Menggagas Wisata Baca Surabaya

Oleh : Prita Hendriana Wijayanti*




Dimuat di Ruang Publik Metropolis, Jawa Pos, Senin, 19 April 2010

“Tahu taman bacaan di Surabaya? Tolong antar saya ke sana, dong.” Pertanyaan itu hampir selalu ditanyakan oleh teman-teman saya yang menaruh minat pada dunia lite­rasi saat berkunjung ke Surabaya. Tak jarang pula, di deretan e-mail saya ada kirim­an bersubjek, “Mohon informasi taman bacaan di Surabaya.”
Menarik untuk disimak. Geliat literasi yang mulai menampakkan wujud di Surabaya seharusnya bisa ditindaklanjuti menjadi aset pariwisata baru. Bila belakangan ini geliat kampung tematik (Ruang Publik Metropolis Jawa Pos, 27 Februari 2010) merajalela, begitu juga wisata lingkungan al­ternatif yang sering dipublikasikan koran ini. Lalu, bagaimana wisata baca?

Di Surabaya, setidaknya sudah ada 12 titik perpustakaan independen atau taman bacaan. Baik taman bacaan yang dinaungi lembaga selevel LSM maupun berdiri berdasar inisia­tif pribadi masyarakat. Itu masih yang tergabung dalam jaringan pengelola perpustakaan independen, Insan Baca. Belum lagi taman bacaan masyarakat di bawah binaan Yayasan Pengembangan Perpustakaan Indonesia (YPPI). Juga 200 titik sudut baca yang dikelola Baperpus Surabaya.

Fenomena itu tak bisa dianggap remeh, tanpa dampak apa-apa. Kenyataannya, peran taman bacaan masyarakat (TBM) sangat berpengaruh bagi peningkatan pengetahuan masyarakat sekitar. Dari situ, potensi masya­rakat yang selama ini tidak terlihat karena ketiadaan fasilitator pengetahuan (baca: pengelola TBM) mulai tampak.

Sebut saja Perpustakaan Medayu Agung di Medokan Ayu, Rungkut. Perpustakaan yang memiliki koleksi khas bidang sosial dan sejarah tersebut bersinergi dengan war­ga dalam memberikan informasi tentang se­jarah perjuangan bangsa lewat pameran dan pemutaran film. Selain itu, TB Kawan Kami di tengah lokalisasi Dolly sangat berpengaruh dalam mengedukasi anak-anak yang tumbuh di lingkungan yang tidak bia­sa tersebut. Dengan begitu, mereka bisa memiliki rasa percaya diri dan menemukan karakter masing-masing.
TB Anak Sholeh Fadhli dan Perpustakaan Ummi Fadhilah di belakang Pasar Genteng lain lagi. Dengan program pembinaan anak yang terintegrasi dengan pendidikan akhlak islami, anak-anak “pasar” tak lagi liar dan lambat laun memiliki sopan santun yang me­madai. Pondok Baca Bocah di Rusun Penjaringan Sari pun mampu mewarnai aktivitas keseharian anak-anak yang rata-rata menghabiskan waktu bermain tanpa pengawasan ekstra dari orang tua. Masih di kawasan Rung­kut, Perpustakaan Pelangi Pusdakota Ubaya juga memberikan warna lewat pendekatan kreatif melalui program seperti kancil (pustakawan cilik) dan poling (polisi lingkungan). Selain itu, mereka merintis teras-teras baca yang memanfaatkan rumah warga, yang kebanyakan buruh dari daerah.

Begitu juga Sanggar Anak Lengger di se­tren kali Barata Jaya. Meski frekuensi buka hanya seminggu sekali, aktivitas bermain dan belajar yang beraneka mampu menghindarkan anak-anak untuk berpikir tentang nasib rumahnya yang mau tidak mau akan tergusur suatu saat. Ada pula Yayasan Himmatun Ayat cabang Gembong. Mereka punya sudut baca rintisan. Dengan bahan bacaan ala kadarnya, anak-anak yatim piatu belajar mengembangkan imajina­si. Bahkan, anak dengan kecerdasan mental minim juga difasilitasi.
Itu masih sebagian TBM. Lalu, kenapa itu menarik? Jawabannya adalah pengalaman baru yang ditawarkan. Bagi orang-orang yang biasa berwisata untuk memuaskan naf­su belanja di pusat perbelanjaan, mengenal dan melihat langsung berjalannya terminal pengetahuan berjenis TBM bakal membuat mereka merasa berarti. Selain itu, pelajaran tentang karakteristik budaya tiap-tiap tempat bisa didapat. Akan banyak inspirasi dari cerita kegigihan para pengelola TBM. Itu menjadi langka di tengah arus globalisasi, kala semuanya mengagungkan gelimang kemewahan atau aura kapitalis.

Lalu, apa untung TBM yang dikunjungi? Tentu saja kunjungan orang-orang yang menaruh perhatian lebih kepada aktivitas me­reka bakal menambah semangat juang yang tidak terkira. Juga ajang promosi gratis, tentunya. Siapa tahu, dari situ makin terbuka jalan lain untuk meningkatkan mutu TBM.
Wisata baca itu, selain dimaknai sebagai melihat dan menikmati aktivitas membaca di TBM, bisa berarti “membaca” fenomena geliat literasi. Dengan begitu, pelan tapi pas­ti, masyarakat akan mengakrabi literasi. Buku dan membaca menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.



Menurut saya, ada beberapa hal yang bisa diaplikasikan untuk mengawal gagasan itu. Pertama, menyosialisasikan dan memper­siap­kan TBM sehingga benar-benar siap untuk dikunjungi. Tidak perlu terlalu repot me-makeover. Sebab, secara organik, mereka te­l­ah tumbuh menjadi sebuah komunitas yang memiliki tujuan jelas bagi warga belajar masing-masing. Yang perlu dilakukan hanya menambah wawasan tentang pem­berdayaan potensi yang dimiliki. De­ngan demikian, TBM juga bisa menjadi ruang pamer karya yang dapat menghasilkan dana segar untuk mendukung kegiatan operasionalnya.

Kedua, menjadwal kunjungan. Bus Surabaya Heritage Track yang memiliki tempat pemberhentian dan tujuan terjadwal untuk menyusuri jejak-jejak Surabaya lama dapat direplikasi. Pemandu wisatanya bisa disediakan dengan menggandeng komunitas litera­si yang memang berfokus pada isu itu. Selebihnya, para wisatawan bisa langsung berinteraksi dengan pengelola TBM.

Ketiga, wisata baca akan lebih lengkap jika disajikan secara komprehensif dengan pemetaan toko buku. Bisa toko buku besar yang menyediakan buku-buku terbaru, se­perti Gramedia dan Toga Mas, sampai pusat perbukuan murah meriah, seperti Pasar Buku Indonesia Cerdas (PBIC) atau bursa buku bekas di Jl Semarang, Kampung Ilmu. Kafe buku yang menyediakan nuansa kafe dilengkapi buku-buku dan hotspot juga bisa menjadi pelengkap lain.

Dengan begitu, wisata bukan sekadar mem­belanjakan uang. Malah sebaliknya, me­reka yang berwisata baca bisa beramal. Caranya, membeli produk kreativitas TBM atau menjadi dermawan buku. Pemerintah pun ikut untung. Lewat program kreatif se­perti itu, peningkatan budaya baca dan pem­binaan perpustakaan di masyarakat bu­kan lagi hal yang berliku. Tapi, tentu saja mengawal itu semua harus diniati de­ngan ketulusan hati seperti ikhlasnya para pengelola TBM menyediakan akses informasi gratis untuk masyarakat di sekitar. Selamat membaca! (*/c11/mik)

*) Koordinator Insan Baca dan wakil koordinator Jawa Membaca-Forum TBM Indonesia



Prita HW

Tidak ada komentar:

Posting Komentar