dialaminya saat ini. Seperti yang diungkapkannya
di hal.91, dari sekian lama perjalanan menapaki hidup, aku mulai
merasakan kenikmatan sebenarnya dari masjid. Jika sewaktu kecil masjid
hanyalah arena permainan, menginjak remaja masjid hanya sebatas
pemenuhan hasrat dan pengisi waktu kosong, dan tak dinyana Allah
subhanallahuwata’ala melemparkanku, bocah biang kerok kerusuhan di
sekitar masjid dulu, ke dalam sebuah masjid para anak bangsa… Di masjid
para anak bangsa ini, aku menemukan kelembutan sejati sebuah ukhuwah,
nilai persaudaraan anak keturunan Adam.
Kisah ditutup
dengan petualangannya singgah di Dubai, negeri yang memiliki segala
sesuatu yang berselera dunia. Sebelumnya, kesempatannya melakukan
perjalanan darat menuju rumah Allah bersama dengan keluarga kecilnya,
mampu membuat pembaca benar-benar larut dalam kisah perjalanannya. Saya
pun sampai tak kuasa menahan air mata, dan bersamaan dengan itu,
muncul keinginan yang kuat dalam hati, suatu saat saya juga harus pergi
kesana !
Kekuatan lain dari karya Jaya ini adalah
kekayaan data tentang detil kehidupan yang ia telusuri disana. Wawasan
kita tentang letak geografis suatu wilayah, gaya hidup masyarakatnya,
serta ilmu pengetahuan seperti asal muasal unta, dan lain sebagainya,
benar-benar membuat tubuh kita seolah-olah dibawa kesana. Dan, dengan
deskripsi ini pula, dijamin kita tak kalah ‘kaya’.
Terakhir,
hikmah yang saya rasa mendalam adalah kesimpulan Jaya bahwa manusia
hanya memerlukan doa sebagai modal dalam hidupnya ! Dari kisah Jaya,
kita melihat representasi dari doa-doanya kian nyata. Subhanallah… Bagi
saya, memoar penggugah jiwa di sampul buku bukan sekedar
‘embel-embel’, tapi benar-benar membuat saya merasa tergugah !
Kekurangannya,
mungkin hanya prolog yang saya rasa sedikit membosankan di bagian
awal, namun, lembar demi lembar berikutnya, membuat saya makin
penasaran dan tak ingin lepas membacanya hingga selesai saat itu juga.
Buku
ini sangat sesuai bagi kita yang ingin memanfaatkan momentum Ramadhan
dan Idul Fitri yang sebentar lagi tiba sebagai satu momen refleksi
diri. Ternyata, masjid pun juga bisa jadi jujugan tamasya !
30.08.2010
Juara 1 Lomba Menulis Resensi Buku2 Gong Publishing,bersama Komunitas Kubah Budaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar