“BBM naik !..” semua orang 'berteriak' menyikapi berita yang menurut mereka cukup menghebohkan ini. “Kita ini rakyat kecil. Mau apa-apa ga bisa, mau protes gini, percuma. Wong apa-apa dinaikkan,” begitu komentar Djumadi di salah satu stasiun TV swasta saat ditanyai responnya atas kenaikan elpiji 12 kg yang baru saja terjadi. Keluh kesah yang mirip seperti ini juga banyak diutarakan para pekerja, entah itu pegawai kantoran, para penjual di pasar tradisional, para pedagang kaki lima, ibu rumah tangga, mahasiswa, juga masyarakat lain yang merasa senasib.
Masyarakat
heboh, begitu juga media sebagai transformasi beragam info terkini.
Semua media massa, entah itu media cetak maupun elektronik memuat judul
besar-besar. Mulai dari sikap pemerintah dengan segala alasan kenaikan
BBM, ribut-ribut penolakan Bantuan Langsung Tunai (BLT), aksi unjuk rasa
yang terus bergulir di berbagai tempat, atau potret lain yang menarik
untuk diungkap.
Saya
tak luput memperhatikan semua itu, karena merasa menjadi salah satu
korbannya – korban akibat kebijakan yang tak berpihak pada rakyat. Di
masa SBY-JK ini, telah 3 kali harga BBM dinaikkan. Dalam hati saya
mengumpat mereka, meskipun tahu itu tak ada pengaruhnya.
Dan
sudah terbukti. Demonstrasi, unjuk rasa, aksi tolak kenaikan harga BBM,
sudah tak lagi diperhatikan, didengar, apalagi sampai merubah
kebijakan. Keluhan-keluhan warga negara itu dianggap angin lalu, tak
mampu membuat penguasa negeri ini mengurungkan niatnya menaikkan harga
BBM.
Ah, coba berpikir positif, mungkin masih ada cara lain ?
Energi Murah
Udara
sejuk menyapa saya dan beberapa kawan saat memasuki Dusun Toyomerto,
Desa Pesanggrahan, Kota Batu, Jawa Timur. Istimewanya, tempat ini
disebut-sebut sebagai desa biogas pertama di Indonesia.
Ini
berawal dari hewan sapi yang mereka ternakkan. Dari ternak sapi,
keuntungan mereka berlipat. Kini mereka memanfaatkan kotoran sapi, yang
mulanya hanya kotoran biasa yang mengeluarkan gas tak sedap. Mereka rubah gas tak sedap itu menjadi sumber energi alternatif, yang bisa langsung disalurkan ke rumah-rumah warga.
Kotoran
ternak mudah didapat, sehingga harga gas yang dihasilkannya juga murah.
Mereka hanya harus membuat instalasi gasnya. Dan inipun tak sulit,
sekali lagi, biayanya juga murah. Ini cukup dilakukan dengan nggali tanah,
menyediakan plastik, pipa dan selang murah. Energi alternatif ini bisa
digunakan terus menerus. Dengan cara ini, warga bisa menghemat biaya
hampir 100 %. Selain murah, ia minim resiko meledak dan tidak
membahayakan. Begitu ungkap Bapak Zakaria yang menjamu kedatangan kami
saat itu. Untuk membuat instalasinya sampai jadi, bapak yang satu ini
hanya menghabiskan kurang lebih Rp.1 juta.
Berkat
biogas dan kegigihan penduduknya, kini mereka merasakan nikmatnya
memasak dengan sumber energi gratis. Tak hanya satu atau dua keluarga
saja yang menikmati. Di dusun itu, ada sekitar 150 keluarga yang
menggunakan biogas kotoran sapi.
Biogas bukanlah teknologi yang benar-benar baru. Teknologi anaerobic digestion
atau proses menghasilkan energi alternatif dari limbah organik ini
sudah dikenal di Eropa sejak 1770. Dan tahun 1884, Pasteour telah
melakukan penelitian tentang biogas dengan menggunakan kotoran hewan.
Dengan
cara ini, tak hanya energi yang didapat, zat sisa proses biogas bisa
dimanfaatkan sebagai pupuk berkualitas tinggi. Ini bisa jadi alternatif
dalam mengatasi masalah sampah organik, terutama di pedesaan, seperti
feses, urine, sisa makanan, embrio, kulit telur, lemak, darah, bulu,
kuku, tulang, tanduk, isi rumen, dan sebagainya.
Yang
penting lagi, biogas ramah lingkungan. Ia tidak merusak keseimbangan
CO2 yang diakibatkan oleh penggundulan hutan dan perusakan tanah. Selain
itu, karena fungsinya sebagai energi pengganti bahan bakar fosil,
sehingga dapat pula menurunkan gas rumah kaca serta emisi lainnya di
atmosfer.
Untuk Kota, Mungkinkah?
“Kalau
untuk kota ?”, praktis pertanyaan ini yang muncul di benak masyarakat
perkotaan melihat fakta keberhasilan biogas di desa. Pasalnya, semua
cerita keberhasilan teknologi biogas mayoritas berlatar pedesaan.
Spontan, ketika mendengar kotoran sapi, tentu semua berpikir tak mudah
mendapatkannya di kota.
Dan
ternyata, sekali lagi, semua yang ada di sekitar kita adalah aset.
Bahkan yang melekat pada diri kita sebagai manusia. Ya, ternyata hasil
pembuangan akhir dari sisa makanan kita pun bisa dimanfaatkan. Sebut
saja, tinja manusia.
Petojo
Utara, Jakarta Pusat dan Ponpes SPMAA Lamongan, Jawa Timur hanyalah dua
dari contoh kecilnya. Cukup sederhana, dengan menampung limbah padat
dari toilet di sebuah kubah yang ditanam dekat toilet, gasnya bisa
langsung disalurkan lewat pipa. Biogas itu juga bisa digunakan selama
berjam-jam tanpa henti.
Menurut
Gus Adhim, pengurus SPMAA, sebagaimana ditulis Gatra Edisi 14/XIV,
sebelumnya, ponpes sangat kerepotan mengurus limbah dari 450 santrinya,
bahkan 3-4 bulan sekali mesti mendatangkan mobil penyedot WC karena
menumpuknya tinja. Belum lagi, dapur ponpes yang menghabiskan rata-rata
dua truk kayu atau senilai Rp.1,5 juta per bulan. Dan rasa gorengan pun
tak berubah.
Keberhasilan di atas membuktikan tak ada yang sulit dengan biogas.
Sudah
sepatutnya pemerintah mendorong inovasi-inovasi seperti diatas.
Apalagi, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2006
tentang kebijakan energi nasional untuk mengembangkan sumber energi
alternatif sebagai pengganti bahan bakar minyak, juga telah nyata
adanya. Ketergantungan terhadap satu jenis bahan bakar harus dirubah,
begitu pula ketergantungan pada energi tak terbarukan macam batubara
serta minyak dan gas bumi.
Hingga
saat ini, komposisi energi primer yang disiapkan pada 2008 adalah
batubara 58.668 Giga Watt hour (GWh) atau mencakup 53%, minyak 22.457
GWh (20%), gas 18.208 GWh (16%), panas bumi 7.923 GWh (7%), dan air
4.415 GWh (4%). Data
diatas menunjukkan, Indonesia sungguh tidak tertarik untuk memanfaatkan
energi terbarukan yang sudah mulai banyak digagas di negara lain.
Tampaknya
perubahan harus segera kita mulai. Wacana energi alternatif harus
segera dijadikan ‘virus’ yang akan menjangkiti masyarakat di multi
komunitas. Bukan lagi individu ke individu.
ditulis 9 Sep 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar